Sebuah film yang menggambarkan perjuangan hidup, dan kegigihan putra Indonesia di negeri Jerman. Dan kisah cintanya dengan gadis idaman hatinya. Mengharukan sekaligus inspiratif.
Aku meneteskan airmata, ketika menyaksikan pak Habibie menangis melihat proyek pesawatnya "terhenti". Membanggakan, sekaligus ada yang menghinakan. Tragis! Mataku pun basah tatkala melihat pak Habibie menangis dan berdoa disaat-saat terakhir bu Ainun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tak melulu tangis, ada juga adegan yang menggelikan. Aku tertawa melihat mimik pak Habibie. Menghadapi masalah, jawabannya ringan "It's Ok!". Begitulah kehidupan kita dunia, tawa dan tangis saling mewarnai silih berganti . Tetapi nanti di akhirat senyum dan tawa hanya milik penduduk surga. Jeritan lolongan kesakitan dan isak tangis berkepanjangan tiada akhir adalah warna kelam penduduk nerakA!
Tak melulu tangis, ada juga adegan yang menggelikan. Aku tertawa melihat mimik pak Habibie. Menghadapi masalah, jawabannya ringan "It's Ok!". Begitulah kehidupan kita dunia, tawa dan tangis saling mewarnai silih berganti . Tetapi nanti di akhirat senyum dan tawa hanya milik penduduk surga. Jeritan lolongan kesakitan dan isak tangis berkepanjangan tiada akhir adalah warna kelam penduduk nerakA!
Hikmah yang bisa kutarik dari film itu sangat menggugahku. Menghentakkan kesadaranku. Ternyata aku belum segigih Habibie dalam menjalani hidup ini. Belum bisa membahagiakan keluargaku, sepenuh hati. Ah, semoga masih ada waktu.
Wahai kawan, hidup ini amat pendek. Yang bikin panjang itu, hanya angan-angan kita. Penundaan itu bagaikan membangun dinding yang akan membelenggu kesuksesan. Menunda berbuat baik adalah wujud nyata kemalasan dan kebekuan berpikir.
Ketika kegigihan (perjuangan) kita belum berbuah kesuksesan, biasanya cemoohan yang kita terima. Tetaplah terus berusaha, jangan terkecoh oleh ocehan-ocehan yang tidak membangun semangat.
Sadarilah setitik pikiran yang bermanfaat, selangkah kaki yang berfaedah tentu dihitung rinci oleh Yang Maha Melihat, Allah Swt. Dan satu gerakan jari telunjuk kanan ketika kita shalat adalah sebagai saksi atas keyakinan kita bahwa tiada Tuhan selain Allah. Sekaligus mudah-mudahan menjadi bukti, bahwa kita muslim yang taat. Semua itu akan terekam detil dalam "film dokumenter" kisah hidup kita. Yang akan kita tonton dengan seksama, di "bioskop" di alam akhirat nanti.
Bagaimanakah reaksi ketika kita menonton kisah nyata "Film Kehidupan" kita, ketika diputar di hadapan pengadilan akhirat? Banggakah dengan pahala kita? Atau merasa sangat malu atas dosa-dosa kita yang bertumpuk-tumpuk tanpa sedikitpun menyisakan pahala? Oh, betapa ruginya hidup tanpa iman, amal dan ilmu.
Mumpung masih ada peran yang bisa kita mainkan, yuuk kita berperan sebagai muslim yang taat, yang takwa. Peran yang dihayati dalam hati, yang sesungguh-sungguhnya. Bukan peran basa-basi. Ingat! Allah Maha Tahu, mana peran yang pura-pura, mana peran yang dibuat-buat! Shaleh itu tidak hanya di depan pak Lurah, di depan mertua. Di depan khalayak!
Tanpa ada seorang manusia pun yang melihat, itulah saat-saat yang sesungguhnya dan seharusnya kita bisa merasakan ditatap oleh Allah, Yang Maha Melihat. Shalat itu harus, mau dilihat orang terdekat atau tidak. Bersedekah itu jangan tunggu dilihat pers!
Wassalam,
SangPenging@T!