TIDAK kurang, tidak lebih, itu "pas" namanya. Tidak longgar, tidak sempit, itu juga "pas" kita menyebutnya. Pas itu saudara kembar proporsional. Masakan dengan bumbu-bumbu yang pas akan terasa lezatnya. Tetapi masakan yang dibumbui dengan beraneka rempah dengan jumlah yang tidak proporsional, dapat mengakibatkan lidah enggan bergoyang.
Hari ini aku mendapat pelajaran berharga berkaitan dengan human relationship. Biar keren aku pakai istilah asing. Sampai hari ini aku masih menyimpan tanya, mengapa Bapak dan Ibuku pandai sekali bergaul. Tak pandang bulu, mulai dari kalangan bawah ataupun atas. Dari Presiden, Gubernur sampai pesuruh kantor, Bapak dan Ibuku tak sungkan bertutur. Sama sopannya. Sama sumringahnya. Aku tak pandai seperti itu.
Aku jadi teringat resep cespleng ala AaGym yaitu 5(lima) S. Kependekan (singkatan) dari Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun. Aku rasakan betul pentingnya Lima S itu dalam pergaulan kita.
Aku kadang suka muak dengan sikapku sendiri yang sok pandai, sok penting, sok wibawa dan berbagai "sok" lainnya. Bahkan rasanya sampai mau muntah. Hal-hal seperti itu biasanya kurasakan ketika aku selesai berjumpa dengan orang lain. Dan dalam perjumpaan itu aku tak menggunakan teknik "Lima S" itu.
Aku sendiri saja muak apalagi orang lain, ya? Ah, rupanya ilmu "Lima S" itu yang sudah kutahu beberapa tahun yang silam dari AaGym, baru sebatas tahu belum aku pahami dan kupraktekkan dengan tulus.
Senyum
Tersenyum ternyata itu mudah jika kita sudah terbiasa. Meskipun wajah dengan kulit yang gelap, jika tersenyum tulus sambil memperlihatkan sebaris gigi putihnya, dapat meretas kekakuan yang ada. Kesan horor langsung luntur. Rasulullah itu wajahnya jernih dan jika berjumpa dengan seseorang tak sungkan untuk menyunggingkan senyum. Konon senyum pun itu bernilai sedekah. Tapi jangan mentang-mentang senyum itu sedekah, ketika jumpa pengemis cukup diberikan senyuman kita. Untuk sekedar latihan, biasakan mulut kita menyuarakan huruf "mim". Ayo silahkan coba. Nah rasakan nikmatnya tersenyum itu. Tapi awas jangan sering-sering senyum sendirian. Gawat!
Salam
Mengapa sih kita enggan memberikan salam duluan? Gengsi? Merasa status lebih tinggi? Nggak level? Memang perasaan seperti itulah yang merongrongku selama ini. Aku bertekad kuat ingin memberangusnya.
Sapa
Aku sedang berlatih menebar sapaan kepada anak-anak sekolah dasar yang lewat di depan rumahku. Kebetulan jalan di depan rumahku dilewati olah banyak anak-anak SD yang mau berangkat ke sekolahnya. Senang saja aku melihat reaksi mereka mendengar sapaanku. Ada yang kaget, ada yang diam, ada yang spontan menjawab.
"Hallo!, Apa kabar? Kelas berapa dik?" itu sapaan rutinku, kalau sedang ingin menyapa mereka. Sapaan itu aku lontarkan ketika aku melihat ada seorang anak laki-laki atau perempuan yang sedang asyik berjalan sendirian dengan wajah cerah. Sebab kalau wajahnya sedang cemberut, hampir dipastikan sapaanku dianggap angin lalu.
Sopan
Ah, aku kadang tak sopan kepada yang tua apalagi yang muda. Sopan itu menghargai siapa lawan bicara kita. Sikap sopan biasanya jarang terbit jika kita berjumpa dengan orang yang levelnya dibawah kita. Betul?
Ternyata seberapa tingkat kesopanan kita dalam bergaul menunjukkan seberapa baik tingkat keberadaban kita di mata masyarakat tempat kita berkiprah.
Santun
Sikap santun lahir dari batin yang bersih. Kekotoran jiwaku, membuat aku kadang kurang peka untuk bersikap santun. Rela untuk mengalah, demi kelancaran lalu lintas. Tertib dalam antrian. Santun itu luwes, sabar, penuh rasa belas kasihan. Baik budi bahasa kita.
Santun itu tidak gampang main tangan, dan tidak mudah melontarkan sumpah serapah. Wow, Nauzubillah.
Ups! Aku sepertinya musti banyak belajar lagi dan rajin mempraktekkan ilmu "Lima Es" dalam menjalin hubungan bisnis, pertemanan dan persaudaraan.
Kembali ke soal "Pas" yang sudah kusinggung di awal paragraf. Semua teknik "Lima S" itu kalau pas ternyata enak. Tidak bikin eneg di hati. Membicarakan kehebatan masa silam, itu nggak salah. Tapi hendaknya dalam konteks untuk menjadikan kita harus lebih baik, atau paling tidak sama baiknya. Bukan sekedar bangga. Misalkan, kita bangga menceritakan tokoh Gajah Mada. So what next? Apakah setelah terkenal dengan Sumpah Palapa-nya, lalu hanya sekedar untuk dijadikan nama sebuah jalan, yakni "Jalan Gajah Mada" doang? Mestinya buat kaula muda harus berani melontarkan sumpah yang lebih dari sumpahnya Patih Gajah Mada itu.
Dan karena kita muslim; beranikah kita bertekad akan berperilaku seperti perilaku Nabi Muhammad SAW? Rajin shalat, senang sedekah dan tidak sombong. Berbudi pekerti yang agung.
Semoga bermanfaat tulisan ini dan menyemangati kita untuk menjadi lebih baik lagi dalam menata pergaulan kita.
Wassalam,
SangPenging@T
m fajar irianto ludjito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar