Adsense

Senin, Januari 14, 2013

Tas Cangklong

Apa itu tas cangklong? Tas kecil berukuran sebesar buku tulis. Mereknya beraneka macam. Harganya mulai dari limapuluh ribuan sampai sejuta lebih, tergantung merek dan kualitas kulitnya. Sering dibawa oleh orang-orang yang suka dengan tas itu. Yang nggak suka? ya jelas mana mau membawanya.

Isi tas itu macam-macam. Biasanya mulai dari surat-surat penting, uang dan handphone. Bahkan dompet pun dimasukkan. Demi kepraktisan, dan supaya barang-barang penting itu tidak tercecer. Entah sejak kapan bapakku mulai senang dengan tas cangklong itu. Yang pasti sejak kedudukannya nyaman dan uangnya banyak.

Ciri khas beliau tas itu selalu dibawa ketika pergi keluar kota atau keluar negeri. Tak pernah lupa. Postur tubuhnya gemuk, tas cangklong itu aku lihat juga tebal. Kulihat sebagai pasangan yang pas.

Aku selalu mengamati tas itu ketika duduk di sebuah restoran untuk rehat sejenak dalam perjalanan antara Jakarta, Pekalongan, Semarang dan Magelang. Ya empat kota itulah dulu seringkali bapak, ibu, aku dan adik-adikku kunjungi, sewaktu ibu dan bapakku masih sehat dan punya jabatan.

Di Pekalongan tempat eyang kakung dan eyang putri dari bapak bertempat tinggal. Di Semarang, tempat orangtuaku tinggal. Dan di Magelang tempat eyang putri dari ibuku bermukim.

Ketika masuk restoran, bapakku selalu menempatkan tas itu di atas meja. Ya, tas itu selalu kuamati sambil menunggu hidangan disiapkan oleh pelayan restoran. Kadang sering kuiseng ingin menengok apa isinya. Tapi selalu gagal. Kalau sekedar melihat kulitnya dan desain tas cangklong itu, bapak membiarkannya. Namun begitu aku diam-diam iseng ingin membuka resleting tas itu, langsung tas itu disambarnya. Sambil berkata, "Hush, dilarang melihat isinya!". Mungkin beliau takut aku mengambil duitnya, kali. Hehehe....

Ciri khas bapak, tidak mau masuk toilet restoran sebelum usai makan. Kenapa? Dia bilang toilet umum restoran biasanya, bau pesing dan jorok. Ini bisa membuat selera makan berkurang, katanya. Oo, begitu toh.

Lalu sebelum menyantap hidangan, cincin yang dijari manis kanannya, dipindahkan dulu ke jari telunjuk kirinya. Sebab takut kotor, karena bapak lebih suka makan dengan tangan ketimbang memakai sendok. Bapak selalu makan dengan lahap. Hobinya mampir di restoran padang, atau restoran sunda yang ada di jalur pantura.

Kalau sudah melihat bapak melahap makanan, ibu selalu mengingatkan untuk menjaga kolesterol pak. Tetapi selalu tidak berhasil. Dan ibu pun akhirnya, diam saja.

Setelah selesai makan, barulah bapak melirik tas canklongnya dan mengambil uang dari tas itu. Ibu kulihat jarang sekali, mengeluarkan uang untuk membayar setiap kali habis makan di restoran. Ibu baru mengeluarkan uang untuk membeli makanan cemilan buat oleh-oleh. Bapakku hebat, selalu mentraktir. Semasa hidupnya, bisa kuhitung dengan jari berapa kali aku mentraktirnya makan.

Sebelum meninggalkan restoran, jika waktu shalat sudah masuk maka bapak mengajak kami untuk shalat berjamaah di musholla.

Tas cangklong itu menginspirasiku untuk menirunya. Ah, sayang sampai tulisan ini kubuat aku belum bisa seperti bapak. Masuk restoran sambil membawa tas cangklong. Sebabnya? aku jarang keluar kota, jarang jajan di restoran. Anakku bertanya, "kapan pak, bapak bisa seperti Eyang Kakung?"

Tercekat kerongkonganku ketika ingin menjawab pertanyaan anakku itu. Iya, ya kapan-kapan deh, kataku.

Kapan pak? mereka serentak bertanya lagi.

"Nanti, kalau bapak sudah sehebat Eyang Kakung"

Wassalam,
SangPenging@T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar