Ada suatu keheranan yang terlintas di benak pikiranku waktu SMA dulu. Setiap kali aku melihat bapak-bapak tua yang masih tekun bekerja dalam satu bidang saja. Misalnya tukang roti, tukang kayu, dan tukang-tukang lainnya.
Kata "tukang" di sini mengandung arti sebagai profesi. Ada tukang masak, bahasa kerennya Chef. Tukang foto, disebut Photographer. Tukang ngintip? wah itu bukan profesi, tapi merujuk kepada "perilaku" tidak terpuji. Biasanya dilakukan oleh anak laki-laki atau pria jantan yang suka iseng.
Mengapa aku jadi heran? Ya heran saja aku melihat mereka masih tekun bekerja, padahal usia sudah senja, bahkan tua. Dan dulu, yang selalu mengusik rasa penasaranku, apakah mereka tidak bosan dengan pekerjaannya itu?
Kini ketika usiaku mulai beranjak setengah abad lebih, baru kutahu jawabnya. Mengapa mereka masih saja jadi tukang jam, misalnya? Yaitu, karena mereka (tukang-tukang) itu cinta mati dengan pekerjaannya. Mereka sudah mahir dengan pekerjaannya, merasa sudah ahli dibidang yang ditekuninya sejak lama. Mau beralih profesi, sudah merasa ke-tua-an.
Beberapa tahun lalu, di lingkungan rumahku, ada seorang bapak tua "tukang roti" yang rajin menawarkan rotinya kepadaku. Ketika aku sedang membaca koran atau buku di teras, dia kerap berteriak "Rooot ti! roti, pak?".
Kalau lagi ingin roti tawar, kupanggil dia. Setelah berhenti, kerap dia bilang sambil mengacungkan jarinya "Dua?".
"Satu saja cukup, pak," jawabku.
Dia tak merasa lelah mengayuh gerobak rotinya berjalan puluhan kilometer. Kini sapaan ramah itu sudah tak bisa kudengar lagi. Dia sudah meninggal. Dia setia dengan profesinya sebagai tukang roti sampai akhir hayatnya.
Sekarang mengenai profesi diriku yang sebagai "tukang desain grafis, desain iklan, liflet, poster, x-baner dan kartu nama". Profesi ini sudah kutekuni sejak lepas kuliah. Tahun 1989.
Pernah kudengar di telingaku. Seorang anak muda menohokku dengan pertanyaan, "Pak, nggak ingin istirahat di rumah saja pak? Nggak capek nge-disain pak?
Aku gelagapan menjawabnya. "Oh tentu tidak!". Dalam hatiku berteriak, enak aja istirahat. Ini menyangkut urusan dapur biar tetap ngebul dan kebutuhan hidup tak terganggu.
Rupanya itulah alasan dasar mengapa orang tetap kerja walau usia sudah senja. Dan memang hakikinya orang hidup harus ada yang dilakukan. Diam berarti mati. Bergeraklah yang membuat manusia punya arti dalam kehidupan ini.
Untuk mengusir rasa bosan dengan profesiku itu, aku kini tengah mencoba profesi sebagai penulis dan penceramah. Kelasnya masih kultum, hehehe...
Pertanyaan anak muda tadi, mengingatkanku kepada pertanyaanku dulu yang pernah kuajukan kepada almarhum bapakku.
"Pak, bapak nggak bosan jadi pejabat terus?"
Dijawabnya enteng saja, "Bosan? ya tidaklah, lha wong enak kok jadi pejabat, fasilitas dapat, gaji gede, bisa keluar negeri gratis, bisa makan-makan bareng Menteri, dan Presiden. Setiap ada acara penting kenegaraan diundang. Ke Istana Negara, ke Gedung DPR/MPR, ke rumah menteri. Tanda tangan pejabat ada nilainya. Misalnya menandatangani ijazah sarjana."
"Oh, gitu toh pak," kataku.
"Dan jadi pejabat itu nggak gampang. Semakin tinggi posisi, semakin kencang "angin" menerpa." ujarnya lagi.
Yang pasti "bekerja adalah bagian dari ibadah". Hasil kerja sebagai ekspresi diri. Kerja dapat duit. Duit bisa digunakan untuk beramal shaleh. Mungkinkah kita beramal shaleh tanpa duit?
Dan aku menulis ini pun bagian dari kerja bukan? Semoga bermanfaat tulisan-tulisan yang aku tampilkan di blogspot-ku ini, kawan.
Wassalam,
SangPenging@T!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar