Adsense

Selasa, Desember 31, 2013

Di Penghujung Tahun 2013

Saatnya merefleksi diri di akhir tahun 2013, tepatnya nanti malam 31 Desember 2013, menjelang pergantian tahun memasuki tahun 2014.Refleksi diri kok mesti akhir tahun sih? Iya ya mustinya kapan saja, right? Allright aja dah!

Di tahun 2013 aku masih memble belum kece! itu kuakui, aku belum tajir seperti Olga dan Raffi. Busyet tuh perbandingan jauh amat. Amat amat jauuuuh. Sadar ah bro! iya ya aku sadar dah sekarang, ente nggak usah sewot and kebakaran jenggot begitu kale.

Tapi perkembangan buku yang mau kuterbitkan kemajuannya lumayan maju. Masih butuh revisi biar dibaca enak. Harapannya itu buku buat kado terindah di hari ultahku. Ah apa bisa? semoga saja sih.

Renovasi rumah kami berjalan lambat. Tapi keramik lantai sudah 80persen. Mudah-mudahan lebaran sudah bisa rapi jali. Sungguh merasa tak nyaman jika lebaran menjamu saudara atau tetangga dengan keadaan rumah seperti di tempat pembuangan sampah. Memalukan!

Ceramah ceramah kultumku sudah bisa kubawakan santai tapi serius. Tidak terlalu menegangkan lagi bagiku. Tanpa persiapan pun aku siap, jika kepepet. Tapi aku usahakan untuk tampil dengan persiapan yang cukup di benak kepalaku.

Buat anak-anakku maafkan bapak dan buat istriku maafkan suamimu ini yang masih memble belum oke dalam memberikan kesenangan buat kalian. Semoga di tahun 2014 bapak lebih bisa menunjukkan eksistensinya sebagai kepala rumah tangga. Oke? yes dong, jawaban dari kalian.

Buat pembaca setia blogspotku, semoga di tahun baru 2014 aku bisa menghasilkan tulisan yang lebih berbobot, berkualitas dan tuntas. Mantap!

Selamat tinggal tahun 2013 and Selamat tahun baru 2014

Wassalam,
SangPenging@T!

Sabtu, Desember 28, 2013

Roda Kehidupan

Berputar dan terus berputar roda kehidupan. Beberapa tahun lalu kere, sekarang bisa jadi konglomerat. Tetapi ada yang dulunya kaya raya, sekarang melarat. Nasib manusia siapa yang tahu.

Ibunya Raffi merasakan bahwa roda kehidupan berputar cepat. Awal tahun 2013, di bulan Januari, dia seperti disambar petir di siang hari bolong. Anaknya tersandung kasus narkoba. Raffi dipenjara, gara-gara ada pesta narkoba di rumahnya. Ibunya merasakan "roda kehidupan"-nya sedang berada di bawah, dia terlindas. Merasa dicampakkan oleh (paling tidak) tetangga kiri kanannya.

Jarum jam terus berputar, hari berganti dan bulan bergerak perlahan. Akhirnya Raffi dibebaskan bersyarat di pertengahan tahun! Raffi mulai berkiprah lagi, cuap-cuap lagi, teriak-teriak lagi di layar kaca membawakan acara Dahsyat!

Lalu terbetiklah kabar di akhir tahun2013, di bulan Desember ini. Ibunya Raffi dihadiahi anaknya sebuah mobil mewah seharga  satu milyard lebih sedikit. Benar-benar sebuah hadiah yang dahsyat! Wow, ini tentu saja membuat hati ibunya berbunga-bunga. Roda kehidupan serasa di atas, bahkan di atas awan tinggi. Tinggi sekali bro!

Boro-boro bagi kita yang penghasilan pas-pasan menghadiahi ibu kita mobil mewah. Bunga saja mungkin jarang, betul?

Lalu bukti apalagi bahwa kehidupan bagai roda? Mau bukti lagi? Bener nih? Itu tu masak nggak tahu. Apa pura-pura nggak tahu? Kasih tahu dong! Ah masak nggak tahu? itu tuuuu ...Atut!

Beberapa tahun yang lalu dia tidur di atas kasur seharga 20jutaan di kamar mewah rancangan desainer top (hehehe... kali ye, sebab aku tak tahu pasti. Ini sekedar analisa ngawurku. Jadi kalo salah yeah mohon maklum bro), sekarang dia tidur di atas kasur tipis dalam kamar busuk penjara wanita Pondok Bambu. Nauzubillah.

Begitulah kehidupan. Bisa kita saksikan dengan kepala kita sendiri, bukan? Nggak usah repot-repot musti sewa kepala orang lain. Lalu pertanyaannya roda kehidupan kita sedang berada dimana nih? Silahkan dirasakan sendiri oleh pembaca masing-masing. Kalau aku jelas masih di bawah. Sebabnya? belum punya rumah mewah, mobil mewah, motor gede kayak mas Akil Muchtar dan bisa liburan ke luar negeri kayak Mbak Atut.

Tapi harus diingat bro! Apapun keadaannya, kita harus tetap pandai bersyukur, tetap shalat yang rajin jangan lupa sedekah. Mudah-mudahan apa yang kita cita-citakan cepat terkabul. Insya Allah...



Wassalam,
SangPenging@T!

Terbakar

API membakar apa saja yang mudah terbakar. Mulai dari batang kayu dan dedaunan kering, segala macam jenis kertas sampai plastik. Apalagi bensin dan minyak gampang sekali api menyambar. Dan tentu juga emosi manusia mudah terbakar api cinta.

Kulit manusia juga cepat terbakar, gampang terkelupas. Oh betapa sakitnya. Melihat manusia terbakar kita hanya bisa ikut sedih dan sekedar membayangkan rasanya. Tapi nanti di akhirat, kita tidak sekedar menonton. Jika kita kafir dan berdosa maka panasnya api akan dirasakan nyata, real bro! Hi, betapa ngerinya!

Mengapa untuk yang satu ini kita mudah lalai mudah lupa. Lupa apa? ya lupa terbakar itu bro! iya ya kenapa mudah lupa. Paling-paling baru ingat jika ada berita kebakaran di televisi, atau saat mendengar sirene mobil pemadam kebakaran meraung-raung di jalanan.

Wassalam,
SangPenging@T!                                                      

Senin, Desember 23, 2013

Tewasnya Sang Copywriter Muda

Jagat dunia periklanan Indonesia sempat dibuat gempar sejenak. Sebuah berita duka tersebar di dunia maya, khususnya di Twitter. Mita Diran, wanita muda berusia 27 tahun yang bekerja sebagai copywriter di agency Y&R (Young & Rubicam) Asia, di Jakarta, meninggal mendadak hari Minggu, 15 Desember 2013. Setelah sebelumnya sempat koma, beberapa jam di RS Pusat Pertamina.

Sehari sebelum meninggal, dia sempat berkicau di akun twitternya. Bunyinya cukup mengagetkan,"30 hours of working and still going strooong,". Sayang faktanya, tubuhnya tak sekuat sebaris kata-kata yang terakhir di tulisnya pada pukul 05.47 PM, hari Sabtu 14 Desember 2013.


Karena aku juga pernah berkecimpung di dunia periklanan (walau di biro iklan kelas teri), maka aku ingin menulis apa yang bisa kutulis tentang kejadian ini. Memang begitulah dunia periklanan. Mengasyikkan bagi yang mencintainya. Sampai-sampai bisa dibuatnya gila, gila kerja maksudnya. Konon untuk mengejar deadline, dia menenggak minuman berenergi merk K dicampur Vodka, wow! mata jadi enggan terpejam, membuat Mita semakin merasa "oke" untuk menyelesaikan tugasnya. Semangatnya menyala terus.

Kalau dilihat prestasinya cukup membanggakan.Mita tergolong cerdas dan kreatif. Ini terbukti dari prestasinya memenangkan Citra Pariwara Award. “Dia juga barusan menang Citra Pariwara Award, hadiahnya 2 silver, 1 bronze. Menang kategori art of home, luar ruangan,” ujar ayah tiri Mita, Yani Sahrial.

Saking asyiknya kerja, dia sampai lupa istirahat. Lupa shalat? Ah, untuk yang ini aku tak berani comment. Karena aku nggak kerja di Y&R. Jadi nggak bisa tahu kebiasannya sehari-hari di kantor.

Aku pernah punya pengalaman buruk perihal ini. Ketika bos menyuruhku untuk segera menyelesaikan desain. Aku jawab enteng, "Sebentar pak, saya shalat dulu". Kebetulan waktu shalat Dhuhur sudah masuk. Apa dampaknya? beberapa bulan kemudian aku di PECAT! Sungguh menyakitkan.

Kebetulan bosku itu bukan beragama Islam. Yeah! Maybe he doesn't like to hear what I say.  Untung saja waktu itu stevie wonder tidak sedang menyanyikan lagu I Just Called To Say I Love You. Opo kuwi, wis gak ono hubungane lagu si wonder sama artikel ini. Jujur aku lebih takut kepada God, ALLAH Swt. daripada dipecat sama Bos, gundulmu kuwi! (eh, kok ngata-ngatai bosmu sih? hehehe... mumpung bebas nulis nih.. so jangan sewot dong!)

Kerja mati-matian bahkan sampai mati beneran jika hanya semata untuk kesenangan dunia, hanya untuk cari duit doang. Tidak diniatkan buat ibadah, mengejar Ridho Ilahi, oh oh oh... sungguh merugi kawan!

Well, selamat jalan Mita, semoga kau bahagia di sisi Allah. Diampuni segala dosa dan diterima amal ibadahmu oleh Yang Maha Kuasa.

Wassalam,
SangPenging@T!

Senin, Desember 09, 2013

Keluar Malam

Keluar malam tak baik buat perempuan, apalagi sendirian. Berbahaya! Bisa menimbulkan kesan negatif. Erat kaitannya dengan pekerja malam. Ah, kok bisa begitu ya?

Padahal pekerja malam di pasar tradisional, tentu membawa manfaat bagi masyarakat. Coba bayangkan jika tidak ada yang berjualan sayur mayur di malam hari. Bisa terganggu lalu lintas arus sayur mayur mulai dari tengkulak hingga tukang sayur yang menjajakan sayur di perumahan di pagi hari.

Malam ini aku terbangun jam menunjukkan angka 11 lewat 40 menit. Perut terasa lapar. Istri ikut terjaga, mendengar berisik badan dan kakiku bergerak di dalam kamar yang sunyi.

Dia tahu aku lapar. Kuajak dia keluar rumah, menemaniku membeli bubur kacang ijo di warung "IndoMie dan Bubur Kacang Ijo" di pinggir jalan masuk komplek. Berjarak sekitar 300meter dari rumahku.

Di warung itu aku jumpa seorang pemuda kerempeng. Ramah dia menyapaku. Tampilannya berambut gondrong. Istriku kaget. Kutawari dia bubur kacang ijo atau indomie rebus. Pemuda itu menampik halus.

Kasihan dia. Hidupnya bagai kapal tanpa nahkoda. Bapaknya sudah meninggal, mungkin setahun yang lalu. Kadang kulihat dia mengoceh sendiri. Kemejanya lusuh. Celana pendek. Suka duduk-duduk di tempat nongkrong para tukang ojek.

Dulu kulihat dia rajin ibadah. Bahkan beberapa kali ikut suatu majelis zikir. Sekarang dia sepertinya jauh dari masjid. Mudah-mudahan saja tidak jauh dari shalat. Artinya semoga dia tetap shalat walau di rumah.

Dan malam ini dia keluar malam, nongkrong di warung bubur kacang ijo. Sebelum aku masuk warung itu, dia sudah ada di dalam warung itu. Entah habis makan atau sekedar duduk-duduk. Setelah tawaran traktiranku ditolaknya, akhirnya aku pesan rokok setengah bungkus. Kuserahkan padanya. Dia tak menolak. Diterimanya pemberianku sebungkus rokok yang isinya setengah dengan takjim.

Padahal dalam hati ingin kubelikan dia sebungkus beneran bukan setengah. Tapi berhubung duitku nggak cukup buat beli sebungkus, ya terpaksa beli setengah. Kuberikan kepadanya seiring aku pamit pulang.

"Terima kasih, Om.. terima kasih Om", ucapnya berulangkali.

Begitulah kenyataan hidup. Hidup adalah pilihan. Hidup adalah perjuangan. Kadang aku takut jika aku meninggal, anakku belum jadi orang. Dalam arti hidupnya belum mapan.

Yaa Rabb, semoga aku bisa mendidik anak-anakku dan tidak meninggalkan mereka dalam keadaan yang kekurangan.

Wassalam,
SangPenging@T!

Senin, November 04, 2013

Pakaian Terakhir

Selamat jalan sahabatku, M. Kusnadi. Semoga engkau husnul khotimah. Diampuni segala dosanya, dan diterima semua amal ibadahnya oleh Allah Swt. 

Setiap mendengar berita dan menghadiri ke rumah duka, seorang sahabat apalagi saudara dekat, hatiku bergetar hebat, rasa dukaku mendalam menyayat-nyayat. Seperti hari ini, Sabtu 2 November 2013 aku hadir di rumah orangtua Kusnadi. Teman karibku di SMAN 2 Jakarta. Orangnya kurus, bahasanya santun.

Di depanku, dia sedang di kafani. Diam seribu bahasa, sepertinya merasa kedinginan. Ya dia habis dimandikan barusan tadi. Dingin? Ah, boleh jadi dia merasakan kehangatan dibalut kain kafan. Aku saja yang sok tahu.

Pakaian terakhir manusia muslim di dunia ini adalah kain kafan. Putih bersih. Tidak bermerk.

Di dalam kubur kita tidak berpakain bikinan disainer ternama. Hanya kain kafan, plus kapas. Tidak ada yang bisa kita sombongkan dengan pakaian, asesoris jam bermerek atau perhiasan emas bertahta berlian. Itu semua jadi rebutan ahli waris, jika kita punya.

Yang menemani di dalam kubur adalah amal sholeh kita. Amal shalat kita. Amal sedekah kita, dan amalan-amalan yang lainnya. Pokoknya amalan yang diperintah oleh Allah Swt.

Itu perbekalan orang mati. Yang kadang tidak kita persiapkan dengan cermat. Sedangkan kita mau pergi piknik ke luar kota saja kita sibuk belanja buat bekal bepergian.

Wahai kawan, yuuk jangan sampai kita lalai dengan perbekalan kita untuk pulang ke kampung akhirat.

Wassalam,
SangPenging@T!

Kamis, Oktober 31, 2013

Mumpung Masih Bisa

Lagi lagi aku ingin membahas ilmu aji mumpung. Ilmu tertua yang tidak ada text book-nya di kampus manapun. Paling tidak itulah yang aku tahu.

Mumpung ini banyak macamnya. Yang ingin kutulis di sini, tentang "mumpung masih bisa". Bisa apa? ya apa saja bisa.

Sudah sejak pagi  kemarin, Rabu 30 Oktober 2013 punggung telapak kaki kananku sakit karena asam urat kambuh. Jalanku sampai diseret-seret. Shalat pun sambil duduk, nggak bisa normal.

Di saat sudah sakit begini, baru terasa nikmatnya sehat. Makanya mumpung masih sehat, shalatlah. Mumpung masih kuat, apa susahnya jalan ke masjid.

Mumpung masih dititipi kekayaan, apa susahnya sedekah. Mumpung masih bisa ngomong, ngomonglah yang bermanfaat. Jangan ngomong yang sia-sia.

Mumpung mata masih normal, mengajilah.

Wassalam,
SangPenging@T

Senin, September 30, 2013

Septic Tank

Banjir dan Septic Tank. Dua hal yang membuatku stress! selama tahunan. Yeah, paling tidak sejak banjir besar lima tahunan rutin melanda ibukota sejak tahun 1997(?). Yang terakhir terjadi di awal tahun 2013 ini.

Pembuangan air di WC jadi kurang lancar, pikiran jadi ikutan tersumbat. Aroma tak sedap pun menggangu indra penciuman.

Tukang yang aku andalkan, maju mundur. Selalu menghindar untuk mengerjakan project "prestisius" ini. Yaitu meninggikan septic tank agar tidak terus terendam air, akibat banjir jika hujan turun walau hanya lima belas menit. 

Tapi untunglah akhirnya aku menemukan dua tukang yang berani meninggikan septic tank rumahku. Mereka minta ongkos borongan jauh diatas perkiraanku. Biayanya Rp 1.600.000,-.

Ternyata dalam hidup untuk soal pengeluaran kotoran jadi persoalan pelik, jika tidak ditangani dengan baik.

Pikiranku jadi melayang ke penghasilan. Yang 2,5 persen itu wajib dikeluarkan dari perolehan rejeki kita. Kalau tidak dikeluarkan sama saja artinya kita menelan kotoran kita. Wow! Keluarkanlah yang dua setengah persen itu, agar harta kita bersih.

Semoga tulisan ini bisa terus mengingatkanku untuk terus mengeluarkan yang 2,5 persen untuk kubelanjakan di jalan Allah. Syukur-syukur bisa lebih.

Wassalam,
SangPenging@T!

Sepersekian Detik

Hari minggu 1 September 2013 yang lalu, aku mengalami kejadian yang membuat hatiku shock. jantung berdebar kencang. Mana aku punya penyakit jantung lagi. Sampai beberapa hari aku terus membayangkan kejadian itu. Bahkan ketika menulis artikel ini, bayangan kejadian itu masih terekam jelas dalam pikiranku.

Sewaktu mengendarai sedan dengan kecepatan 40km/jam, di daerah Ciputat. Jalan yang aku lalui lurus dan mulus, kemudian di depan ada tikungan tajam belok ke kiri. Tepat ketika sedanku sampai di tikungan, sekonyong-konyong ada tiga anak yang ingin menyeberang jalan. Mereka setengah berlari, lalu berhenti tepat di bibir jalan.

Anak yang berdiri di bagian tengah sambil bercanda mendorong teman-temannya yang di sebelah kiri dan kanannya. Untungnya teman-teman yang didorongnya itu tidak mau langsung menyeberang. Bahkan mereka menarik diri dengan kuat agar menjauh dari tepian jalan.

Kalau saja kedua anak yang didorong tadi "latah", langsung menyeberang. Aku membayangkan kejadian tabrakan maut yang mengerikan. Sebab anak-anak itu berdiri hanya kurang dari setengah meter, ketika sedanku sedang melaju. Sedan dengan kecepatan 40 km/jam jika menghajar anak kecil, tentulah bisa berakibat fatal. Kematian. Masya Allah.

Dan jika dua anak itu mengikuti dorongan temannya, berlari menyeberang tepat di moncong sedanku. Waktuku hanya sepersekian detik untuk menginjak pedal rem.  Rasanya aku tak punya kesempatan itu.

Dan mungkin saja aku bisa meringkuk di balik jeruji penjara. Sebab umumnya jika terjadi kecelakaan antara orang dengan mobil. Biasanya sopir mobil yang disalahkan. Apalagi tak ada saksi yang melihat kejadian tersebut.

Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur kepada Allah atas terhindarnya dari kecelakaan maut itu.

Tak berapa lama setelah kejadian itu. Terdengar berita Dul (anak Ahmad Dhani) mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan tol Jagorawi, yang menewaskan tujuh orang.

Hati-hati sobat di jalan raya. Detik per detik harus makin tinggi konsentrasi ketika kecepatan mobil/motor yang kita kendarai semakin meninggi. Terlambat mengerem sekian detik, nyawa bisa melayang.

Wassalam,
SangPenging@T!

Ulah Anak, Derita Orangtua

Dahsyat nian ujiannya Ahmad Dhani. Eh, namun dahsyat atau tidak bagi Ahmad Dhani, hanya dia yang merasakan. Kita hanya bisa memperkirakan dan meraba perasaannya. Dan apakah musibah yang menimpa anak bungsunya itu, ujian, teguran atau azab? Aku kira yang dapat menjawabnya lebih pas adalah dia sendiri.

Dul (Abdul Kadir Jaelani) anak bungsu Ahmad Dhani mengalami kecelakaan. Minggu, 8 September dini hari, mobil sedan yang dikendarainya melompati pagar pembatas jalan tol Jagorawi di Km 8-200.  Menabrak Toyota dan Grand Max Daihatsu dari arah yang berlawanan. Dhuarr! 7 korban tewas. dan luka-luka berat 9 orang. Luar biasa! Masya Allah.

Ongkos untuk operasi tulang belakang dan perawatan Dul selama 18 hari di RS Pondok Indah, hampir menyentuh angka 500juta rupiah, kata Dhani. Ck ck ck... Dan dia kecewa berat karena asuransi yang diharapkan meringankan beban biaya, ogah menanggung biaya rumah sakit itu.

Peristiwa yang dialami Ahmad Dhani bisa menimpa siapa pun setiap orangtua. Ulah anak, bapak dan ibunya bisa terbawa-bawa. Sebaliknya jika anak berprestasi, bapak ibunya ikutan bangga.

Ngomong-ngomong soal rumah sakit. Aku beberapa kali berurusan dengan rumah sakit. Antara lain waktu anak pertamaku terserang muntaber. Dia dirawat di RSAB Harapan Kita. Lalu ketika istriku melahirkan anak-anak, di klinik bersalin. Di rumah sakit atau klinik bersalin, pasti berurusan soal biaya dokter dan sewa kamar. Dan aku pasti memutuskan, kamar yang paling murah. kubuang jauh-jauh rasa gengsi, menginap di kelas 3. Sebab melihat pendapatanku waktu itu, aku tidak memungkinkan memilih kelas menengah, apalagi VIP. Dan pastinya, aku tak ingin terkaget-kaget ketika bagian keuangan menyodorkan kwitansi tagihan biaya penginapan yang harus kubayar. Untungnya istriku memakluminya. Alhamdulillah...

Anak-anak berurusan dengan pihak berwajib terlibat narkoba atau tindakan kriminal, tentu membuat orangtua manapun ketar-ketir. Begitu juga aku. Aku berdoa semoga mereka tidak sampai tergelincir, hingga berurusan dengan pihak kepolisian.

Setiap manusia pasti diuji dengan bermacam-macam ujian. Diantaranya; ujian kekayaan dan ujian kemiskinan. Ujian popularitas dan ujian "tidak terkenal", sampai-sampai tetangga satu RT saja nggak ada yang kenal.

Lalu ketika ujian kekayaan itu bukan membuat kita semakin bersyukur tetapi malah kufur dan sombong, maka boleh jadi disaat itulah Allah akan "menegur" kita dengan musibah kecil. Namun ketika yang "kecil" saja tidak mampu menyadarkan kita. Maka mungkin saja "tsunami" azab akan ditimpakan kepada kita. Nauzubillah.

Yuuk pandailah bersyukur atas karunia-Nya. Dan tetaplah bersabar jika hidup nestapa, sambil tetap berikhtiar.

Wassalam,
SangPenging@T

Selasa, September 10, 2013

Siapa sih Aku Ini?

Sedikit membingungkan! Ngapain sih pakai nanya segala? Apakah orang harus tahu siapa aku? Aku yang menulis judul artikel ini, ya terserah aku pula yang mau menjawabnya atau tidak. Ok kalau begitu. Aku teruskan saja.

Betul-betul membingungkan? Ah, sebenarnya tidak. Tidak harus bingung, karena sudah jelas, aku adalah anaknya manusia. Anak bapak dan ibuku. Aku orang beriman, bukan golongan kafir. Dulu bolehlah orang menyebut aku Islam keturunan. Tapi sekarang aku Islam karena keyakinan yang mantap dari lubuk hati yang paling dalam. Boleh jadi kalau kulitku teriris, lalu darahku mengucur. Maka InsyaAllah darahku akan mengucapkan "Laa ilaha illa Allah". Subhanallah...

Dan aku bukan anak binatang. Tapi sifat kebinatangan kadang-kadang suka muncul dalam sifatku. Oh ya? Sungguh menyeramkan. Bukankah manusia adalah binatang yang berakal. Maka jika manusia tidak menggunakan akalnya, bisa jadi sifat kebinatangan yang timbul ke permukaan. Ganas!

Adakah hewan yang sabar ketika lapar. Yang kutahu kucing dan ikan hias punya sifat sabar, untuk soal makan. Tapi jika nafsu sexnya membara, kucing jantan akan mengeong kencang dan mengejar kucing betina sampai dapat. Sulit membendung nafsu kucing jantan. Dan jangan coba-coba menjulurkan tangan ke dalam aquarium yang berisi ikan arwana yang lapar. Berbahaya!

Begitu juga dengan aku manusia. Soal nafsu, manusia agak mirip dengan hewan. Agama, hati nurani dan akal sehatlah yang mampu membendung sifat kebinatangan seorang manusia.

Siapa aku? hmm sudah terurai sedikit dengan penjelasan di atas. Selebihnya? terserah Anda. Lho, kok terserah sih! Teruskan dong. Ok no problemo.

Sekarang mengenai cita-citaku. Waktu SD, cita-citaku jadi pilot. Waktu SMP, nggak punya cita-cita. Waktu SMA, cita-citanya ingin jadi seniman (khususnya Desainer Graphic atau tukang gambar). Waktu kuliah di UNAS, ingin jadi diplomat. Dan sekarang ketika dewasa, aku bercita-cita ingin masuk surga. Eh, itu mah bukan cita-cita. Lho? memangnya "masuk surga" bukan sebuah cita-cita? Itu adalah harapan. Oh begitu toh? Ya sudahlah kalau begitu aku ingin jadi ahli surga. Eh, sok kali kau! Salah lagi, ya sudahlah terserah pembaca sajalah.

Yang pasti cita-citaku kini ingin sekali jadi motivator hebat! ck.. ck.. ck... Boleh dong? boleh, boleh, boleh... Ok kalau boleh dan bisa, sejatinya aku ingin sekali menjadi motivator agar orang (termasuk aku tentunya) paham tentang surga dan neraka.

Yaa Rabb, tunjukkanlah aku jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi, bukan jalan yang Engkau murkai. Aamiin...

Wassalam,
SangPenging@T!

Kamis, Agustus 22, 2013

Aku Bertanya Tentang "Surga dan Neraka" Kepada Mereka

Pagi ini, hari Kamis, 22 Agustus 2013, aku ke puskesmas untuk minta surat pengantar Askes  buat periksa rutin jantungku di RS Jantung Harapan Kita, besok pagi. Suasana di Puskemas Kedaung Kaliangke tumben amat ramai, dengan ibu-ibu muda yang sedang menggendong bayinya. Entah untuk apa mereka membawa bayi? Yang pasti berhubungan dengan kesehatan bayi-bayi mereka. Mungkin untuk imunisasi.

Aku sibuk memperhatikan keunikan setiap bayi yang digendong para ibu muda itu. Lucu-lucu, imut-imut, wajah-wajah polos tanpa dosa. Namun sewaktu melihat ibu-ibu yang sedang menggendong bayi mereka, pikiranku bertanya sudah berapa banyak dosa yang dikumpulkan mereka? Eh, sok kali aku. Justru aku seharusnya berpikir dan menerka sudah berapa pahala yang diraihnya saat berjuang mengandung dan melahirkan bayi-bayi yang digendongnya itu.Oh iya ya?

Aku jadi teringat ibuku. Betapa berat perjuangannya merawatku ketika aku masih bayi dulu. Oh ibu, semoga engkau berbahagia di alam sana, begitu juga bapak. Maafkan aku ibu, bapak. Ampuni aku yaa Rabb, aku belum bisa membahagiakan beliau dalam hidupnya.

Lamunanku tiba-tiba menerabas dinding-dinding penyekat ruangan di puskemas itu. Bayi-bayi itu tertawa bebas, mereka turun dari gendongan para ibunya. Aku jadi ingin bertanya kepada bayi-bayi itu. Para balita yang menggemaskan.

Pertanyaan yang ingin kuajukan kepada bayi-bayi itu adalah tentang "surga dan neraka". Ah, mana mungkin mereka bisa menjawab. Pandir nian aku? Ah, masa bodoh! Kutepis keraguan ini, lalu aku keraskan suaraku untuk menarik perhatian mereka.

Tanganku bertepuk sedikit keras untuk mencoba menenangkan suara gaduh mereka. Sambil berkata,

"Hallo! sayangku, perhatian-perhatian!",
"Apakah kalian tahu tentang surga dan neraka?"
"Siapa yang bisa jawab?"
"Siapa yang mau masuk surga?"

Benar saja, pertanyaanku tidak digubris oleh mereka. Mereka tetap asyik berlari, bermain, berteriak dan tertawa. Juga ada yang menangis akibat dipukul oleh bayi laki-laki yang suka iseng.

Akhirnya aku mencoba menebak apa jawaban mereka. Kutemukan jawabnya. Jelas saja mereka tak peduli tentang surga dan neraka. Sebab mereka yakin bakal masuk surga. Mengapa? Karena mereka belum pernah berbuat dosa. Mana ada berita seorang balita menghunus ayahnya. Atau balita membunuh ibunya?

Setelah kukantongi surat pengantar yang kuminta, aku meninggalkan puskesmas. Kutinggalkan kumpulan bayi-bayi itu. Aku berjalan kaki, tak menentukan arah tujuan. Aneh, bukannya pulang ke rumah untuk kemudian berangkat ke kantor, seperti biasa kulakukan beberapa bulan ini.

Kuikuti saja kakiku melangkah menyusuri jalan perumahan, lalu  ke jalan Daan Mogot, lalu masuk gang sempit, becek dan kotor. Akhirnya langkah kakiku berhenti, seiring rasa nyeri dijantungku yang semakin menusuk. Wah, gawat! jantungku kumat. Udah sakit jantung, merasa sok kuat lagi jalan kaki.

Kulempar pandangan mataku ke berbagai arah dari tempat kuberhenti. Aku berdiri sendiri bagaikan patung. Oh, ternyata aku tepat berada di depan pintu gerbang masuk sebuah Panti Jompo "Kamboja". Aku putuskan masuk ke dalamnya. Aku ingin mengaso di tempat ini barang sejenak untuk melepaskan lelah.

"Assalamu'alaikum Pak, boleh saya istirahat di sini?" kuajukan salam perkenalan kepada satpam penjaga panti itu.
"Wa 'alaikum salam, boleh silahkan pak" sahut pak satpam.

Kulihat jam, waktunya shalat dhuhur. Kebetulan nih, aku beranjak ke Mushola di panti itu. Adzan berkumandang. Aku diminta jadi imam. Ok, why not? ah, sok ke-inggris-inggrisan. Tak apalah biar terasa keren saja.

Shaf hanya sebaris yang bapak-bapak. Ibu-ibunya hanya lima orang. Kemana jamaah yang lainnya? Mereka sudah tua, kenapa semakin jauh dari shalat? Selesai shalat, aku beranikan diri menyampaikan kultum. Semakin lama, semakin ramai yang melihatku berceramah. Mungkin mereka heran di musholla ada apa. Rasa ingin tahu mereka, membuat mushalla semakin sesak. Yang tadinya duduk santai, jadi ikutan beranjak menuju musholla.

Aku sampaikan guyonan, agar mereka tidak tegang. Suara tawa mereka ikut mengundang rasa penasaran para jompo yang tidak ikutan shalat. Yang aku heran, apakah para jompowan itu mendengar guyonanku atau sekedar berpartisipasi melihat rekan-rekanya tertawa. Ikutan tertawa biar nggak dibilang tuli. Oh, I don't know it.


Di tengah uraian ceramah kuajukan pertanyaan yang sama seperti kepada para balita di puskemas tadi pagi.

"Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian tahu tentang surga dan neraka?"
"Tahu!!" jawab mereka serentak.
"Siapa yang mau masuk surga?"
"Sayaaaa!!!" jawab mereka kompak.

"Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu mau masuk neraka?"
"Tidaak, Tidaaaaaaakkk! pak ustadz!" jawab mereka saling bersahutan. Riuh rendah.

"Ok, kalau tidak ingin masuk neraka dan ingin masuk surga! Kenapa waktu shalat dhuhur tadi sedikit yang shalat?

Mereka terdiam seribu bahasa. Wajahnya terlihat polos bak balita, mata mereka menerawang jauh menembus awan.

Aku berusaha menjawab pertanyaanku sendiri. Jawabanku begini, mungkin karena mereka sudah tua, sudah pikun, sudah lupa bacaan shalat. Sehingga mereka jadi malas shalat! Atau memang sejak muda tidak terbiasa shalat lima waktu. Oh, wahai manula. Alam kubur tinggal beberapa langkah ibaratnya, namun mengapa tidak kalian kejar pahala akhirat?

Pertanyaan yang sama ingin kuajukan kepada yang masih muda, yang kaya, yang lupa daratan, yang punya kekuasaan, yang masih cantik, yang masih ganteng perkasa, yang punya usaha dan sudah jadi pengusaha sukses.

Namun tercekat di rongga mulut, terasa ada yang menahan, mulutku tak sanggup menanyakan tentang "surga dan neraka" kepada mereka. Sebab aku takut ditertawakan...

Kupandangi awan biru, di tengah terik siang panasnya matahari jam satu siang. Panasnya luar biasa, panas musim kemarau yang panjang. Kubayangkan betapa panasnya neraka. Tak terperikan panasnya, pasti!

Kulangkahkan kaki ini, keluar dari Panti Jompo "Kamboja". Kurogoh saku celana bututku, ada sisa uang Rp3000,-. Kuhampiri kios es kelapa muda di dekat pintu gerbang panti jompo itu. Aku beli segelas air kelapa muda. Hmm... tenggorokanku terasa segar setelah aku meneguk air es kelapa muda itu. Kubayangkan betapa segarnya minuman di surga.

Aku ingin pulang dengan membawa bekal yang cukup.


Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Agustus 21, 2013

Alex dan Badrun

Ada dua anak muda (ABG/anak baru gede!). Usianya sekitar 20 tahun. Sebut saja yang satu Alex, yang satunya Badrun (bukan nama sebenarnya lho). Gaya hidup keduanya jauh berbeda. Ibarat langit dan bumi. Melihat keduanya aku bagai sedang menonton sinetron kehidupan. Mereka sepantaran anakku yang pertama.

Alex hidupnya berkelimpahan harta. Kuliah di perguruan tinggi ternama. Dia cerdas. Dibelikan motor, dan mobil sedan bermerek untuk menunjang kuliahnya. Mantap! Ayahnya kaya, seorang WNI pengusaha yang sedang menetap di luar negeri. Ibunya sudah bercerai dan sudah nikah lagi, di Indonesia. Begitu pula ayahnya, sudah menikah dengan wanita melayu, di negara tetangga.

Badrun kini sedang terseok, mencari jati diri. Sekolahnya cukup hingga SMA. Dia tidak meneruskan ke bangku kuliah. Bangku kuliah terlampau keras untuk di"kunyah"nya. Ayahnya tak kuat membiayainya kuliah. Badrun mengongkosi kehidupan dirinya. Kini, dia baru diterima bekerja di PJKA. Ayahnya sudah kawin lagi. Sementara ibunya sedang mengais rezeki sebagai TKW di Arab Saudi.

Begitulah rupanya kehidupan. Ada yang kaya ada yang pas-pasan. Bagaikan roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Alex sedang di atas, Badrun rupanya sedang di bawah. Yang nulis ini (aku) merasa masih di bawah, hehehe....

Melihat kehidupan ini, kupikir tergantung kerangka berpikir kita (frame of reference-nya). Jika dilihat dari pola pikir negatif, ya sepertinya semua negatif gak ada positifnya. Tapi jika kita mampu melihat jauh ke depan, mampu menyibak atau menyingkirkan pikiran negatif, Insya Allah yang kita pandang tentang kehidupan ini agaknya ada suatu yang mencerahkan. Walau hanya seberkas cahaya! Pokoknya ada sisi "positif"-nya yang bisa kita petik.

Untunglah dulu, ketika aku masih ABG, aku tidak mengikuti langkah-langkah setan. Langkah-langkah yang menyesatkan. Langkah-langkah yang bisa menjerumuskan ke dalam neraka jahanam! Ada saja yang menawariku, ganja. Tapi aku tak terpikat. Alhamdulillah, aku bisa lolos dari masa ABG yang penuh godaan.

Masa ABG adalah masa pancaroba, masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Masa rawan godaan. Masanya mudah tergelincir oleh lingkungan. Khususnya teman-teman yang kecanduan narkoba. Senang berbuat kriminal. Dan akrab dengan miras.

Alex dan Badrun. Sama-sama sedang mengalami "ujian". Yang satu diuji dengan kekayaan, yang satu diuji dengan "kesempitan" harta. Begitulah hidup, nak! Jangan cepat bangga, atau berkecil hati dengan apa yang kita alami. Kuncinya "Syukur" dan "Sabar". Dan yang penting ojo lali (don't forget) shalat 5 waktu!

Bersyukur ketika kaya, berkelimpahan. Bersabar ketika sedang ditimpa kesempitan. Ok, bro?!

Wassalam,
SangPenging@T!

Minggu, Agustus 18, 2013

Uang

Uang dicari orang. Bangun tidur yang dipikirkan uang. Anak-anak mau berangkat ke sekolah, minta uang. Istri mau masak, butuh uang. Suami mau kerja, jelas perlu uang. Buat ongkos transport naik taxi, bus kota atau ojek. Atau buat beli bensin.

Uang jadi pusat perhatian orang. Tak peduli orang yang sudah kaya, apalagi yang masih kere. Uang, uang, uang. Mungkin saja itulah zikirnya orang yang fokusnya duniawi!

Mulai dari keluarga melarat sampai keluarga konglomerat, uang tak pernah luput dari perhatian. Yang melarat, bingung bagaimana cara menyiasati hidup dengan uang yang sedikit. Yang kaya raya, bingung bagaimana supaya hartanya tetap awet, tidak boleh berkurang. Kalau perlu meningkat terus, tambah terus, berkembang-biak. Terus, terus dan teruuuuuuuus...

Ya, ya ya uang memang dibutuhkan semua orang. Tapi ngomong-ngomong ada nggak sih orang yang tidak butuh uang? Rasa-rasanya kok nggak ada ya?

Kerja itu ibadah. Kerja tujuannya untuk cari uang. Uang diperlukan supaya bisa hidup enak.

Ustadz juga manusia. Butuh duit juga. Tapi orang bilang, jadi ustadz jangan mengharapkan honor (duit!). Jadi ustadz harus iklas, dibayar nggak dibayar, harus tampil maksimal. Wah kalimat ini sepertinya menyesatkan. Dan bikin gusar, bagi yang punya keinginan mau jadi ustadz.

Ustadz sama saja dengan profesi yang lain. Butuh bayaran. Butuh ganjaran. Ambil contoh profesi dokter. Dokter memeriksa pasien. Kasih resep. Lalu dibayar pasien, atau asuransi. Pasien sehat. Dokter pun dapat ganjaran dari Allah. Insya Allah berupa (berbuah) pahala. Betul? Apa dokter yang menjadi sarana (berkat resepnya) orang jadi sehat kembali, lalu dapatnya dosa? Rasanya tidaklah yaow.

Jadi ustadz dibayar mahal atau minta bayaran, aku rasa nggak usah jadi persoalan yang pelik. Bahkan jadi polemik. Ustadz jelas ikhlas dibayar besar. Kalau nggak dibayar? Wah, itu mah silahkan tanya kepada ustadznya saja, jangan tanya aku. Cuma yang dibutuhkan disini adalah pengertiannya panitia. Unsur kepantasan bayaran yang diterima ustadz, harus jadi pertimbangan yang matang. Masak ustadz kelas kaliber dibayar tak sepadan. Yang berlaku umum sih, orang "besar" (top/ kondang/ ternama) dibayar besar.

Kenapa untuk membayar guru les piano, berani bayar gede. Sementara untuk membayar guru mengaji, secukupnya saja ( bahkan kalau bisa bayaran cukup "seikhlasnya"). Sungguh memprihatinkan.

Ustadz, guru ngaji itu manfaatnya besar lho bagi kehidupan kita sebagai manusia. Dengan lantaran ustadz, kyai, guru ngaji, ahli agama, kita jadi tahu mana yang benar mana yang salah. Mana jalan ke surga, mana jalan ke neraka!

Bersyukurlah kita bisa jumpa dengan ustadz yang membuat pikiran, hati kita tercerahkan. Jadi paham ilmu agama. So, ustadz di bayar gede, why not?

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Agustus 14, 2013

Anakku

Anakku, kau sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Sifat manjamu, semakin menjadi. Kau hitam manis. Keriting halus rambutmu. Emosimu tinggi, percis seperti aku.

Kemarin kumarahi kau, gara-gara HP-ku kau pakai, tapi tak kau rawat. Baterei nyaris habis, tak juga kau charge lagi.

Malam harinya kulihat, kau tidur pulas. Aku merasa bersalah telah memarahimu. Maafkan, bapak.

Pesanku, kamu jaga dirimu baik-baik. Jaga perilakumu. Hormati orangtuamu. Bapak dan Ibumu tidak gila hormat. Tapi yang kami inginkan hanya suatu penghormatan yang wajar namun tulus. Sewajarnya anak-anak hormat kepada orangtuanya. Itu saja.

Sampai kini aku masih terus belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik. Kadang aku suka  flash back, bagaimana ketika dulu (waktu usiaku muda) bersikap kepada Ayah dan Ibunda. Ternyata jadi orangtua itu tidak mudah. Apalagi menghadapi anak-anaknya di usia remaja. Kemauannya banyak, tak peduli orangtuanya punya duit banyak atau tidak. 

Wassalam,
SangPenging@T!

Usiaku

Kumaki-maki "usia muda" diriku. Ah, makian itu tak baik. Itu tanda tak pandai bersyukur. Kumarahi diriku. Ah, ngapain harus memarahi diri sendiri. Kasihan. Lagi pula ngapain sih kok segitu marahnya, kok segitu hebatnya kau memaki dirimu sendiri? Jawabannya, simpel. Aku menyesal telah melewatkan usia mudaku dengan sia-sia, tanpa prestasi! Itulah pangkal kemarahanku hari ini.

Kuiri dengan anak muda yang sudah punya prestasi. Ada penulis muda sudah meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award. Ada perancang busana muda yang sudah melanglang buana. Ada pembalap muda. Ada pengusaha muda, yang sudah kaya raya. Ada daun muda, oh no bukan-bukan, ini konotasinya negatif.

Dan kini aku ingin mengambil senjata bazooka entah milik siapa, lalu aku arahkan moncong bazooka yang kupegang erat-erat dengan dendam kusumat, ke satu titik tembak yaitu "usia muda"ku!

Usia muda sudah kulewati jauh di belakang. Percuma saja kutembak, kuhancurkan. Karena usia mudaku, sudah hancur, sudah lewat, sudah musnah. Entah dimana, kutak tahu! Yang pasti yang ada sekarang tinggal kenangan. Kenangan pahit dan manis. Campur aduk. Tak sulit sih aku memisahkannya. Kadang kenangan pahit yang datang, kadang kenangan manis yang terhidang dalam memori otakku.

Usia muda. usia muda. Membuatku geleng-geleng kepala. Kasihan betul usia mudaku itu. Tidak maksimal aku manfaatkan. Akibatnya? Di usia tuaku, aku terombang-ambing pada gelombang kehidupan.

Aku masih bingung menentukan sikap, mau dibawa kemana usia tua-ku ini. "Mau disia-siakan lagi?!" suara pertanyaan itu menggelegar, bagai petir raksasa yang nyaris membakar pepohonan rindang di perkebunan tak bertuan.

Dulu ketika mau maju di usia muda. Aku masih malu-malu. Aku tak punya nyali. Aku merasa banci. Bangsat! teriakku, makian itu kutujukan kepada seseorang yang telah melecehkanku, meminggirkanku, bahkan meludahiku walau ludah itu tak menyentuh tubuhku. Tapi harga diriku terlanjur serasa dirobek-robek. Aku jadi mau muntah, melihat polahnya!

Suaraku, gerakan tanganku, langkah kakiku di usia muda. seakan terjerat oleh kata-kata, "Masih muda, belum saatnya!". Kini, suara itu aku cari lagi kemana suara itu lari. Suara yang membuat usia mudaku berlalu sia-sia. Suara yang membuatku takut bertindak. takut beraksi. takut berprestasi. Atau?

Dasar aku memang bodoh. Idiot. Tolol??? Sehingga kesempatan untuk berprestasi di usia muda, lewat begitu saja? Hahh!!? Jawab, ayo jawab! Apa memang kau totol, bodoh?

Ya, ya ya, mungkin saja begitu. Begitu bagaimana? yaitu. Yaitu bagaimana? Tolol, goblok idiot! itu maksudku. Kuteriakkan kata-kata itu kepada bayangan hitam menyeramkan yang selalu memojokkanku dengan pertanyaan yang membuat aku semakin terperosok dalam penyesalan. Menyesali telah menyia-nyiakan usia muda.

Sekarang, aku sudah setengah abad lebih. Aku tak ingin mengulangi lagi seperti masa muda yang telah berlalu. Menyia-nyiakan usia tuaku. Tidak! Di usia tuaku, aku harus fokuskan, kepada kehidupan akhirat. Tapi tidak melupakan dunia.

Aku tak ingin nanti memaki, memarahi diriku sendiri di dalam kuburan yang gelap. Lantaran tidak taat di usia setengah abad, kepada perintah Allah Swt.

Wassalam,
SangPenging@T!

Senin, Agustus 12, 2013

Istriku

Kau belahan jiwaku. Kau pakaianku, aku pakaianmu. Cemburuku adalah cemburumu. Ah, apa iya? Aku suka yang ada padamu. Tapi kutak suka bau kentutmu.

Kata-katamu, lebih banyak menyemangatiku. Walau kadang meruntuhkan semangatku. Tapi tak mengapa, aku suka itu.

Istriku, kau ladang bagiku. Kutanami kapan kusuka. Dari sorot matamu, kutahu kau bahagia tapi kadang kau menyimpan kesedihan. Ternyata suka dan duka, warna setiap rumah tangga.

Maafkan aku jika sampai detik ini, Senin 12 Agustus 2013, saat kutulis catatan ini, aku belum juga bisa memberikan sesuatu keinginanmu yang sangat kau inginkan. Inilah hidup. Kata "Sabar," sudah ribuan kali terucap dari mulutku.

Istriku, kadang kau terlihat cantik bagai bidadari surgaku. Tetapi kadang kau bagai "sesuatu" yang tak ingin kusapa. Seperti musuh dalam selimut. Oh ya?

Kau makmum setiaku. Dari rahimmu telah kau lahirkan dua anak yang sehat bagiku. Buah cinta kita berdua, satu laki-laki dan satu perempuan.

Istriku, kau adalah masterchef-ku. Dari tangan lentikmu, tidak terhitung sudah beberapa kali kau sajikan hidangan lezat untuk kami sekeluarga. Alhamdulillah...

Ketika kusakit kau rawat aku sepenuh hati. Saat jantungku kambuh, rasa khawatirmu tinggi. Terima kasih istriku, kau begitu baik untukku. Sementara balasan dariku sepertinya belum setimpal.

Doaku, jangan ambil nyawaku yaa Rabb, sebelum aku membahagiakan istriku, Dewi Antasari dan anak-anak kami.

Wasssalam,
SangPenging@T

Sabtu, Agustus 10, 2013

Imam Taraweh

Ini betul-betul malam yang luar biasa indah rasanya. Kenapa luar biasa? Karena malam ini adalah malam pertamaku menjadi imam shalat Taraweh. Harinya Senin, 22 Juli 2013. Atau malam ke-14 Bulan Ramadhan 1434 Hijriyah. Suasana malam itu ketika aku keluar dari masjid hendak pulang, sekitar jam 23.00, bulan nyaris purnama sedang menyapa langit malam. Berada tepat di atas kepalaku, layaknya posisi matahari jam 12 siang. Menambah indahnya malam itu.

Setiap orang pasti punya pengalaman pertama. Dan biasanya pengalaman pertama itu mempunyai makna yang dalam bagi setiap orang yang mengalaminya. Hal itu bisa jadi sebuah kenangan yang sulit terlupakan. Contohnya! Cinta pertama, atau malam pertama pengantin baru, hehehe...

Malam ini, giliranku memberikan kultum di Masjid Darul Muttaqin. Pada "Jadwal Kultum" tercetak imamnya dalam tanda asterik adalah Sdr. Jupri. Untungnya malam itu Sdr Jupri berhalangan hadir, karena harus masuk kerja (dapat giliran malam). Mengapa untung?

Karena aku tak perlu izin dia, untuk menggesernya sebagai imam shalat Tarawih dan Witir. Sebab sudah kutekadkan bulat-bulat, bahwa malam ini aku akan (nekad) menjadi imam. Lho kok nekad? Sebab kapan lagi, pikirku. Aku akan membuat sejarah dalam hidupku, hatiku berteriak begitu. Tetapi bukan nekad ala Bonek seperti suporter Persebaya, hehehe...

Rasanya kurang nyaman kalau menyodor-nyodorkan diri ini untuk jadi imam. Agak pakewuh (kurang sopan). Tetapi kok kesempatan itu nggak datang-datang juga. Padahal hafalan surah-surahku sudah lumayan nih. Pejabat masjid yang berwenang sudah kusindir-sindir. Berikan dong pada yang muda untuk maju sebagai imam. Tetapi upaya itu bagaikan lemparan batu di samudera. Tak terdengar, atau lebih tepatnya tidak digubris.

Nah, mumpung pada jadwal, tertera namaku dalam kolom "penceramah/imam". Artinya penceramah merangkap imam. Aku harus menyambar kesempatan itu! Tanda asterik (*) tak kugubris. Harus disingkirkan!

Dari dulu (kurang lebih sejak enam tahun lalu) aku hanya berani menyampaikan kultum, dan untuk imam aku serahkan kepada Pak Juremi. Karena aku kurang PeDe (percaya diri), karena bacaan surahku waktu itu masih terbatas pada surah-surah yang pendek.

Tibalah saatnya yang kutunggu-tunggu tiba.

Bagi manusia normal, pengalaman pertama pasti memacu andrenalin lebih kencang. Begitu juga aku. Apalagi jantungku sudah divonis jantung koroner dan jantung bocor. Gawat! Malam itu jantungku berdebar kencang. Rasa menusuk di jantungku semakin terasa bagai pedang tajam. Obat pereda sakit jantung sudah kutaruh di bawah lidah.

Merasa kondisi jantungku yang rada mengkhawatirkan, aku berbisik kepada Ustadz Juremi yang duduk di sampingku, "Pak, nanti jika saya nggak kuat jadi imam, teruskan ya". Kulihat dia tidak meng-iya-kan permohonanku, tetapi beliau menyemangatiku. "Ayo, yakin bisa!"

Dengan ucapan "Bismillah", aku maju ke depan memberikan tausyiah (kultum). Setelah pembawa acara (mc) mempersilahkan waktu dan tempat kepadaku. Setelah berdiri dan menyampaikan doa pembuka kultum, debaran jantung berkurang, seterusnya aku jadi enak menyampaikan ceramah.

Setelah usai menyampaikan kultum, nah tibalah saatnya menjadi imam. Jantung kembali agak berdebar kencang dan seperti biasa ada rasa menusuk di jantungku. Tak kugubris rasa itu, tekadku semakin menguat bukannya mengendur.

Aneh, ketika takbir aku teriakkan lantang, tiba-tiba aku membayangkan seperti sedang menunggang motor balap ber-cc besar dengan balutan body logo REPSOL yang dinaiki dan dipacu kencang oleh Mark Marqueze. Pembalap muda di seri MotoGP. Dan di tahun ini 2013 adalah debut pertamanya di kelas 500cc. Langsung membabat pembalap senior seperti Dani Pedrosa, Lorenzo, dan Valentino Rossi.

Yess! Rakaat pertama berjalan lancar. Rakaat keempat (?) aku nyaris terpeleset di tikungan. Bacaan surahku nyaris lupa. Rakaat selanjutnya aku semakin asyik dan menikmati surah-surah Al Quran yang kubaca. Meski jantung ini belum seratus persen reda rasa menusuknya. Tapi tak kuhiraukan rasa itu.

Akhirnya selesai sebelas rakaat shalat Taraweh, lalu kulanjutkan tiga rakaat shalat Witir sebagai imam. Alhamdulillah, berjalan lancar. Kupanjatkan rasa syukurku bertalu-talu, di dalam hati. Menjadi imam di masjid dengan jumlah jamaah lebih dari lima ratus orang. Rasanya seperti seorang "pilot" yang sedang menerbangkan pesawat Boeing 747 atau Airbus 308. Luar biasa.

Yaa Rabb, berikan kekuatan kepadaku untuk tetap istiqamah di jalan yang Engkau ridhoi yaa Allah...

Wassalam,
SangPenging@T!

Jumat, Agustus 09, 2013

Ujar "Sang Penging@T"!

Dulu ada Uje. Dan sampai kapan pun Uje (Ustadz Jeffry al Buchori tetap hidup di hati umat Islam yang mencintainya. Meskipun Uje sudah tiada, ceramahnya yang inspiratif, informatif dan komunikatif selalu bisa kita nikmati melalui YouToBe.

Kini ada "Ujar". Wow siapakah Ujar? Ustadz M.Fajar Irianto Ludjito. Oh, benarkah begitu? tidakkah ini disengaja atau sekedar dipas-paskan? Ya betul ini kebetulan yang disengaja dan dipas-paskan. Berani-beraninya Anda menyandang gelar ustadz? Memangnya kenape, masalah... buat loh (Anda)? Begitu kata anak muda zaman ini berseloroh... hehehe....

Berat memang berat, jika sudah berani (lebih tepatnya nekat) mencantumkan kata "ustadz" di depan sebuah nama. Ya, betul berat memang, tapi kenapa tidak boleh? Jujur gelar itu bukan untuk gaya-gayaan (apalagi biar dibilang hebat!_). Tidak! Tetapi sekedar sebagai pemicu kebaikan dalam perjalanan hidupku. Eh, mungkin saja lebih tepat istilahnya "julukan" sih, bukan gelar. Ya julukan "ustadz" di depan namaku, aku umpamakan, sebagai pedang tajam yang siap menebas namaku, pribadiku, menusuk perasaanku jika aku tidak lurus melangkahkan kaki ini di jalan yang Allah ridhoi.

Boleh jadi bagi pembaca yang iri, akan berkata, "sekalian aja pakai gelar KYAI di depan nama ente, Jar! jangan nanggung-nanggung..." Ah, jauuuuh panggang dari api, bro!

Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan gelar/istilah/julukan "USTADZ" itu? Untuk itu aku bertanya kepada Mbah"Google" yang serba tahu. Akhirnya kutemukan tulisannya Abi Syakir pada sebuah blog. Aku kutipkan dengan lengkap disini, penjelasannya tentang arti kata ustadz, sebagai berikut:

Istilah USTADZ di Mata Orang Indonesia…
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Kalau orang Indonesia ditanya, apa sih arti kata ustadz? Belum tentu ada yang paham. Masih lumayan kalau dia menjawab, “Ustadz itu artinya guru.” Ini masih lumayan meskipun sebenarnya masih terlalugeneral (polos).
Dalam tulisan ini kita akan jelaskan posisi ustadz yang sebenarnya (insya Allah), agar Anda semua tidak salah paham.
[1]. Secara umum, ustadz itu diartikan sebagai GURU atau pendidik. Ini adalah pengertian dasarnya.
[2]. Guru dalam khazanah Arab atau Islam, memiliki banyak istilah yang berbeda-beda, yaitu: MudarrisMu’allimMuaddibMusyrifMurabbi,Mursyid, dan termasuk Ustadz. Masing-masing istilah memiliki makna tersendiri.
[3]. Mudarris artinya guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang menyampaikan dirasah atau pelajaran. Siapa saja yang menyampaikan pelajaran di hadapan murid-murid, dia adalah Mudarris.
[4]. Mu’allim artinya guru juga, tetapi lebih spesifik: Orang yang berusaha menjadikan murid-muridnya tahu, setelah sebelumnya mereka belum tahu. Tugas Mu’allim itu melakukan transformasi pengetahuan, sehingga muridnya menjadi tahu.
[5]. Muaddib atau Musyrif, artinya juga guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mengajarkan adab (etika dan moral), sehingga murid-muridnya menjadi lebih beradab atau mulia (syarif). Penekanannya lebih pada pendidikan akhlak, atau pendidikan karakter mulia.
[6]. Murabbi artinya sama, yaitu guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mendidik manusia sedemikian rupa, dengan ilmu dan akhlak, agar menjadi lebih berilmu, lebih berakhlak, dan lebih berdaya. Orientasinya memperbaiki kualitas kepribadian murid-muridnya, melalui proses belajar-mengajar secara intens. Murabbi itu bisa diumpamakan seperti petani yang menanam benih, memelihara tanaman baik-baik, sampai memetik hasilnya.
[7]. Mursyid artinya juga guru, tetapi skalanya lebih luas dari Murabbi. Kalau Murabbi cenderung privasi, terbatas jumlah muridnya, maka Musyrid lebih luas dari itu. Mursyid dalam terminologi shufi bisa memiliki sangat banyak murid-murid.
[8]. Baru kita masuk pengertian Ustadz. Secara dasar, ustadz memang artinya guru. Tetapi guru yang istimewa. Ia adalah seorang Mudarris, karena mengajarkan pelajaran. Ia seorang Mu’addib, karena juga mendidik manusia agar lebih beradab (berakhlak). Dia seorang Mu’allim, karena bertanggung-jawab melalukan transformasi ilmiah (menjadikan murid-muridnya tahu, setelah sebelumnya tidak tahu). Dan dia sekaligus seorang Murabbi, yaitu pendidik yang komplit. Jadi, seorang ustadz itu memiliki kapasitas ilmu, akhlak, terlibat dalam proses pembinaan, serta keteladanan.
[9]. Dalam istilah Arab modern, kalau Anda menemukan ada istilah “Al Ustadz Ad Duktur” di depan nama seseorang, itu sama dengan “Profesor Doktor”. Jadi Al Ustadz itu sebenarnya padanan untukProfesor. Kalau tidak percaya, coba tanyakan kepada para ahli-ahli Islam yang pernah kuliah di Timur Tengah, apa pengertian “Al Ustadz Ad Duktur”?
[10]. Sejujurnya, istilah Ustadz itu dalam tataran ilmu, berada satu tingkat di bawah istilah Ulama atau Syaikh. Kalau seseorang disebut Ustadz, dia itu sebenarnya ulama atau mendekati derajat ulama. Contoh, seperti sebutan Ustadz Muhammad Abdul Baqi’, Ustadz Said Hawa, Ustadz Hasan Al Hudaibi, Ustadz Muhammad Assad, dan lain-lain.Istilah Ustadz itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Di dalamnya terkandung makna ilmu, pengajaran, akhlak, dan keteladanan. Kalau kemudian di Indonesia, istilah Ustadz sangat murah meriah, atau diobral gratis… Ya itu karena kita saja yang tidak tahu.
Ke depan, jangan mudah-mudah menyebut atau memberi gelar ustadz, kalau memang yang bersangkutan tidak pada proporsinya untuk menerima hal itu. Sebagai alternatif, orang-orang yang terlibat dalam dakwah Islam bisa disebut sebagai: Dai (pendakwah),muballigh (penyampai risalah), khatib (orator), ‘alim (orang berilmu), dan yang semisal itu.
Adapun istilah Ustadz Selebritis, Ustadz Gaul, Ustadz Entertainis, Ustadz Komersil, Ustadz Panggung…dan lain-lain; semua ini tidak benar, ia bukan peristilahan yang benar. Derajat ustadz itu dekat dengan ulama. Itu harus dicatat!(Abinya Syakir)

Nah kini semakin jelas bagiku, ternyata menyandang gelar/julukan ustadz itu tidak ringan. Termasuk golongan ustadz tipe yang manakah aku ini, ah itu mah terserah pembaca sajalah menggolongkannya.

Fokusnya, harus berilmu, mampu menjadi teladan, satunya kata dengan perbuatan, dan jauuuh dari akhlak yang buruk.

Oke, no problem. Justru disinilah tantangannya. Akan kuhadapi. Semoga Allah meridhoi langkahku.

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Juli 17, 2013

Puasa 2013

Hari ini (Rabu, 17 Juli 2013) puasa sudah memasuki hari ke delapan di bulan Ramadhan 1434 H. Perut ini semakin terbiasa dengan tidak makan minum di siang hari.

Iman ini semoga semakin taqwa. Emosi hati ini semoga semakin tertata. Tapi ya itu tadi memang baru sebatas "semoga" alias baru harapan. Sebab ternyata "iman dan hati" ini mudah sekali terombang ambing oleh godaan mata dan perut. Godaan dunia!

Apa yang terlihat oleh mata, gampang sekali mempengaruhi hati. Lihat yang sexy, syahwat meninggi. Lihat makanan lezat, mulut ingin menyantap. Lihat teman hidupnya semakin "wah", hati ini jadi "weleh-weleh". Apaan tuh weleh-weleh? ya itu, bikin hati iri. Ingin juga seperti dia.

Iri itu baik kalau membuat kita jadi semakin baik. Lho? maksudnya opo? Ya artinya kita boleh iri kepada orang yang shaleh dan taqwa. Dengan begitu kita jadi semakin gigih buat bisa menyaingi dia dalam hal-hal kebaikan. Misal, dia rajin shalat lima waktu. Kita ikutan juga rajin. Tapi ikutannya bukan karena supaya bisa menyaingi dia. Tetaplah tujuan kita rajin shalat (dan beribadah yang lainnya) bukan karena buat nyaingin kawan. Tapi semata-mata karena Allah Swt. Titik!

Puasa di masa dewasa, terasa berbeda dengan puasa di masa kanak-kanak. Puasa di masa kanak-kanak harapannya, supaya lebaran bisa dapat duit banyak, lalu memakai baju dan sepatu baru. Itu tujuan utama anak-anak puasa. Karena dulu ketika aku puasa, sehari dapat seratus rupiah (kalau tidak salah ingat, artinya bener dong...hehehe). Jadi lebaran bakal dapat duit tiga ribu kontan dari bapak. Wuih, ditahun 1970-an tiga ribu rupiah, nilainya gede lho! Asal tahu saja kalau tidak salah, harga premium, waktu itu Rp 75,-/liter.

Anakku yang bungsu, sekarang minta hadiah sepuluh ribu sehari. Ck ck ck...

Nah, ketika kepala ditumbuhi uban, semakin kusadari bahwa aku puasa untuk mengincar pahala. Sebab mengharapkan ada yang kasih duit kalau puasanya pol, siapa yang mau ngasih? Sehari tanpa puasa terasa betul betapa berdosanya.

Tapi yang kuheran, kenapa ada orang dewasa yang mengaku Islam, tapi nggak puasa (tanpa alasan yang jelas, kecuali malas)? Mereka berani betul melanggar perintah Allah Swt.

Yuuk puasa yang ikhlas, agar puasa terasa ringan. Haus memang haus. Lapar memang lapar. Namanya juga puasa. Tapi haus dan laparnya orang yang ikhlas berpuasa, Insya Allah berbuah pahala. Surga menanti.

Wassalam,
SangPenging@T!

Kamis, Juni 20, 2013

Sihir Televisi

Televisi bisa menyihir siapa saja yang "kebetulan" menyukai suatu program acara televisi. Mulai dari sinetron, acara gossip (ghibah!) dengan berbagai nama, sampai siaran langsung olahraga. Mengapa disebut sihir? karena orang yang tersihir bisa dibuat "lupa" diri, walau sejenak.

Ketika sedang asyik nonton televisi, kemudian terdengar adzan berkumandang, maka setan buru-buru membisikkan serangkaian kata-kata manis, bunyinya bisa begini; "Udah nanti aja shalatnya, nanggung bentar lagi iklan... Nah pas iklan baru deh, shalat!".

Kalau sudah begitu, jadilah shalat uber-uberan sama iklan. Takut sinetron sudah mulai, sementara shalat belum selesai. Kadangkala sampai-sampai makmumnya pesan; "Pak, baca surahnya jangan yang panjang-panjang". 

Siaran langsung (live) pertandingan sepakbola umumnya bertepatan waktunya dengan saat yang pas untuk shalat tahajud. Sekitar jam 2 sampai jam 4 pagi dini hari. Idealnya sih, shalat tahajud dulu baru nonton sepakbola. Tetapi dasar setan, "sang penggoda"! Untuk urusan duniawi, dia punya seribu satu cara buat menggoda manusia. Supaya apa? Nggak shalat lima waktu, apalagi shalat tahajud!


Aku sebagai manusia juga pernah menjadi korban "sihir"nya televisi.

Suatu hari, entah episode yang keberapa, aku tersihir tayangan X-Factor. Aku terpesona pada peserta finalis X-Factor, yaitu penyanyi berbadan imut, Fatin Sidqia. Akibatnya? aku ikuti acara itu sampai selesai sekitar jam 2 pagi.

Padahal sudah bertekad habis acara, tidur sebentar, baru shalat Tahajud. Eh, kenyataannya tidurku pulas. Alarm handphone tak terdengar. Adzan subuh apalagi. Alhasil? Tahajud lewat, dan shalat Subuh berjamaah di masjid pun luput. Akhirnya shalat subuh di rumah saja. Masya Allah. Nyesel bin rugi rasanya. Ibadah dengan nilai pahala yang tinggi terabaikan!

Ketika siaran langsung MotoGP 2013 dari Amerika, aku nyaris tersihir. Jam dua pagi balapan baru dimulai. Balapan bakal berlangsung seru, apalagi persaingan antara Dani Pedrosa dan Marc Marquez sungguh menarik untuk ditonton. Tapi no way! Aku tak ingin tersihir untuk melalaikan Tahajud. Yeap! aku sisihkan waktu buat tahajud sebelum acara dimulai. Rupanya dengan tekad kuat. Bisa tuh!

Mengapa sih kita malas untuk tahajud? belum biasa? sungkan? atau ada alasan yang lainnya?

Ketika pertandingan sepakbola tim favorit kita berlaga, bisa tuh mata kita terjaga dan kuat untuk lek-lekan (begadang). Tapi kenapa untuk tahajud tidak kuat? Sungguh disayangkan.

Nikmat dunia oke no problem, tapi akhirat jangan dilupakan dong. Yuk biasakan tahajud sebelum nonton sepakbola siaran langsung dinihari.

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Mei 22, 2013

Lima Puluh Tahun Tambah Satu

Alhamdulillah... kupanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah Swt. Pada hari Selasa ini, tanggal 21 Mei 2013, usiaku tepat 51 tahun. Benar-benar tak pernah kubayangkan aku bisa mencapai usia di angka 51.

Tahun demi tahun yang kujalani, tak terasa sudah memasuki tahun yang ke-51. Setengah abad lebih satu tahun. Subhanallah...

Tak bisa kuhitung berapa pahala dan dosa yang sudah ku-"kantongi". Rasa-rasanya pahala masih amat sedikit, tetapi dosanya seabreg! Ngeri aku membayangkan, kalau tiba-tiba berjumpa malaikatul maut, sementara tubuh masih terlumuri dosa.

Prestasinya sampai di usia 51 mana, bro? Jangan ditanya, sebab belum ada yang bisa dibanggakan. Aku bercita-cita mudah-mudahan beberapa tahun ke depan ada suatu prestasi yang bisa kutorehkan. Semoga Allah meridhoi langkah-langkahku dan cita-citaku. Aamiin... 

Yaa Rabb, kuberharap semoga kelak kiranya kubisa mengakhiri hidupku ini dalam keadaan Khusnul Khotimah.

Wassalam,
SangPenging@T!

Selasa, Mei 14, 2013

Uje

Ketika sedang asyik bekerja di depan monitor komputer. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh berita pagi dari salah satu saluran televisi. Aku terpana, setengah tidak percaya. Pembaca berita mengabarkan kabar duka seperti ini; Hari Jumat, 26 April 2013 sekitar pukul 2.00 dini hari tadi, Ustadz Jefri al Buchori meninggal dunia, akibat kecelakaan tunggal lalulintas, di jalan Gedong Hijau 7, Pondok Indah.

Spontan mulutku berucap; Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Sambil masih menyimpan rasa tak percaya, aku sigap memencet remote control untuk mencari tahu kebenaran info tersebut dari beberapa saluran televisi yang lain. Setelah itu, baru kuyakin bahwa berita kematian Uje, memang betul.

Moge, motor besar Kawasaki kesayangannya yang dikendarainya sendiri menabrak sebuah pohon di tepi jalan Gedong Hijau 7, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Uje, (demikian dia lebih suka dipanggil) mengalami kecelakaan itu dalam perjalanan pulang sehabis ngopi bareng kawan-kawannya di sebuah cafe di daerah Kemang.

Ternyata hidup di dunia ini begitu singkat. Usia hidup mau 40 tahun, 50, 60, 70 atau 80 tahun, tetap saja komentar orang-orang yang ditinggal, rasanya (orang yang kita kasihi) seperti hidup hanya beberapa hari saja di dunia ini. Masak sih? Bisakah membayangkan ketika lulus SD, bagi mereka yang sekarang sudah berusia lanjut dan belum pikun maka rasa-rasanya baru kemarin lulus SD, eh sekarang sudah pensiun.

Takdir meninggal di malam itu tak bisa ditolaknya. "Ayah" guru spiritualnya dari Jember sudah melarangnya agar Uje tidak pergi malam itu. Sebab dia melihat Uje masih lemah, setelah beberapa hari menderita sakit. Tapi Uje memaksa, harus pergi malam itu. "Uje sudah sehat ayah, doakan saja Uje selamat ya". Dia sempat berucap,"kalau sudah jatuh tempo bagaimanana Ayah?". Ternyata itu adalah kepergian Uje untuk selama-lamanya. Terjawab sudah kata "jatuh tempo" yang sering diucapkannya kepada gurunya itu. "Ayah"nya sempat bingung dan mencari tahu apa makna kata "jatuh tempo" bagi Uje.

Beberapa hari yang lalu, dalam obrolan dengan seorang teman perihal poligami yang dilakoni oleh sebagian ustadz kondang. Diantaranya tercetus tentang Uje. Agaknya dia setia pada satu pasangan. Tidak tergiur untuk nambah istri lagi. Dalam hatiku bertanya, iya ya... kemana Uje ya. Kok sudah lama tidak muncul di infotainment ya? Eh, tanpa diduga, tiba-tiba Uje muncul dengan berita duka tentang kematiannya.

Meski tulisanku tentang Ustadz Jefry ini agak terlambat munculnya alias sudah kadaluwarsa. Tak apalah! toh tulisan ini mudah-mudahan bisa jadi kenangan (minimal di blogspotku ini) dan semoga ada pelajaran yang bisa kita petik.

Pesan Uje terakhir di dunia maya yang disampaikan kepada teman-teman dan sahabatnya lewat BBM penuh makna. Dia menulis,"Pada akhirnya.. semua akan menemukan yang namanya titik jenuh.. Dan pada saat itu.. Kembali adalah yang terbaik... Kembali kepada siapa..?? Kepada "DIA" pastinya.. Bismi_Ka Allohumma ahya wa amuut.." Uje 

Dalam salah satu situs berita, merdeka.com mencatat ada 4 keistimewaan kematian Uje. Aku kutip empat keistimewaan itu, adalah sebagai berikut;
1.) Jenazah Uje di shalatkan ribuan jamaah di Masjid Istiqlal, selepas shalat Jumat. TPU Karet Tengsin, Jakarta Pusat pun dijubeli oleh para pelayat yang menghadiri pemakaman Uje.
2.) Uje meninggal di hari Jumat, konon hari Jumat adalah sebagian tanda khusnul khotimah.
3.) Mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menteri sampai rakyat biasa turut berduka.Dalam status twitternya, Presiden menilai Uje sebagai sosok yang mencerahkan. "Kita kehilangan lagi orang baik yg mencerahkan. Selamat jalan Ustadz Jefri, semoga nilai yg disebarkan bisa menginspirasi kita semua. *SBY*," tulis Presiden SBY dalam akun twitter @SBYudhoyono miliknya.
4.) Meski sudah meninggal, Uje tetap memberi manfaat. Paling tidak ini dirasakan oleh para pedagang minuman dan makanan, loper koran dan pedagang souvenir. Juga tukang parkir.

Makam Uje sampai hari ke-tujuh masih ramai dikunjungi oleh anggota masyarakat yang merasa kehilangan Uje. Peziarah tidak hanya dari Jakarta, tetapi dari luar kota bahkan ada yang dari luar negeri (diantaranya dari Malaysia dan Singapore).

Aku angkat topi dan kuacungi dua jempol kepada almarhum Uje. Usianya 40 tahun ketika dipanggil menghadap Ilahi. Perjuangannya seperti belum selesai, itu jika dilihat oleh mata manusia yang hidup di zamannya. Tetapi bagaimana menurut Allah? keputusan-Nya lah yang terbaik.


Begitu mendengar berita bahwa jenazah Uje akan dishalatkan di Masjid Istiqlal, langsung tanpa pikir panjang aku putuskan aku harus ikut men-shalatkan jenazahnya. Begitu pukul 11 siang, aku segera membereskan pekerjaan di kantor. Untungnya pekerjaan lagi tidak menumpuk. Dengan motor bebek Honda kesayanganku (maklum keuangan belum memungkinkan beli Moge kayak Uje), aku tancap gas menuju Masjid Istiqlal. Aku pilih shalat di lantai dua. Dengan maksud agar bisa jelas melihat keranda Uje dari atas. Betul saja perkiraanku, Masjid Istiqlal dipadati para jemaah shalat Jumat, hingga lantai 4.

Biasanya selepas shalat Jumat ketika ada pengumuman, mohon kepada para jamaah untuk men-shalatkan jenazah si Fulan, maka sebagian jamaah ada yang langsung ngloyor pulang. Tetapi kali ini yang kulihat pemandangannya sungguh berbeda. Selepas shalat Jumat, rasanya tak ada satu pun dari ribuan jamaah yang ngloyor pulang. Mereka tetap ditempatnya (termasuk aku) dengan sabar menunggu jenazah Uje diusung ke depan mimbar. Mereka ingin bersama-sama ikut men-shalatkan jenazah Uje. Subhanallah...

Uje yang dulu "liar" (menurut istilahnya ketika hidup di masa "Jahiliyah"), kemudian tobat untuk menemukan jalan lurus, jalan yang diridhoi Allah, lewat umroh, dan usahanya yang gigih dan doa Ibunda. Uje yang dulu selalu bikin jengkel Umi (ibunda), kini jadi kebanggaan Umi, istrinya Pipik dan keluarganya, walau dia sudah tiada. Dia benar-benar "ToTal" alias tobat total (Taubatan Nasuha), bukan "ToMat!" alias tobat kumat. Habis tobat kumat lagi.

Uje dikenal sebagai ustadz gaul. Sepanjang hidupnya, aku pernah melihat langsung dua kali dia berceramah. Satu di pameran buku Ikapi, di Istora Senayan. Yang kedua di salah satu masjid di daerah Pondok Aren. Suaranya ketika bershalawat dan mengaji melengking tinggi. Merdu. Ketika berbicara agak serak-serak basah. Pembicaraannya enak didengar, mudah diikuti. "Oke, choi?"

Walau Uje sudah tiada, ceramahnya yang menggugah dan bermanfaat masih bisa kita nikmati lewat YouTube. Dikala kita (para penggemarnya) kangen dengan tausyiah-nya, segera saja klik YouTube ketik "Uje". Selamat menikmati dakwah-dakwahnya, sahabat.

Wassalam,
SangPenging@T!

Airmata istri tercinta dan jenazah Uje diantar ke peristirahatan terakhir.


Sabtu, April 20, 2013

Mengapa susah disuruh shalat?

"Kalau aku jadi...gubernur DKI, orang yang berKTP Islam tetapi 3kali nggak shalat Jumat tanpa alasan yang jelas, akan diganti e-KTPnya dengan kolom agama ditulis "Kafir!!!" (dengan tanda pentung jumlahnya tiga!! mantap bro!!! setuju?"

Itu adalah rangkaian kata yang tertulis di status facebook-ku pada hari Jumat tanggal 19 April 2013. Nadanya amat keras. Pasti banyak yang mencibir; "kayak sok suci aja, sok alim, mentang-mentang rajin shalat, dan jarang meninggalkan shalat Jumat. Sok luh!" Nah begitulah mungkin yang terlontar dari sebagian besar pembaca status facebook itu.


Ampun ya Rabb, aku mohon ampun. Terus terang itu adalah ungkapan "ke-prihatinan-ku" kepada mereka yang meremehkan perintah-Mu, yaa Tuhan.


Bukan sok pamer rajin shalat. Sebab shalat memang tidak untuk dipamerkan. Tapi hatiku ingin mengajak mereka ( yang belum atau enggan mendirikan shalat) untuk yuuk sama-sama kita taat menjalankan perintah agama. Itu saja. Sebab meninggalkan shalat adalah dosa besar, bukan?


Tak jemu-jemunya aku ajak teman-temanku (yang kebetulan satu kantor) untuk shalat Jumat. Tetapi mereka tak bergeming. Tetap tak beranjak dari tempat duduknya. Mereka merasa sayang meninggalkan kerjaannya dan obrolannya (jika sedang tidak ada kerjaan). 


Jawabnya enteng. Ada yang bilang "titip salam sama Tuhan, pak", atau "bapak duluan deh, ntar saya nyusul" padahal boro-boro nyusul. Mereka bukan pergi ke masjid tapi ke warteg. Masya Allah...


Pernah iseng kuajukan pertanyaan. Jika ada pengumuman, "Bagi karyawan yang tidak shalat Jumat hari ini, maka mulai besok dan seterusnya tidak usah masuk kantor lagi! Ttd. Direktur Personalia, /Mengetahui; Direktur Utama". Kira-kira kalian mau shalat Jumat nggak? Serempak mereka menjawab "Mauuu... pak!". Nah, berarti kalian takutnya sama bos dong, tetapi kepada Allah kalian nggak takut? Mereka terdiam seribu bahasa.

Shalat Jumat yang seminggu sekali saja malas ditunaikan, apalagi yang lima waktu. Jangan ditanya.


Allah sudah memerintahkan untuk shalat Jumat. Tertuang dalam firman-Nya Surah Jumu'ah(62) ayat 9 :


"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."


Tetapi mengapa mereka malas shalat? itulah pertanyaan yang senantiasa bertalu-talu mengusik hati ini. Apa sih yang menyebabkan mereka malas shalat?


Sampai akhirnya kutemukan jawabnya kenapa mereka enggan shalat, ketika kubaca surah Al Baqarah ayat 6 dan 7, Allah berfirman:


"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.


Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat."

Sayang, sungguh disayangkan jika kita mengaku Islam, ber-e-KTP Islam tapi perilaku kita jauh dari keislaman (ketaatan/ketaqwaan). Apa yang dimaksudkan dengan "taqwa" itu? Definisi taqwa di dalam Al Quran (Al Baqarah:2-5) dinyatakan:

Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. 

Harapanku sih dengan tulisan ini, mereka yang jauh dari shalat bisa tersentak kesadarannya. Bukan lagi zamannya, ambil rotan lalu memecut mereka supaya berangkat ke masjid. Memangnya anak kecil, memangnya kuda, toh mau masuk surga atau neraka itu adalah pilihan mereka.

Yaa Rabb, jauhkan aku dari riya, sombong dan pamer dalam beribadah. 


Wassalam,

SangPenging@T!

Minggu, April 14, 2013

Menyusahkan

Masa tua itu menakutkan ataukah tidak? Terus terang bagiku masa tua itu menakutkan. Terutama bila masa tuaku itu nanti, kalau hanya menyusahkan. Paling tidak menyusahkan istri dan anak-anakku. Sungguh aku tidak menginginkannya. Contohnya, masa tua sakit-sakitan yang berkepanjangan.

Tetapi itu hanya sekedar keinginan. Toh, yang punya kekuasaaan atas kondisi akhir hidup kita, tetaplah Allah. Kita hanya mampu berdoa dan berikhtiar, supaya tidak menyusahkan. Tetapi membahagiakan orang-orang tercinta di sekitar kita.

Hmm, hidup ini memang misteri. Tetapi menjalani hidup ini bukanlah suatu misteri, tetapi suatu rangkaian fakta! Itulah sebabnya mengapa kita harus merencanakan aktivitas kehidupan dengan baik, mau apa kita dalam sehari ini, bulan depan dan bahkan tahun depan. Tujuan "rencana" yang kita buat, dimaksudkan agar kita tidak terkaget-kaget atas apa yang sedang dan akan kita alami dalam kehidupan kita.

Tentu tidak ada orang waras yang ingin hidup susah dan menyusahkan. Meski begitu kok tetap saja kita menderita? Hmm, itu bisa jadi disebabkan oleh rangkaian dosa yang kita perbuat, sehingga Allah murka.

Jadi kesusahan yang kita alami, bisa jadi tujuannya untuk menyadarkan kita bahwa manusia tak berdaya atas ketentuan dan takdir Tuhan.

Susah di masa tua adalah "buah" perbuatan di masa muda. Masa muda tak sudi (malas!) menuntut ilmu, masa tua bakal menuai kebodohan, dan gampang dibodohi. Masa tua hidup miskin dan menyusahkan, bisa jadi dulu masa mudanya (masa produktif) nggak getol cari duit, menabung dan bersedekah. Dapat duit langsung dihambur-hamburkan.

Di akhirat kelak kecebur di neraka, akibat dulu ketika hidup di dunia malas beribadah dan tidak taat kepada perintah Allah Swt. Nauzubillah.

Jangan sia-siakan umur kita ketika masih hidup di dunia. Agar kehidupan akhirat kita, tidak menyusahkan diri sendiri.

Wassalam,
SangPenging@T!

Jumat, April 05, 2013

Masalah

Manusia hidup tidak ada yang tidak punya masalah. Bahkan tidak punya "masalah" pun bisa jadi masalah. Ah, masak sih. Boleh jadi kita merasa tidak punya masalah, tapi orang di luar sana melihat kitalah masalahnya.

Contoh gampangnya. Ketika kita memuntahkan kata-kata bernada merendahkan kepada seseorang. Bagi kita toh itu sekedar kalimat, sesuai fakta lagi. Tetapi bagi orang yang mendengarkan kalimat yang menusuk perasaannya itu, itu bagaikan palu godam yang menghantam egonya. Bisa membuatnya galau. Dan dapat memicu ledakan amarahnya.

Yang bagi kita itu masalah kecil, atau bahkan bukan masalah. Seperti misalnya ketika kita melontarkan kata, "Dasar bodoh!", kepada bawahan yang kebetulan belum tahu cara memecahkan suatu masalah. Alih-alih masalah yang menjadi inti persoalan terpecahkan, eh malah muncul masalah baru.

Masalah hidup silih berganti menerpa siapa saja yang beraktivitas. Hadapi saja masalah itu. Jangan lari dari masalah. Cari kunci penyelesaiannya. Kalau tidak bisa terpecahkan oleh diri kita sendiri. Jangan sungkan untuk menanyakan kepada ahlinya.

Ketika masalah menghadang dari segala penjuru. Dan kita merasa seakan menghadapi jalan buntu. Pada umumnya disitulah saatnya kita mengambil langkah pamungkas. Apakah itu? Memanjatkan doa yang khusuk kepada Tuhan.

Tetapi mengapa kebanyakan kita baru "mendekati" Tuhan tatkala sudah kepepet. Kemana saja selama ini? Ketika hidup nyaman seakan tanpa masalah, seolah-olah kita menjauh dari Allah. Perintah shalat ditinggalkan, pelit bersedekah padahal duit banyak.Why?

Ada masalah atau pun tidak ada masalah. Yuuk, harusnya kita tetap konsisten (istiqamah) menjalankan segala perintah-Nya. Insya Allah, selamat dunia dan akhirat.

Wassalam,
SangPenging@T

Kamis, Maret 21, 2013

Tukang Roti

Ada suatu keheranan yang terlintas di benak pikiranku waktu SMA dulu. Setiap kali aku melihat bapak-bapak tua yang masih tekun bekerja dalam satu bidang saja. Misalnya tukang roti, tukang kayu, dan tukang-tukang lainnya.

Kata "tukang" di sini mengandung arti sebagai profesi. Ada tukang masak, bahasa kerennya Chef. Tukang foto, disebut Photographer. Tukang ngintip? wah itu bukan profesi, tapi merujuk kepada "perilaku" tidak terpuji. Biasanya dilakukan oleh anak laki-laki atau pria jantan yang suka iseng.

Mengapa aku jadi heran? Ya heran saja aku melihat mereka masih tekun bekerja, padahal usia sudah senja, bahkan tua. Dan dulu, yang selalu mengusik rasa penasaranku, apakah mereka tidak bosan dengan pekerjaannya itu?

Kini ketika usiaku mulai beranjak setengah abad lebih, baru kutahu jawabnya. Mengapa mereka masih saja jadi tukang jam, misalnya? Yaitu, karena mereka (tukang-tukang) itu cinta mati dengan pekerjaannya. Mereka sudah mahir dengan pekerjaannya, merasa sudah ahli dibidang yang ditekuninya sejak lama. Mau beralih profesi, sudah merasa ke-tua-an.

Beberapa tahun lalu, di lingkungan rumahku, ada seorang bapak tua "tukang roti" yang rajin menawarkan rotinya kepadaku. Ketika aku sedang membaca koran atau buku di teras, dia kerap berteriak "Rooot ti! roti, pak?".

Kalau lagi ingin roti tawar, kupanggil dia. Setelah berhenti, kerap dia bilang sambil mengacungkan jarinya "Dua?".

"Satu saja cukup, pak," jawabku.

Dia tak merasa lelah mengayuh gerobak rotinya berjalan puluhan kilometer. Kini sapaan ramah itu sudah tak bisa kudengar lagi. Dia sudah meninggal. Dia setia dengan profesinya sebagai tukang roti sampai akhir hayatnya.

Sekarang mengenai profesi diriku yang sebagai "tukang desain grafis, desain iklan, liflet, poster, x-baner dan kartu nama". Profesi ini sudah kutekuni sejak lepas kuliah. Tahun 1989.

Pernah kudengar di telingaku. Seorang anak muda menohokku dengan pertanyaan, "Pak, nggak ingin istirahat di rumah saja pak? Nggak capek nge-disain pak?

Aku gelagapan menjawabnya. "Oh tentu tidak!". Dalam hatiku berteriak, enak aja istirahat. Ini menyangkut urusan dapur biar tetap ngebul dan kebutuhan hidup tak terganggu.

Rupanya itulah alasan dasar mengapa orang tetap kerja walau usia sudah senja. Dan memang hakikinya orang hidup harus ada yang dilakukan. Diam berarti mati.  Bergeraklah yang membuat manusia punya arti dalam kehidupan ini.

Untuk mengusir rasa bosan dengan profesiku itu, aku kini tengah mencoba profesi sebagai penulis dan penceramah. Kelasnya masih kultum, hehehe...

Pertanyaan anak muda tadi, mengingatkanku kepada pertanyaanku dulu yang pernah kuajukan kepada almarhum bapakku.

"Pak, bapak nggak bosan jadi pejabat terus?"

Dijawabnya enteng saja, "Bosan? ya tidaklah, lha wong enak kok jadi pejabat, fasilitas dapat, gaji gede, bisa keluar negeri gratis, bisa makan-makan bareng Menteri, dan Presiden. Setiap ada acara penting kenegaraan diundang. Ke Istana Negara, ke Gedung DPR/MPR, ke rumah menteri. Tanda tangan pejabat ada nilainya. Misalnya menandatangani ijazah sarjana."

"Oh, gitu toh pak," kataku.

"Dan jadi pejabat itu nggak gampang. Semakin tinggi posisi, semakin kencang "angin" menerpa." ujarnya lagi.

Yang pasti "bekerja adalah bagian dari ibadah". Hasil kerja sebagai ekspresi diri. Kerja dapat duit. Duit bisa digunakan untuk beramal shaleh. Mungkinkah kita beramal shaleh tanpa duit?

Dan aku menulis ini pun bagian dari kerja bukan? Semoga bermanfaat tulisan-tulisan yang aku tampilkan di blogspot-ku ini, kawan.

Wassalam,
SangPenging@T!

Selasa, Maret 12, 2013

Bukuku Korban Banjir

Aku masih sukar mengusir rasa sedih ini setiap kali menatap buku-buku Agama Islam, Manajemen, Pengembangan Pribadi, Graphic Design, dan Advertising yang rusak akibat terendam air dengan tiba-tiba. Banjir telah menghancurkan beberapa buku koleksi kesayanganku yang lupa aku selamatkan. Banjir datang tanpa diundang di pertengahan bulan Februari 2013

Paling tidak ada dua buku yang kulempar ke bak sampah. Tidak bisa kubaca lagi. Harganya seratus ribu lebih. Mungkin kalau sekarang harga buku sejenis itu bisa mencapai sekitar tiga ratus ribu.

Buku-buku korban banjir yang masih bisa diselamatkan, kertasnya sudah tak sempurna. Ada sekitar tiga puluhan buku dari berbagai disiplin ilmu yang babak belur akibat terendam air banjir.

Ya sudahlah tak perlu disesali, toh bencana ini sudah kehendak Tuhan. Atau bisa pula akibat ulah manusia yang semakin kurang ajar, menggunduli hutan di kawasan Puncak untuk dibangun villa. Dan ulah manusia yang sukanya mengurug lahan di tengah kota. Ketimbang menggunakan lahannya sebagai situ, untuk menadah air.

Para pengusaha tak sudi menjadikan tanahnya  sebagai danau. Jelaslah, mereka lebih suka tanahnya diurug dan dijadikan bangunan pertokoan atau pergudangan, yang punya nilai ekonomi yang tinggi.

Kembali ke nasib bukuku. Oh bukuku, bagaimana ini? Wheh disesali lagi. Katanya sudah tidak ingin disesali lagi. Memang sih tidak ingin disesali. Tapi hati ini kok rasanya nyesek, gelo. Menyesal kenapa tidak sempat menyelematkan buku-buku itu.

Ngomong-ngomong soal buku aku punya cerita perihal koleksi bukuku. Istriku paling benci kalau aku sering beli buku. Ketimbang beli beras, hehehe. Sehingga jika aku beli buku suka diam-diam. Sebab kalau sampai dia tahu, bisa repot.

Buku lagi, buku lagi. Bisa apa sih buku-buku itu ketika kita nggak punya uang? Itulah kalimat yang sering disemprotkannya pada diriku. Memang ini salahku, yang belum juga menerbitkan buku. Belum memanfaatkan semaksimal mungkin buku-buku yang sudah kubeli.

Dilihatnya seperti mubazir. Kenapa sih kok nggak beli emas saja? katanya lagi. Tapi tekadku tak surut, keyakinanku tinggi suatu saat nanti buku-buku itu akan "berbicara" bagi nasib hidup keluarga kita, sayangku.

Tapi yang kusuka dari istriku kini dia sudah semakin sadar betapa pentingnya buku, untuk memperkaya pengetahuan di dalam dirinya. Sudah kutemukan kiatnya supaya dia tidak marah ketika aku tiba-tiba membawa buku baru ke rumah. Yaitu dengan membawanya ke toko buku. Dan aku membeli buku baru di depan matanya. Beres!

Berulang kali kukatakan. Buku adalah "guru" yang tak pernah marah. Buku yang bermanfaat adalah guru yang senantiasa membimbing kita, kapan pun kita butuhkan. Mau jam 2 malam sekalipun, jika kita butuh informasi penting, tinggal buka buku yang kita punya.

Dan buku favoritku adalah Kitab Suci Al Qur'an. Tak terbantahkan, Quran menunjukkan jalan yang lurus. Al Qur'an bagaikan "peta" kehidupan. Tanpa "peta" kita akan tersesat dalam menempuh jalan kehidupan ini, kawan.

Di era internet sebetulnya tanpa buku kita tak usah mati kutu. Asal punya komputer yang terhubung dengan internet. Gampang, tinggal cari informasi di Google. Qur'an online pun dapat dengan mudah kita akses. Jadi tak ada alasan lagi untuk tidak membaca Qur'an setiap hari. Walau sekedar satu ayat.

Buku bukan untuk gengsi-gengsian. Membeli buku mahal, sayang jika hanya untuk dipajang di rak buku.  Atau untuk pamer bahwa kita mampu membeli buku berharga ratusan ribu. Tidak-tidak aku tidak ingin pamer dengan buku-buku itu.

Aku membeli buku karena aku ingin pintar, ingin serba tahu, ingin sih aku seperti kamus, atau ensiklopedi "berjalan". Ck, ck, ck Sehingga ketika bicara di depan umum, bisa "cas cis cus" alias tidak gagap pengetahuan.

Kawan, baca buku tambah ilmu. Yuuk, bangun perpustakaan pribadi di rumah kita masing-masing.

Wassalam,
SangPenging@T!

Senin, Maret 11, 2013

Minuman Keras

Ah, terus terang pikiranku jadi ikut kacau. Membaca artikel di koran online Poskota perihal "manusia setan" yang memutilasi pasangan kumpul kebonya. Namanya malas kusebutkan disini. Sebut saja si Bejat!

Disiksa dahulu baru dipotong-potong. Gila! Menurut pengakuan si Bejat, sebelum kejadian dia bersama korban minum minuman Tuak. Nah, akibatnya kalau setan sudah merasuk ke dalam jiwa orang yang sedang mabuk, bisa fatal. Terjadilah peristiwa biadab itu! Menjijikkan. Potongan mayat wanita itu lalu dibuang di pinggir jalan tol Cikampek.

Manusia ternyata bisa berubah jadi monster yang kejam, jika dalam pengaruh minuman keras. Bejat konon dibantu pacarnya dalam melakukan aksinya. Mereka sepertinya terlibat cinta segitiga. Mereka mengentengkan perzinahan. Ck, ck, ck.

Itulah mengapa Allah melarang manusia meminum minuman keras. Karena minuman keras biang keroknya kriminalitas. Dibawah pengaruh minuman keras, orang jadi setengah gila. Perbuatan asusila, dianggap perbuatan biasa. Jadi tak peduli dengan etika.

Packaging minuman keras dirancang dengan desain yang elegan. Botolnya dibikin unik. Pokoknya dibuat sedemikian rupa agar orang jadi suka melihatnya. Kemudian tertarik untuk memegangnya. Lalu? meminumnya.

Setan terus membisiki "minumlah, toh kalau sedikit boleh... dosanya nggak usah dipikirin, paling sedikit".

Mula-mula sesendok, lalu seseloki, lalu sebotol, jika uang masih ada tambah lagi sebotol. Bila tubuh belum sempoyongan, rasanya enggan untuk berhenti menenggaknya. Busyet, dasar setan! Memangnya dosa lu yang memutuskan! Dosa atau tidak, Tuhan yang punya aturan.

Set (tan), lu tu ye! sukanya mengecil-ngecilkan dosa. Mengenteng-entengkan siksa api neraka. Menyusah-nyusahkan (orang untuk menjalankan) ibadah, beramal shaleh dan sedekah.

Ternyata, kebiasan baik awalnya berat. Tetapi itu akan membawa "kenikmatan abadi" di akhirat. Dan kebiasaan buruk itu terasa ringan dilakukan. Namun akan mengakibatkan "siksa tiada akhir" di kemudian hari.

Yaa Rabb, berikan hamba kekuatan untuk melawan bisikan dari setan dan manusia bejat.

Wassalam,
SangPenging@T!

Jumat, Maret 08, 2013

Sokle

Apakah ada yang tahu apa itu "Sokle"? Salah tulis kali tuh, kalau sule tahulah. Pelawak top masa kini Pesaing berat Tukul Arwana. Tajir banget mereka. Bukan-bukan sule yang kumaksud, tapi ini "Sokle".

Ya betul! yang sudah tahu sokle. Sokle adalah lampu sorot. Yang menyorot ke langit. Adanya lampu sokle, biasanya ketika ada Pekan Raya Jakarta. Atau dikenal dengan nama Jakarta Fair. Jika di kota lain, mungkin dikenal sebagai Pasar Malam.

Sorotan lampunya jauh seakan menembus langit. Anak-anak kecil suka memperhatikannya. Dulu waktu kecil aku pun suka. Pikiranku waktu itu berkata "wow, ajaib!", ada lampu senter raksasa yang bisa terang benderang sampai ke langit.

Nah tadi pagi (Jumat, 8 Maret 2013),  ketika aku klik SMSTauhidTV(sebuah  website) live streaming televisi kepunyaannya Pesantren Daarut Tauhid, pimpinan Aa Gym. Ada acara yang menarik. Yakni tausyiah dari Syeikh Ali Jaber, seorang ulama belia dari Madinah. Orang Arab tapi fasih berbahasa Indonesia. Amat menarik mendengar tausyiahnya. Inspiratif. Imanku serasa diasah jadi semakin tajam. Apa yang dibicarakannya?

Katanya, kalau ingin Allah "berbicara" kepada kita, maka bacalah Al Qur'an. Karena Al Qur'an adalah untaian kalimat dari Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui perantaraan malaikat Jibril. Dan isinya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.

Memang betul, yang aku rasakan pun demikian. Jika kita membaca Qur'an, hendaknya kita baca pula artinya (terjemahannya). Bila kita mampu meresapi arti dan maknanya, seolah-olah Allah "bicara" langsung kepada diri kita sendiri. Cobalah, rasakan itu kawan.

Dan jika kita ingin ber-"komunikasi" dengan Allah, maka shalatlah. Melalui shalat kita "bicara" (memohon, berharap dan meminta) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas nasib dan takdir kita.

Kepada Allah kita harus gigih meminta. Kegigihannya, dicontohkan oleh Ustadz Ali, seperti anak kecil yang minta coklat kepada Ibunya. Seorang anak akan merengek-rengek. Menangis yang keras. Hanya untuk sebatang coklat yang membangkitkan seleranya.

Sepanjang itu permintaaan yang wajar, ibu mana yang tega melihat anaknya menangis menjerit hanya untuk sebatang coklat. Dan apa yang terjadi ketika ibunya mengabulkan permintaan anaknya? Anak itu gembira bukan kepalang. Wajahnya ceria kembali. Senyumannya mengembang. Duh, hati orangtua mana yang tak bahagia melihat anaknya bersuka cita.

Jika kita berdoa kepada Allah, sampai berlinang airmata. Itu bagai anak kecil yang merengek sampai bercucuran airmatanya. Teruslah berdoa, sampai doa kita terkabul. Jangan pernah bosan. Yakinlah Allah akan mengabulkan doa kita. Jangan berburuk sangka (su'udzon) kepada Allah.

Menurutnya, jika kita shalat tahajud lalu ditutup dengan shalat witir. Lalu setelah itu kita berdoa yang tulus. Di langit seakan ada lampu sokle yang memancar dari sajadah tempat kita shalat dan berdoa. Terang benderang menembus langit, hingga para malaikat menyaksikan. Wow! menakjubkan. Dan malaikat akan mencatatnya sebagai amal shaleh kita. Salah satu amal shaleh yang paling disukai Allah Swt.

Tentu cerita Ustadz Ali itu sekedar sebuah ilustrasi. Sebab kejadian alam gaib tak bisa diketahui manusia awam. Hanya orang yang tercerahkan kalbunya bisa punya inspirasi cerita semacam itu. Dan tentang alam gaib hanya Allah Yang Maha Tahu.

Yuuk shalat malam yuuk...

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Maret 06, 2013

Waiting List

Gila! benar-benar gila. Itulah komentarku dalam hati selepas mengalami antrian beli karcis kereta api ke Semarang di stasiun KA Senen, hari Selasa, 5 Maret 2013. Aku serasa dihempaskan ke tanah, tatkala mendengar info dari mbak manis penjaga pesanan karcis KA di salah satu barisan loket pemesanan tiket KA. Apa sih yang dikatakannya?

Pak, harap semua kolom diisi nomor identitas KTP-nya, kalau yang  anak-anak cukup diisi tanggal lahirnya, katanya tanpa senyum. Hah, musti diisi semua? Toh itu mereka yang tiga orang itu bukan siapa-siapa. Mereka istri dan anak-anak saya. Apa tidak cukup nomor KTP saya saja, kataku. Tetap harus diisi semua, pak, katanya lagi sedikit ketus masih tanpa senyum. Maklum mungkin sudah sejak pagi tadi dia bertugas melayani para pengantri tiket yang semakin banyak. Sehingga bibirnya sudah malas diajak untuk tersenyum. Capek bro!

Setiap calon penumpang KA yang ingin memesan tiket harus mengisi secarik kertas "Pesanan Tiket KA" yang berukuran seperempat ukuran kertas Folio. Barisan kalimatnya kulihat bagai garis abu-abu berbaris-baris. Hurufnya kecil-kecil. Huhf! Mana lupa bawa kacamata lagi. Tertatih tatih aku mengisi kolom-kolom itu. Kolom nomor KTP aku kosongkan, sebab aku tak hafal nomor KTP istri dan anakku. Dan ternyata itu harus diisi. Ah, menyebalkan! Boleh jadi ini salah satu cara untuk memberantas per-calo-an tiket KA.

Mau minta tolong dibacakan barisan kalimat itu oleh mas-mas di depan antrianku. Gengsi. Takut ngrepotin, plus takut dibilang dasar kakek-kakek! Padahal diri ini ya memang sudah tua, hehehe...

Aturan baru ini, baru kutahu. Membuatku terkaget-kaget. Dari bibirnya yang tipis bergincu merah membara keluar kalimat, pak tanggal yang bapak pesan sudah penuh. Tiket sudah terjual habis. Padahal aku akan berangkat tiga minggu lagi.

Untung rencana kepergianku sekeluarga ke Semarang bukan untuk urusan bisnis yang tak bisa ditunda. Tetapi sekedar menengok adik  yang baru punya momongan baru plus ziarah ke makam kedua orangtua. Toh bisa kapan saja. Tetapi memang sih lebih nyaman rasanya tanggal itu (kamis, 28 Maret). Karena Jumatnya libur. Sabtu dan Minggu juga.

Rupanya libur yang tiga hari itu, dimanfaatkan oleh ribuan orang untuk mudik barangkali. Sehingga KA penuh. Padahal itu kelas ekonomi. Yang bisnis apalagi. Yang eksekutif, tak tahu aku. Karena aku memang tak ingin tahu, sebab tak sesuai dengan isi kantongku. Terlalu memaksakan.

Tanpa pikir panjang segera aku mengeloyor pergi dari loket itu. Aku batalkan kepergianku ke Semarang. Ditunda, entah sampai kapan. Segera ku-sms adikku, mengabarkan pembatalan itu. Bayangan makan tahu petis dan bandeng presto (makanan khas kota Semarang) ikut sirna dari benakku.

Sambil jalan ke parkiran motor, aku membayangkan daftar tunggu (waiting list) calon haji yang sampai empat, lima tahun ke depan. Ck, ck ck luar biasa. Ternyata penduduk dunia mulai meledak. Semakin banyak. Rasanya semakin sesak hidup di dunia. Buktinya kemacetan hampir di semua sudut jalan protokol, ketika jam sibuk berangkat dan pulang kerja. Wow!

Semua harus antri. Dan harus sabar menunggu antrian. Apalagi jika ingin makan di restoran laris manis, mau tak mau kita harus bersedia dimasukkan dalam daftar antrian. Tak peduli perut sudah menjerit.

Mau buang hajat di toilet umum jika sedang banyak peminatnya pun harus antri. Harus masuk dalam waiting list, meskipun penjaga wc tak pegang catatan.

Untunglah kita untuk shalat lima waktu di masjid, tidak harus masuk waiting list. Karena apa? peminatnya sedikit? Kutak tahu pasti jawabnya. Silahkan Anda jawab sendiri-sendirilah.

Padahal ketika kita malas shalat. Malaikat sudah pasti mencatat diri kita, masuk dalam "waiting list" penduduk Neraka. Wallahu alam bissawab.

Wassalam,
SangPenging@T!