Kata "wibawa" sungguh sebagai kata yang aneh ketika aku mendengarnya pertama kali ketika masa kanak-kanak dulu.Apa sih arti "wibawa" itu pak? tanyaku pada orangtuaku. Kulihat dia sedikit berkernyit dahinya, ah susah juga dia menjelaskan arti kata "wibawa" kepada anak SD kelas tiga, pikirku.
Sama halnya ketika aku sering membaca kata "pemerintah" di halaman muka koran pagi. Waktu kutanya kepada bapak, apa arti "pemerintah". Dia menjelaskan dengan praktis, arti kata "pemerintah". Pemerintah itu contohnya, bapakmu ini pemerintah di rumah ini. Lho kok begitu? Ya iya khan, bapak suka memerintah kamu, contohnya "Jar, tolong bersihkan vespa bapak!", " Ayo cepat mandi, sarapan dan segera pergi ke sekolah!, atau "Ayo shalat!".
Kini setelah paham bahasa Indonesia dengan fasih. Kutahu arti "pemerintah" dan arti kata "wibawa". Sekarang pertanyaannya adalah, sejauh mana wibawa pemerintah ketika menghadapi tawuran anak sekolah yang marak belakangan ini?
Tawuran merebak di akhir bulan September 2012. Menjadi sorotan karena menimbulkan korban jiwa. Pada hari Rabu 26 September 2012 terjadi lagi tawuran antara SMK Yayasan Karya 66 dengan Kartika Zeni. Satu siswa tewas bernama Deny dari SMK Yayasan Karya 66. Padahal baru saja hari Senin-nya, 24 September terjadi serangan oleh gerombolan anak SMAN 70 terhadap tiga anak SMA Negeri 6. Menewaskan satu siswa SMAN 6. Rupanya yang swasta nggak mau kalah pamor soal tawuran! Masya Allah.
Apakah anak-anak yang terlibat tawuran itu sedang menancapkan kata "WIBAWA" atas nama sekolahnya, terhadap sekolah lainnya? Atau si pelaku sedang menunjukkan kesombongannya bahwa "Gue Berani!" Hmm... tentu "wibawa" disini yang kumaksud dalam artian negatif.
Kalau ingin menorehkan "wibawa" dalam artian positif, bisa ditunjukkan diantaranya melalui adu kepintaran di ajang bergengsi, Lomba Karya Ilmiah Remeja, misalnya. Nah, kembali ke pertanyaan semula bagaimana wibawa pemerintah atas tawuran anak-anak sekolah itu?
Banyak pihak yang mempertanyakannya. Sebagian mencibir. Ah sudahlah aku tak ingin mengomentari soal pemerintahan sebab itu bukan ranahku. Yang menjadi pertanyaan mendalamku adalah, dimana peran ustadz selama ini? Terabaikankah soal remaja dari perhatian para ustadz? Boleh jadi karena ustadz "yang populer" lebih fokus ke fulus. Wow! begitukah?
Atau guru agamanya yang kurang maksimal menjelaskan mudarat-nya tawuran antar pelajar.
Janganlah ustadz disalahkan. Tak baik berburuk sangka kepada mereka. Perhatiannya sudah, tapi remajanya saja yang (mungkin ) tak memperhatikan apa kata ustadz. Wejangan ustadz dianggap kuno, ketinggalan zaman. Apa sebabnya? Karena bicaranya melulu tentang surga dan neraka.Menyinggung dikit soal surga dan neraka, mereka bilang membosankan! Masih jauh! Bahwa membunuh itu dosa. Dosa bikin kalian masuk neraka. Mereka bilang, udah deh pak jangan bawa-bawa dosa. Kalau sudah takdirnya mati, mati aja. Nasib pak!
Eh, jaga tuh mulut kalian. Mulut kalian sudah pernah makan bangku sekolahan belum? Siapa bilang bicara surga dan neraka itu kuno. Justru surga dan neraka itu adanya di masa depan, bukan masa silam. Surga dan Neraka bakal kita jumpai nanti setelah dunia ini KIAMAT! Loh-loh... kok jadi sewot begini ya aku. Maaf pembaca, hehehe...
Ada seorang ustadz yang cerita, dulu di zaman orba para pejabat sibuk bicara, "mari kita kencangkan ikat pinggang, ayo kita giatkan pola hidup sederhana!"... Tapi para pejabat tetap saja makmur, pola hidupnya mewah. Sementara rakyat, ada yang masih mengonsumsi nasi aking. Wow! gimana ini? Ternyata pejabat yang berkoar-koar itu, ketika dilirik celana panjangnya tidak ada sabuknya. Pantesan dia nggak bisa mengetatkan ikat pinggang.
Ternyata "wibawa" itu adalah "perwujudan" dari kata-kata kita ( perilaku
kita). Satunya kata dengan perbuatan.Konsistensi! Titik!
Wassalam,
SangPenging@T!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar