Adsense

Selasa, Mei 14, 2013

Uje

Ketika sedang asyik bekerja di depan monitor komputer. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh berita pagi dari salah satu saluran televisi. Aku terpana, setengah tidak percaya. Pembaca berita mengabarkan kabar duka seperti ini; Hari Jumat, 26 April 2013 sekitar pukul 2.00 dini hari tadi, Ustadz Jefri al Buchori meninggal dunia, akibat kecelakaan tunggal lalulintas, di jalan Gedong Hijau 7, Pondok Indah.

Spontan mulutku berucap; Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Sambil masih menyimpan rasa tak percaya, aku sigap memencet remote control untuk mencari tahu kebenaran info tersebut dari beberapa saluran televisi yang lain. Setelah itu, baru kuyakin bahwa berita kematian Uje, memang betul.

Moge, motor besar Kawasaki kesayangannya yang dikendarainya sendiri menabrak sebuah pohon di tepi jalan Gedong Hijau 7, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Uje, (demikian dia lebih suka dipanggil) mengalami kecelakaan itu dalam perjalanan pulang sehabis ngopi bareng kawan-kawannya di sebuah cafe di daerah Kemang.

Ternyata hidup di dunia ini begitu singkat. Usia hidup mau 40 tahun, 50, 60, 70 atau 80 tahun, tetap saja komentar orang-orang yang ditinggal, rasanya (orang yang kita kasihi) seperti hidup hanya beberapa hari saja di dunia ini. Masak sih? Bisakah membayangkan ketika lulus SD, bagi mereka yang sekarang sudah berusia lanjut dan belum pikun maka rasa-rasanya baru kemarin lulus SD, eh sekarang sudah pensiun.

Takdir meninggal di malam itu tak bisa ditolaknya. "Ayah" guru spiritualnya dari Jember sudah melarangnya agar Uje tidak pergi malam itu. Sebab dia melihat Uje masih lemah, setelah beberapa hari menderita sakit. Tapi Uje memaksa, harus pergi malam itu. "Uje sudah sehat ayah, doakan saja Uje selamat ya". Dia sempat berucap,"kalau sudah jatuh tempo bagaimanana Ayah?". Ternyata itu adalah kepergian Uje untuk selama-lamanya. Terjawab sudah kata "jatuh tempo" yang sering diucapkannya kepada gurunya itu. "Ayah"nya sempat bingung dan mencari tahu apa makna kata "jatuh tempo" bagi Uje.

Beberapa hari yang lalu, dalam obrolan dengan seorang teman perihal poligami yang dilakoni oleh sebagian ustadz kondang. Diantaranya tercetus tentang Uje. Agaknya dia setia pada satu pasangan. Tidak tergiur untuk nambah istri lagi. Dalam hatiku bertanya, iya ya... kemana Uje ya. Kok sudah lama tidak muncul di infotainment ya? Eh, tanpa diduga, tiba-tiba Uje muncul dengan berita duka tentang kematiannya.

Meski tulisanku tentang Ustadz Jefry ini agak terlambat munculnya alias sudah kadaluwarsa. Tak apalah! toh tulisan ini mudah-mudahan bisa jadi kenangan (minimal di blogspotku ini) dan semoga ada pelajaran yang bisa kita petik.

Pesan Uje terakhir di dunia maya yang disampaikan kepada teman-teman dan sahabatnya lewat BBM penuh makna. Dia menulis,"Pada akhirnya.. semua akan menemukan yang namanya titik jenuh.. Dan pada saat itu.. Kembali adalah yang terbaik... Kembali kepada siapa..?? Kepada "DIA" pastinya.. Bismi_Ka Allohumma ahya wa amuut.." Uje 

Dalam salah satu situs berita, merdeka.com mencatat ada 4 keistimewaan kematian Uje. Aku kutip empat keistimewaan itu, adalah sebagai berikut;
1.) Jenazah Uje di shalatkan ribuan jamaah di Masjid Istiqlal, selepas shalat Jumat. TPU Karet Tengsin, Jakarta Pusat pun dijubeli oleh para pelayat yang menghadiri pemakaman Uje.
2.) Uje meninggal di hari Jumat, konon hari Jumat adalah sebagian tanda khusnul khotimah.
3.) Mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menteri sampai rakyat biasa turut berduka.Dalam status twitternya, Presiden menilai Uje sebagai sosok yang mencerahkan. "Kita kehilangan lagi orang baik yg mencerahkan. Selamat jalan Ustadz Jefri, semoga nilai yg disebarkan bisa menginspirasi kita semua. *SBY*," tulis Presiden SBY dalam akun twitter @SBYudhoyono miliknya.
4.) Meski sudah meninggal, Uje tetap memberi manfaat. Paling tidak ini dirasakan oleh para pedagang minuman dan makanan, loper koran dan pedagang souvenir. Juga tukang parkir.

Makam Uje sampai hari ke-tujuh masih ramai dikunjungi oleh anggota masyarakat yang merasa kehilangan Uje. Peziarah tidak hanya dari Jakarta, tetapi dari luar kota bahkan ada yang dari luar negeri (diantaranya dari Malaysia dan Singapore).

Aku angkat topi dan kuacungi dua jempol kepada almarhum Uje. Usianya 40 tahun ketika dipanggil menghadap Ilahi. Perjuangannya seperti belum selesai, itu jika dilihat oleh mata manusia yang hidup di zamannya. Tetapi bagaimana menurut Allah? keputusan-Nya lah yang terbaik.


Begitu mendengar berita bahwa jenazah Uje akan dishalatkan di Masjid Istiqlal, langsung tanpa pikir panjang aku putuskan aku harus ikut men-shalatkan jenazahnya. Begitu pukul 11 siang, aku segera membereskan pekerjaan di kantor. Untungnya pekerjaan lagi tidak menumpuk. Dengan motor bebek Honda kesayanganku (maklum keuangan belum memungkinkan beli Moge kayak Uje), aku tancap gas menuju Masjid Istiqlal. Aku pilih shalat di lantai dua. Dengan maksud agar bisa jelas melihat keranda Uje dari atas. Betul saja perkiraanku, Masjid Istiqlal dipadati para jemaah shalat Jumat, hingga lantai 4.

Biasanya selepas shalat Jumat ketika ada pengumuman, mohon kepada para jamaah untuk men-shalatkan jenazah si Fulan, maka sebagian jamaah ada yang langsung ngloyor pulang. Tetapi kali ini yang kulihat pemandangannya sungguh berbeda. Selepas shalat Jumat, rasanya tak ada satu pun dari ribuan jamaah yang ngloyor pulang. Mereka tetap ditempatnya (termasuk aku) dengan sabar menunggu jenazah Uje diusung ke depan mimbar. Mereka ingin bersama-sama ikut men-shalatkan jenazah Uje. Subhanallah...

Uje yang dulu "liar" (menurut istilahnya ketika hidup di masa "Jahiliyah"), kemudian tobat untuk menemukan jalan lurus, jalan yang diridhoi Allah, lewat umroh, dan usahanya yang gigih dan doa Ibunda. Uje yang dulu selalu bikin jengkel Umi (ibunda), kini jadi kebanggaan Umi, istrinya Pipik dan keluarganya, walau dia sudah tiada. Dia benar-benar "ToTal" alias tobat total (Taubatan Nasuha), bukan "ToMat!" alias tobat kumat. Habis tobat kumat lagi.

Uje dikenal sebagai ustadz gaul. Sepanjang hidupnya, aku pernah melihat langsung dua kali dia berceramah. Satu di pameran buku Ikapi, di Istora Senayan. Yang kedua di salah satu masjid di daerah Pondok Aren. Suaranya ketika bershalawat dan mengaji melengking tinggi. Merdu. Ketika berbicara agak serak-serak basah. Pembicaraannya enak didengar, mudah diikuti. "Oke, choi?"

Walau Uje sudah tiada, ceramahnya yang menggugah dan bermanfaat masih bisa kita nikmati lewat YouTube. Dikala kita (para penggemarnya) kangen dengan tausyiah-nya, segera saja klik YouTube ketik "Uje". Selamat menikmati dakwah-dakwahnya, sahabat.

Wassalam,
SangPenging@T!

Airmata istri tercinta dan jenazah Uje diantar ke peristirahatan terakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar