Wajah Roy Suryo sumringah, tatkala jumpa pers di istana negara. Kemarin Jumat, 11 Januari 2013, dia ditetapkan menjadi Menpora oleh Presiden SBY menggantikan Andi Mallarangeng yang mengundurkan diri tepat sebulan yang lalu (Jumat, 12 Desember 2012). Dia menjadi satu-satunya menteri sejak orde baru yang secara tegas menyampaikan pengunduran dirinya, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Hambalang.
Pertanyaan siapa yang bakal menggantikan posisi Andi terjawab sudah. Ada yang puas dan lega. Serta ada pula yang sakit hati (terutama yang sudah ge-er bakal ditunjuk jadi menteri pemuda dan olah raga, tetapi faktanya tidak terpilih). Dan tidak sedikit yang mencibir (tidak yakin), Roy Surya bakal mampu membenahi dunia keolahragaan. Tetapi semua itu ditepisnya, dia merasa yakin mampu asal mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk rekan-rekan pers. Semoga pak!
Setiap ada pelantikan pejabat negara, selalu terngiang ucapan almarhum bapakku. Dulu, beliau pernah berujar begini, ketika melihat presiden Suharto melantik para menteri dalam kabinetnya, "Itu yang senang paling istri dan anak-anaknya". Memangnya kenapa pak? tanyaku penasaran. "Iya kan, mereka bisa menikmati segala fasilitas sebagai anak dan istri menteri. Sementara itu bapaknya sibuk dengan urusan pekerjaan yang menyita pikiran dan menguras tenaga. Memangnya gampang apa jadi menteri? katanya.
Tiba-tiba pikiranku ini mengajakku untuk sejenak kilas-balik (flashback) menapaki jejak karir bapakku. Karirnya dimulai dari bawah, sejak tahun 1961. Diawali sebagai dosen IAIN (sekarang namanya UIN) di Ciputat, selepas dia lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kemudian dia terus dan terus berkibar dalam karirnya sebagai pegawai negeri sipil. Jabatan yang pernah diemban oleh bapakku (H.Ahmad Ludjito) diantaranya, sebagai; Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak, Kepala Kanwil Dep. Agama di Pontianak, Rektor IAIN Walisongo di Semarang, dan tertinggi adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama (setingkat dirjen) di Dep. Agama RI (sekarang namanya Kementerian Agama). Pernah menjadi dosen tamu di Mahidol University, Bangkok dan Universitas Leiden di Belanda. Sudah banyak kota di Indonesia dijelajahinya. Dan sudah menapakkan kakinya di beberapa negara..
Oh ya hampir lupa. Bapakku pernah mengalami masa pahit, menjadi tahanan politik di era orde lama. Waktu itu Presiden Soekarno merasa jengah dan muak dengan demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa anggota HMI cabang IAIN Ciputat pada bulan Oktober tahun 1963. Demonstrasi menuntut Dep. Agama agar tidak "terlalu" NU, tetapi hendaknya menampung pula dari kalangan Muhammadiyah. Rupanya demonstrasi waktu itu jika terus berlangsung dapat merongrong kewibawaan pemerintah.Maka ditangkapilah para mahasiswa yang terlibat demonstrasi. Termasuk pula para dosennya yang diduga membela. Akibatnya bapakku, sebagai dosen yang dianggap Muhammadiyah termasuk yang diciduk oleh aparat dan dijebloskan ke penjara. Bersama dia, ada beberapa dosen yang ikut ditahan.
Mengenai masa-masa pahit dalam hidupnya, aku sangat sulit mengorek cerita dari sumber aslinya (bapakku). Dia pokoknya bilang, pada saat itu yang ada dalam pikiran bapak adalah umur bapak akan segera berakhir. Dan nggak bakal ketemu kalian (anak-anak). Siksaan dalam penjara sungguh pedih. Tak tertahankan. Sakit sekali.
Lho-lho kok jadi ngomongin karir bapakku? Yeah, ini sekedar menghargai karirnya, sekaligus memperkenalkan siapa bapakku. Mengapa?
Sebab saya selalu teringat kata-kata yang disampaikan kepadaku dengan lirih. Dilontarkan dengan maksud untuk membakar semangatku (semacam tantangan) dalam berkarir. Namun sayang aku tidak tersulut ketika itu. Tidak menanggapinya serius.
Dan kupikir-pikir ternyata itu "kalimat pertanyaan yang serius". Dan sayangnya, aku baru merasa bangkit semangatku kini, ketika mengingatnya kembali. Ditengah-tengah menapaki jejak karir baru sebagai "Sang Pengingat!". Ah, semoga belum terlambat.
Apa tantangannya, yang pernah disampaikannya kepadaku dulu? Hanya sebaris kalimat yang sederhana saja, yakni; "Kamu bisa nggak seperti bapak?".
"Ternyata sulit menaklukkan tantangan bapak!" bisikku lirih ditelinganya, nyaris tak terdengar bahkan oleh kupingku sendiri. Kalimat itu kusampaikan ketika bapak sudah terbaring lemah menjelang ajalnya. Kulihat ada airmata yang menetes mengalir dari matanya yang terpejam.
Wassalam,
SangPenging@T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar