ANAK itu sumber kebahagiaan sebuah keluarga. Tanpa anak, hambar rasanya kehidupan rumah tangga. Bapak dan Ibu rela berkorban demi untuk mendapatkan anak. Segala cara dicoba dari yang murni (tawakal) kepada Allah, sampai yang berbau syirik. Nauzubillah
Tetapi anak bisa jadi sumber masalah. Anak kecanduan narkoba, orangtua terbawa-bawa. Punya anak atau tidak punya anak, sama-sama mengundang masalah. Tapi ingat, rasanya tidak pada tempatnya kesalahan ditimpakan kepada anak kita. Siapa tahu sumber masalah yang sebenarnya adalah diri kita sendiri. Sebagai orangtua tidak becus mendidik anak-anak kita sendiri! So? introspeksilah!
Setelah anak lahir, bahagianya bukan kepalang. Yang bapak merasa, kejantanannya sudah terbukti. Yang ibu merasa, benar-benar bangga bisa menjadi tempat menyimpan benih suami tercinta. Rasanya komplit menjadi seorang wanita.
Lalu anak tumbuh menjadi manusia dewasa. Ketika masih anak-anak, warna hidupnya bagai pelangi. Jabatan ayah senantiasa menjadi julukan yang diberikan masyarakat (tetangga) kepada anak kita.
"Anak siapa ini? ih lucunya, bikin gemes deh!"
Sebagai orangtuanya, siapa yang tidak senang mendengar pertanyaan dan pernyataan itu.
"Anak siapa ini? cerdasnya bukan main"
Ini membuat setiap orangtua bangga hatinya.
"Anak siapa ini, bodohnya nggak ketulungan?"
Hati siapa yang tidak sesak, jengkel dan emosi mendengar pertanyaan bernada ejekan seperti itu. Kalau tidak ada yang memisahkan, dijamin sudah saling adu mulut, perang urat syaraf dan perang batin antar orangtua anak itu dengan yang mengajukan pertanyaan menghina itu.
Kembali ke tema tulisan ini. Profesi kita, ternyata menjadi perhatian anak-anak kita. Dulu, ketika aku menganggur. Setiap ada lembar isian dari sekolah anak, tentang jabatan orangtua. Anakku selalu jengkel.
"Pak, pekerjaan bapak apa sih?" .
Pertanyaan dari anakku itu membuatku tersenyum kecut. Iya ya, mau ditulis, "Pengangguran", rasanya kurang elok. Orang jawa bilang, ngisin-ngisini ( terjemahannya: "bikin malu!" ). Sudah tulis saja "karyawan", kataku berusaha menentramkan perasaannya.
Kalau kita tanpa jabatan, tetangga akan menjuluki anak kita sebagai; "anak pengangguran!"
Sesudah kerja di pabrik. Maka tetangga kita akan menjuluki anak kita sebagai; "anak buruh pabrik!"
Kemudian punya koneksi, masuk partai dan dipilih jadi anggota DPR. Para tetangga akan menjuluki anak kita sebagai; "wuih, itu lho anaknya anggota DPR!"
Pandai bergaul di kalangan atas kemudian kenal baik dengan presiden, maka kalau sedang nasib mujur,
tidak butuh waktu lama di DPR, eh tahu-tahu diangkat jadi menteri. Para tetangga pun terkagum-kagum, dan menjuluki anak kita sebagai; "yang itu lho temannya anakku sekolah di SD, sekarang jadi anaknya Menteri!"
Jabatan menteri kurang puas, mulai menyambangi teman-teman di DPR, mendekati rakyat lalu berusaha keras mengambil hati mereka. Lalu menggalang suara di partai. Lobi kiri-kanan. Untuk apa? Jelas dong untuk mengincar jabatan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA! Dasar bintangnya sedang bersinar, ditambah rajin ibadah plus sedekah, maka ketika diadakan Pilpres, ndilalah, ujug-ujug (wah bahasa apa ini?) terpilihlah sebagai presiden RI menggantikan SBY. Wow keren! Akhirnya tetangga kita rame-rame tanpa ada komando akan menjuluki anak kita sebagai; "anak presiden RI!"
Luar biasa! Yang senang tentu keluarga kita. Yang benci tentu saingan kita. Saudara terasa semakin banyak. Mulai dari saudara dekat sampai saudara yang paling jauh, berebutan mengaku sebagai "saudaranya presiden RI". Saudara yang kita kenal, apalagi yang nggak kita kenal berlomba-lomba dulu-duluan salaman ketika lebaran.
Itulah romantika kehidupan di dunia, kawan. Tapi ingat, Allah tidak mempertimbangkan jabatan kita. Yang dilihat-Nya adalah ketaqwaan kita!
Sekian, semoga bermanfaat.
Wassalam,
SangPenging@T!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar