Kalimat "...yang di atas" kerap kita dengar diucapkan orang. Biasanya artis yang mengucapkannya ketika sedang diwawancara dalam tayangan infotainment. Terus terang aku risih mendengarnya. Memang sih sudah jelas apa yang dimaksudkan dengan "'Yang' di atas" itu ("Y" dengan huruf besar). Maksud dari kalimat itu adalah Tuhan. Dan Tuhan yang mana, itu tergantung agama si artis itu.
Apa susahnya sih ngomong, "tergantung atas ridho Allah", atau "jika Allah mengijinkan" atau "terserah Allah". Pokoknya kata "yang di atas" itu sebaiknya di-delete dari pikiran kita. Sebab itu tidak sopan. Tidak beretika. Ah, siapa bilang? Aku yang bilang gitu loh. Kok segitunya sewot sih? yaa iyalah.
Asal tahu saja, "yang diatas" itu banyak maknanya. Bisa cecak, burung, kucing (yang kebetulan lagi nangkring di atas pohon) dan banyak lainnya. Jadi belum tentu itu Tuhan. Tapi yang mereka maksudkan kan Tuhan. Masak harus diperjelas sih. Ya pokoknya bagiku kurang sedap saja didengar dikupingku. Kurang mantap. Kurang pas. (maaf) Kurang ajar!
Ada suatu kisah yang pernah kudengar di radio. Ada sepasang kekasih sedang memadu cinta di bawah pohon mangga yang rindang. Mereka bercanda, bercengkrama. Asyik berdua, tak peduli dengan lainnya. Pokoknya dunia bagai milik mereka berdua saja, yang lain "ngontrak".
Sampailah si cewek ingin memastikan kadar cinta si cowok. Si cewek bertanya, apa buktinya cintanya? Lalu sang cowok berujar begini, "Kasihku, demi yang di atas, aku cinta mati kau..."
Tiba-tiba "gedubrak!" ada suara benda jatuh dari langit, eh dari salah satu batang pohon itu, yang berada tepat di atas mereka berdua.
Rupanya ada si Ujang, seorang bocah yang sedang memetik mangga sepulang sekolah. Namun dia tak berani turun, gara-gara ada sepasang kekasih yang sedang kasmaran tiba-tiba datang dan duduk di bawah pohon mangga itu. Akibatnya dia bukannya memetik mangga malah asyik melihat orang berpacaran.
Setelah menjatuhkan diri di tanah si Ujang pun protes, "Mas, saya jangan dibawa-bawa dong, sebagai saksi cinta mas dengan mbak!"
"Lho memangnya kenapa?" kata si cowok bertanya sambil meredakan rasa kagetnya.
"Lha itu tadi, ngomongnya demi yang di atas, kan saya 'yang di atas' tadi" katanya.
"Maksudku, 'Demi Allah' "si cowok itu menjelaskan.
"Oh gitu toh, kalau gitu jangan "demi yang di atas" dong!" kata si Ujang sewot.
Nah! Boleh jadi semua cecak, burung, kelelawar pun ingin melayangkan protes ketika mereka mendengar kata "yang di atas" selalu diucapkan sebagai kata gantinya Tuhan. Dan betapa tidak pantasnya mereka sebagai makhluk ciptaan-Nya seolah-olah disamakan kedudukannya dengan Sang Khalik, Allah Swt. Pamali atuh!
Ah, ada-ada saja ini tulisan. Boleh jadi pendapatku salah. Tapi apa salahnya berpendapat. Siapa tahu ada yang suka? So? take it easy bro!
Wassalam,
SangPenging@T!
Adsense
Kamis, Januari 31, 2013
Selasa, Januari 29, 2013
Banjir... banjirrr!
Hujan terus turun di hari Kamis dinihari. Udara sejuk menyelimuti tidur malamku. Rasanya nikmat bagai tidur di kamar ber-AC. Maklum sampai detik ini kamarku belum ada AC-nya. Alasannya? Macam-macam. Mulai dari ngirit listrik sampai belum ada anggaran untuk beli AC yang harganya jutaan. Sok kere! Sok ngirit! itulah mungkin cibiran yang terdengar. Tapi yang jelas yang kukuatirkan adalah takut dibilang sok kaya.
Kulirik kalender terbaca hari itu, Kamis tanggal 17 Januari, tahun 2013. Umumnya orang bilang angka 13, angka sial. Ah, masak sih ada angka sial? batinku membatin.
Hujan mereda menjelang subuh. Seingatku aku tidak ke masjid. Jalanan di depan masjid terendam air di atas mata kaki. Dan hujan semalaman, bisa jadi menaikkan air sampai sedengkul. Sehingga kuputuskan shalat subuh di rumah saja. Berjamaah dengan istri.
Selepas subuh, hujan turun lagi. Kudengar ada pengumuman dari corong masjid. Bunyinya, "Assalamu'alaikum Wr. Wb, diumumkan kepada seluruh warga RT 004 RW 03, Komplek Dep. Agama.. Air kali (sungai kecil) di seberang jalan (sebelah utara) Daan Mogot sudah meluap. Sudah menyeberangi jalan Daan Mogot. Waspadalah!". Itu artinya air siap menerjang kediamanku yang ada di sebelah utara Daan Mogot. Meluap? wah, gawat itu pertanda "siaga 3" nih.
Kupikir itu tadi pengumuman duka cita, yang biasa diumumkan dari Toa masjid. Betul juga, tak berapa lama setelah pengumuman itu kulihat air sudah masuk di ruang makan (yang baru diurug 30cm), Aku tetap asyik mengetik tulisan di blogspotku. Sejenak kualihkan pandangan ke pintu kamar tidur. Hah? air sudah menyapa lantai kamar tidur yang sudah kunaikkan 50cm. Segera kuberi aba-aba seisi rumah."Ayo, bu naikkan springbed, ayo! anak-anak naikkan barang-barang ke atas lemari! banjir... banjirrr!!"
Tiba-tiba listrik mati. Ah, membuat semakin sulit menaruh buku-buku di rak yang lebih atas. Takut buku-buku yang kuangkat kecemplung masuk ke dalam air. Akhirnya buku-buku kutaruh sembarangan yang penting aman, bebas dari terkaman banjir.
Sebagian buku-buku kunaikkan ke rak nomor dua, sebab itu sudah di atas bekas banjir lima tahun lalu. Rupanya perkiraanku meleset jauh. Air terus naik nyaris menyentuh rak pertama. Masya Allah. Buku-buku favoritku terendam tanpa ampun.
Kulkas, TV, kompor gas, mesin cuci, mesin pompa air, meja belajar dilibas banjir. Kemeja, celana. gaun dan kaos yang siap disetrika juga tak luput dari banjir. Dahsyat nian banjir di tahun sial(?) ini.
Kami mengungsi mencari tempat yang lebih tinggi ketika air sudah mendekati dengkul dewasa di dalam kamarku. Tujuannya ke gedung madrasah (SDIT Darul Muttaqin). Ternyata air disana sudah semata kaki. Sambil duduk diatas meja sekolah yang dirapatkan aku melihat air lambat laun naik terus. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Akhirnya kami bermalam di salah satu ruang kelas SDIT.
Rasa khawatirku semakin tinggi, karena hujan dimalam hari semakin deras seperti ditumpahkan dari langit. Tiada henti. Listrik mati pula. Gelap, hanya diterangi sebatang lilin. Suasana seperti di penjara. Aku, istri dan anak-anak serta pembantu adikku bersama-sama tidur di ruang kelas itu. Menjelang subuh lilin mati kehabisan api. Sambil meraba-raba tepian meja kusentuhkan jariku ke bawah. Masya Allah, ternyata air hampir menyentuh meja.
Sehabis subuh kami pindah tempat pengungsian. Kami berangkat ke gedung TK Al Muttaqin. Ke lantai dua. Di sana sudah ada keluarga mbak Eli, dan keluarga pak Gito, penjaga gedung TK.
Air perlahan mulai surut di hari Seninnya (21 Januari). Akhirnya kami meninggalkan lokasi pengungsian hari Jumat, 25 Januari 2013 sore. Jadwal kegiatan antara hari senin sampai jumat itu, dari pagi hingga sore adalah membersihkan rumah dari sampah bekas banjir. Lalu di malam harinya tidur kembali di TK. Karena rumah belum bisa digunakan untuk tidur. Masih bau bekas banjir. Aroma amis ikan bercampur bau sampah.
Kuambil meteran, kuukur bekas banjir di dalam kamar yang sudah kutinggikan 50cm. Ternyata air masuk ke dalam kamar setinggi 70cm. Diteras yang belum ditinggikan air mencapai ketinggian 120cm. Luar biasa banjir tahun 2013 ini.
Apa ada hikmah dibalik musibah banjir ini? Oh, tentu banyak. Artinya aku harus cepat melahap buku-buku yang kubeli. Jangan hanya jadi pajangan doang. Beli barang-barang plastik dan jati. Jangan beli furniture model yang knock-down. Furniture semacam itu bila terendam banjir, bakal hancur.
Sudah itu banjir mengingatkanku kepada banjir bandang di zaman Nabi Nuh. Ternyata manusia tak berdaya di hadapan air bah! Aku jadi ingat kiamat.
Setiap habis banjir yang terpikir, meninggikan rumah, membuat loteng atau menjual rumah dan pindah ke daerah bebas banjir. Selalu itu dan itu saja. Aku ngotot tidak mau menjual rumah.Sebaliknya istri ingin pindah rumah. Anak-anak? terserah orangtua. Teman istri kasih usulan bikin loteng sekaligus kontrakan. Ide cerdas! Duitnya? ya pinjamlah ke bank yang baik hati. Adakah bank yang baik hati?
Ah, sudahlah tenangkan diri dulu jangan grusa-grusu ambil tindakan. Pikirkan dalam-dalam. Untuk sementara, nikmati banjir sambil minum kopi dan makan indomie. Hmmm, lezaaat!
Wassalam,
SangPenging@T!
Kulirik kalender terbaca hari itu, Kamis tanggal 17 Januari, tahun 2013. Umumnya orang bilang angka 13, angka sial. Ah, masak sih ada angka sial? batinku membatin.
Hujan mereda menjelang subuh. Seingatku aku tidak ke masjid. Jalanan di depan masjid terendam air di atas mata kaki. Dan hujan semalaman, bisa jadi menaikkan air sampai sedengkul. Sehingga kuputuskan shalat subuh di rumah saja. Berjamaah dengan istri.
Selepas subuh, hujan turun lagi. Kudengar ada pengumuman dari corong masjid. Bunyinya, "Assalamu'alaikum Wr. Wb, diumumkan kepada seluruh warga RT 004 RW 03, Komplek Dep. Agama.. Air kali (sungai kecil) di seberang jalan (sebelah utara) Daan Mogot sudah meluap. Sudah menyeberangi jalan Daan Mogot. Waspadalah!". Itu artinya air siap menerjang kediamanku yang ada di sebelah utara Daan Mogot. Meluap? wah, gawat itu pertanda "siaga 3" nih.
Kupikir itu tadi pengumuman duka cita, yang biasa diumumkan dari Toa masjid. Betul juga, tak berapa lama setelah pengumuman itu kulihat air sudah masuk di ruang makan (yang baru diurug 30cm), Aku tetap asyik mengetik tulisan di blogspotku. Sejenak kualihkan pandangan ke pintu kamar tidur. Hah? air sudah menyapa lantai kamar tidur yang sudah kunaikkan 50cm. Segera kuberi aba-aba seisi rumah."Ayo, bu naikkan springbed, ayo! anak-anak naikkan barang-barang ke atas lemari! banjir... banjirrr!!"
Tiba-tiba listrik mati. Ah, membuat semakin sulit menaruh buku-buku di rak yang lebih atas. Takut buku-buku yang kuangkat kecemplung masuk ke dalam air. Akhirnya buku-buku kutaruh sembarangan yang penting aman, bebas dari terkaman banjir.
Sebagian buku-buku kunaikkan ke rak nomor dua, sebab itu sudah di atas bekas banjir lima tahun lalu. Rupanya perkiraanku meleset jauh. Air terus naik nyaris menyentuh rak pertama. Masya Allah. Buku-buku favoritku terendam tanpa ampun.
Kulkas, TV, kompor gas, mesin cuci, mesin pompa air, meja belajar dilibas banjir. Kemeja, celana. gaun dan kaos yang siap disetrika juga tak luput dari banjir. Dahsyat nian banjir di tahun sial(?) ini.
Kami mengungsi mencari tempat yang lebih tinggi ketika air sudah mendekati dengkul dewasa di dalam kamarku. Tujuannya ke gedung madrasah (SDIT Darul Muttaqin). Ternyata air disana sudah semata kaki. Sambil duduk diatas meja sekolah yang dirapatkan aku melihat air lambat laun naik terus. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Akhirnya kami bermalam di salah satu ruang kelas SDIT.
Rasa khawatirku semakin tinggi, karena hujan dimalam hari semakin deras seperti ditumpahkan dari langit. Tiada henti. Listrik mati pula. Gelap, hanya diterangi sebatang lilin. Suasana seperti di penjara. Aku, istri dan anak-anak serta pembantu adikku bersama-sama tidur di ruang kelas itu. Menjelang subuh lilin mati kehabisan api. Sambil meraba-raba tepian meja kusentuhkan jariku ke bawah. Masya Allah, ternyata air hampir menyentuh meja.
Sehabis subuh kami pindah tempat pengungsian. Kami berangkat ke gedung TK Al Muttaqin. Ke lantai dua. Di sana sudah ada keluarga mbak Eli, dan keluarga pak Gito, penjaga gedung TK.
Air perlahan mulai surut di hari Seninnya (21 Januari). Akhirnya kami meninggalkan lokasi pengungsian hari Jumat, 25 Januari 2013 sore. Jadwal kegiatan antara hari senin sampai jumat itu, dari pagi hingga sore adalah membersihkan rumah dari sampah bekas banjir. Lalu di malam harinya tidur kembali di TK. Karena rumah belum bisa digunakan untuk tidur. Masih bau bekas banjir. Aroma amis ikan bercampur bau sampah.
Kuambil meteran, kuukur bekas banjir di dalam kamar yang sudah kutinggikan 50cm. Ternyata air masuk ke dalam kamar setinggi 70cm. Diteras yang belum ditinggikan air mencapai ketinggian 120cm. Luar biasa banjir tahun 2013 ini.
Apa ada hikmah dibalik musibah banjir ini? Oh, tentu banyak. Artinya aku harus cepat melahap buku-buku yang kubeli. Jangan hanya jadi pajangan doang. Beli barang-barang plastik dan jati. Jangan beli furniture model yang knock-down. Furniture semacam itu bila terendam banjir, bakal hancur.
Sudah itu banjir mengingatkanku kepada banjir bandang di zaman Nabi Nuh. Ternyata manusia tak berdaya di hadapan air bah! Aku jadi ingat kiamat.
Setiap habis banjir yang terpikir, meninggikan rumah, membuat loteng atau menjual rumah dan pindah ke daerah bebas banjir. Selalu itu dan itu saja. Aku ngotot tidak mau menjual rumah.Sebaliknya istri ingin pindah rumah. Anak-anak? terserah orangtua. Teman istri kasih usulan bikin loteng sekaligus kontrakan. Ide cerdas! Duitnya? ya pinjamlah ke bank yang baik hati. Adakah bank yang baik hati?
Ah, sudahlah tenangkan diri dulu jangan grusa-grusu ambil tindakan. Pikirkan dalam-dalam. Untuk sementara, nikmati banjir sambil minum kopi dan makan indomie. Hmmm, lezaaat!
Wassalam,
SangPenging@T!
Rabu, Januari 23, 2013
Penghinaan!
"Menghina" adalah aktivitas yang biasa dilontarkan oleh mulut orang-orang yang tidak suka melihat kesuksesan orang lain. Sedangkan "dihina" adalah akibat yang biasanya diterima oleh orang yang umumnya sedang berusaha meniti kesuksesan (bisnis/ karir). Atau sedang berusaha mengukir sejarah hidupnya.
Dihina umumnya juga biasa diterima oleh pembuat keputusan (pimpinan). Mulai dari keputusan presiden, menteri, gubernur, lurah, camat, pak RW sampai keputusan pak RT. Sepanjang "keputusan" itu tidak populer, pasti dihina!
Soal "hina-menghina" ini sejak zaman Nabi sudah ada. Coba bisakah Anda sebutkan siapakah nabi yang tak pernah dihina? Nabi Muhammad, rasanya Nabi yang kerap dihina. Penghinaan yang paling menyakitkannya adalah saat Kanjeng Nabi dihina sebagai "orang gila"! Masya Allah.
Anda pernah dihina? Nggak pernah? Berarti Anda lebih hebat dari Nabi! Hebat benar Anda. Tapi rasanya kok mustahil Anda tidak pernah dihina. Betul?
Mari kita ngomongin soal "menghina". Apakah Anda pernah menghina? Nggak pernah? Ah, masak sih? Menghina itu mudah diucapkan oleh orang-orang yang kalah, lemah iman dan memang hobinya suka menghina. Menghina itu gampang dilakukan. Hati-hati menghina bisa memancing kemarahan. Berbahaya! Karenanya harus dihindari sekuat yang kita bisa.
Penghinaan kadang memang sulit dihindari. Dan perlu kita sadari bahwa "penghinaan" itu bisa dan biasa mewarnai dalam kehidupan manusia. Terutama dirasakan oleh mereka yang sedang berusaha keras mengukir nama. Jadikan "penghinaan" seperti palu godam yang sedang menempa sebatang baja agar bisa menjadi keris sakti mandraguna!
Nggak usah jauh-jauh. Contoh jelasnya aku sajalah. Sudah beberapa tahun ini aku sedang berusaha keras mengukir nama sebagai "Sang Penging@T"! Ternyata betul, membangun nama itu nggak gampang. Apalagi nama baik. Uih! Ujiannya berat. Hinaannya? jelas ada. So? Jalani sajalah. Selama itu baik, dan bisa bermanfaat buat orang banyak. Lanjutkan! Begitu kalimat yang kudengar dari sebagian kawan yang tidak ingin melihat aku gagal. Terima kasih atas dukunganmu, kawan!
Wassalam,
SangPenging@T!
Dihina umumnya juga biasa diterima oleh pembuat keputusan (pimpinan). Mulai dari keputusan presiden, menteri, gubernur, lurah, camat, pak RW sampai keputusan pak RT. Sepanjang "keputusan" itu tidak populer, pasti dihina!
Soal "hina-menghina" ini sejak zaman Nabi sudah ada. Coba bisakah Anda sebutkan siapakah nabi yang tak pernah dihina? Nabi Muhammad, rasanya Nabi yang kerap dihina. Penghinaan yang paling menyakitkannya adalah saat Kanjeng Nabi dihina sebagai "orang gila"! Masya Allah.
Anda pernah dihina? Nggak pernah? Berarti Anda lebih hebat dari Nabi! Hebat benar Anda. Tapi rasanya kok mustahil Anda tidak pernah dihina. Betul?
Mari kita ngomongin soal "menghina". Apakah Anda pernah menghina? Nggak pernah? Ah, masak sih? Menghina itu mudah diucapkan oleh orang-orang yang kalah, lemah iman dan memang hobinya suka menghina. Menghina itu gampang dilakukan. Hati-hati menghina bisa memancing kemarahan. Berbahaya! Karenanya harus dihindari sekuat yang kita bisa.
Penghinaan kadang memang sulit dihindari. Dan perlu kita sadari bahwa "penghinaan" itu bisa dan biasa mewarnai dalam kehidupan manusia. Terutama dirasakan oleh mereka yang sedang berusaha keras mengukir nama. Jadikan "penghinaan" seperti palu godam yang sedang menempa sebatang baja agar bisa menjadi keris sakti mandraguna!
Nggak usah jauh-jauh. Contoh jelasnya aku sajalah. Sudah beberapa tahun ini aku sedang berusaha keras mengukir nama sebagai "Sang Penging@T"! Ternyata betul, membangun nama itu nggak gampang. Apalagi nama baik. Uih! Ujiannya berat. Hinaannya? jelas ada. So? Jalani sajalah. Selama itu baik, dan bisa bermanfaat buat orang banyak. Lanjutkan! Begitu kalimat yang kudengar dari sebagian kawan yang tidak ingin melihat aku gagal. Terima kasih atas dukunganmu, kawan!
Wassalam,
SangPenging@T!
Rabu, Januari 16, 2013
Angka-angka
Kadangkala angka-angka mampu berbicara, meskipun tanpa perlu ditambahi kata-kata. Angka 0 (nol) menunjukkan kosong tanpa prestasi. Nihil. Jika Anda dinyatakan sebagai juara Nomor Satu, itu menunjukkan Anda hebat!
Sebaris kalimat berisi untaian kata-kata. Dan sebelum menulis kalimat, kata-kata bisa dipilih oleh penulis. Tentulah akan dipilih kata-kata yang sanggup mewakili isi hati penulisnya. Demikian pula angka-angka pun bisa dimanipulasi sesuai keinginan hati pemilik angka (yang diberi wewenang) mengelola angka, asal masih masuk akal. Demi menyelaraskan antara pemasukan dan pengeluaran. Entah itu angka anggaran, angka penghasilan usaha atau angka apapun.
Tapi di zaman KPK punya taji, permainan angka selihai apapun bisa terlacak Buktinya tak sedikit mantan pejabat yang sudah masuk bui, dan yang mengantri untuk diselidiki tak juga berkurang. Mereka bermain angka rupiah. Mulai dari angka jutaan hingga milyaran rupiah. T e r l a l u...! (kata bang Haji Rhoma Irama).
Nama adalah bagian dari jati diri. Jati diri tanpa angka-angka, apalah artinya? Identitas diri membutuhkan angka-angka. Apalah artinya sebuah nama, Bejo (misalnya), jika tanpa angka-angka. Sederet angka-angka melekat pada diri yang bernama Bejo. Mulai dari angka-angka yang tertera pada akte kelahiran sampai nanti angka tanggal kematiannya yang tertulis di batu nisannya.
Berderet angka NIP (Nomor Induk Pegawai) pasti dia punya, jika Bejo jadi pegawai negeri atau Nomor Karyawan, jika jadi pekerja swasta. Angka-angka nomor anggota bermacam-macam organisasi yang dia masuki, tentulah dia punya. Dan paling tidak kalau dia terdaftar sebagai penduduk resmi suatu wilayah, dia punya angka nomor KTP.
Tanpa angka, apalagi tanpa KTP, seorang Bejo hanyalah manusia tanpa identitas yang tidak jelas. Rancu. Membingungkan. Seandainya dia terdampar di ibukota, kemudian dia tewas maka akan ditulis oleh redaksi media massa, sebagai "mayat tanpa identitas". Dan akhirnya Bejo hanya menjadi manusia yang merugi, bisa jadi tergolong manusia gelandangan.
Angka satu, dua dan tiga biasa kita temukan dalam kejuaraan apapun. Jika anak kita mampu meraih juara ke-satu dalam suatu lomba, tentulah ini membanggakan. Jika tak mampu meraih angka, sekalipun itu angka harapan (misalkan juara harapan ke-tiga), maka ini akan mengecewakan.
Berapa angka dosa-dosa kita selama ini? tak ada yang tahu, siapapun itu manusianya. Termasuk aku yang menulis artikel ini. Karena perbuatan dosa kadang dikerjakan tanpa disadari bahwa itu sesungguhnya berdosa. Sehingga manusia sering alpa mencatat dosa yang sudah dilakukannya. Atau memang sengaja enggan mencatatnya. Dengan harapan dosanya keciiil, dan ringan tatkala dihisab di hari pembalasan nanti.
Tapi ingat, sekecil apapun dosa yang kita lakukan, akan dicatat secara detail oleh malaikat Atid, malaikat pencatat dosa. Angka-angkanya tidak dimanipulasinya. Misalkan kita bikin dosa lima, lalu ditulis enam (dilebihkannya) atau ditulis dua(dikurangi angkanya). Malaikat itu makhluk Tuhan yang jujur dan patuh.
Berapa "angka" pahala yang sudah kita kumpulkan? Pun tak ada yang tahu pasti jumlahnya. Yang jelas ada dalam catatan detil pada catatannya malaikat Rakib
Yuuk kumpulkan pahala sebanyak yang kita mampu. Jangan berlomba mengumpulkan dosa!
Wassalam,
SangPenging@T!
Sebaris kalimat berisi untaian kata-kata. Dan sebelum menulis kalimat, kata-kata bisa dipilih oleh penulis. Tentulah akan dipilih kata-kata yang sanggup mewakili isi hati penulisnya. Demikian pula angka-angka pun bisa dimanipulasi sesuai keinginan hati pemilik angka (yang diberi wewenang) mengelola angka, asal masih masuk akal. Demi menyelaraskan antara pemasukan dan pengeluaran. Entah itu angka anggaran, angka penghasilan usaha atau angka apapun.
Tapi di zaman KPK punya taji, permainan angka selihai apapun bisa terlacak Buktinya tak sedikit mantan pejabat yang sudah masuk bui, dan yang mengantri untuk diselidiki tak juga berkurang. Mereka bermain angka rupiah. Mulai dari angka jutaan hingga milyaran rupiah. T e r l a l u...! (kata bang Haji Rhoma Irama).
Nama adalah bagian dari jati diri. Jati diri tanpa angka-angka, apalah artinya? Identitas diri membutuhkan angka-angka. Apalah artinya sebuah nama, Bejo (misalnya), jika tanpa angka-angka. Sederet angka-angka melekat pada diri yang bernama Bejo. Mulai dari angka-angka yang tertera pada akte kelahiran sampai nanti angka tanggal kematiannya yang tertulis di batu nisannya.
Berderet angka NIP (Nomor Induk Pegawai) pasti dia punya, jika Bejo jadi pegawai negeri atau Nomor Karyawan, jika jadi pekerja swasta. Angka-angka nomor anggota bermacam-macam organisasi yang dia masuki, tentulah dia punya. Dan paling tidak kalau dia terdaftar sebagai penduduk resmi suatu wilayah, dia punya angka nomor KTP.
Tanpa angka, apalagi tanpa KTP, seorang Bejo hanyalah manusia tanpa identitas yang tidak jelas. Rancu. Membingungkan. Seandainya dia terdampar di ibukota, kemudian dia tewas maka akan ditulis oleh redaksi media massa, sebagai "mayat tanpa identitas". Dan akhirnya Bejo hanya menjadi manusia yang merugi, bisa jadi tergolong manusia gelandangan.
Angka satu, dua dan tiga biasa kita temukan dalam kejuaraan apapun. Jika anak kita mampu meraih juara ke-satu dalam suatu lomba, tentulah ini membanggakan. Jika tak mampu meraih angka, sekalipun itu angka harapan (misalkan juara harapan ke-tiga), maka ini akan mengecewakan.
Berapa angka dosa-dosa kita selama ini? tak ada yang tahu, siapapun itu manusianya. Termasuk aku yang menulis artikel ini. Karena perbuatan dosa kadang dikerjakan tanpa disadari bahwa itu sesungguhnya berdosa. Sehingga manusia sering alpa mencatat dosa yang sudah dilakukannya. Atau memang sengaja enggan mencatatnya. Dengan harapan dosanya keciiil, dan ringan tatkala dihisab di hari pembalasan nanti.
Tapi ingat, sekecil apapun dosa yang kita lakukan, akan dicatat secara detail oleh malaikat Atid, malaikat pencatat dosa. Angka-angkanya tidak dimanipulasinya. Misalkan kita bikin dosa lima, lalu ditulis enam (dilebihkannya) atau ditulis dua(dikurangi angkanya). Malaikat itu makhluk Tuhan yang jujur dan patuh.
Berapa "angka" pahala yang sudah kita kumpulkan? Pun tak ada yang tahu pasti jumlahnya. Yang jelas ada dalam catatan detil pada catatannya malaikat Rakib
Yuuk kumpulkan pahala sebanyak yang kita mampu. Jangan berlomba mengumpulkan dosa!
Wassalam,
SangPenging@T!
Selasa, Januari 15, 2013
Sesuaikan Fokus Dengan Umur
Setiap ulang tahun, pasti lagunya "panjaang umurnya, panjaaang umurnya... panjaaaaang umurnya serta mulia, serta muliaaa...". Sebenarnya kita mau berumur sepanjang apa sih? delapan puluh tahun? sembilan puluh tahun? seratus tahun? seratus duapuluh tahun?
Umur Nabi hanya 62 tahun. Boleh jadi itu usia yang ideal untuk hidup di dunia ini. Atau kalau boleh menawar ya tambah dikit deh. Terdengar masih ada yang ingin sampai 75 tahun. Ah, usia memang rahasia Tuhan. Selama badan masih sehat, otak belum pikun, usia panjang tidak masalah. Yang masalah itu sudah usia panjang, sakit-sakitan melulu. Bikin repot anak-anak, cucu bahkan menantu.
Hidup hendaknya punya fokus. Tanpa fokus hidup jadi tak terarah. Kalau usia kita golongkan menjadi puluhan. Maka sejak usia nol tahun sampai sepuluh tahun, itu adalah usia ketika kita masih dalam pengawasan orangtua.
Usia sepuluh sampai dua puluh tahun, masa kita mulai diberi kekuasaan untuk mengatur diri. Waktunya merasa jatuh cinta. Mulai dari cinta monyet, cinta matre sampai cinta murni. Fokusnya studi dan cinta.
Usia duapuluh hingga tigapuluh, saat mulai beranjak dewasa, fokusnya kepada macam-macam tujuan. Tergantung minat, cita-cita dan kemampuan kita. Baik itu kemampuan finansial ataupun kemampuan inteligensia.
Usia tiga puluh sampai empat puluh, saatnya meniti karir dan merajut bisnis, fokusnya kesuksesan dunia. Usia empatpuluh sampai limapuluh, fokusnya kenikmatan dunia. Nah, pada usia limapuluh tahun sampai enampuluh dan seterusnya, harus pandai memilih dan mimilah fokus perhatian hidup. Hendaknya fokus kepada akhirat harus lebih besar. Sebab usia kita siapa yang tahu tinggal berapa lama?
Boleh saja tetap mengurusi dunia di usia setengah abad. Tetapi harus diingat, fokuskan bekal untuk hidup di akhirat!
Wassalam,
SangPenging@T!
Umur Nabi hanya 62 tahun. Boleh jadi itu usia yang ideal untuk hidup di dunia ini. Atau kalau boleh menawar ya tambah dikit deh. Terdengar masih ada yang ingin sampai 75 tahun. Ah, usia memang rahasia Tuhan. Selama badan masih sehat, otak belum pikun, usia panjang tidak masalah. Yang masalah itu sudah usia panjang, sakit-sakitan melulu. Bikin repot anak-anak, cucu bahkan menantu.
Hidup hendaknya punya fokus. Tanpa fokus hidup jadi tak terarah. Kalau usia kita golongkan menjadi puluhan. Maka sejak usia nol tahun sampai sepuluh tahun, itu adalah usia ketika kita masih dalam pengawasan orangtua.
Usia sepuluh sampai dua puluh tahun, masa kita mulai diberi kekuasaan untuk mengatur diri. Waktunya merasa jatuh cinta. Mulai dari cinta monyet, cinta matre sampai cinta murni. Fokusnya studi dan cinta.
Usia duapuluh hingga tigapuluh, saat mulai beranjak dewasa, fokusnya kepada macam-macam tujuan. Tergantung minat, cita-cita dan kemampuan kita. Baik itu kemampuan finansial ataupun kemampuan inteligensia.
Usia tiga puluh sampai empat puluh, saatnya meniti karir dan merajut bisnis, fokusnya kesuksesan dunia. Usia empatpuluh sampai limapuluh, fokusnya kenikmatan dunia. Nah, pada usia limapuluh tahun sampai enampuluh dan seterusnya, harus pandai memilih dan mimilah fokus perhatian hidup. Hendaknya fokus kepada akhirat harus lebih besar. Sebab usia kita siapa yang tahu tinggal berapa lama?
Boleh saja tetap mengurusi dunia di usia setengah abad. Tetapi harus diingat, fokuskan bekal untuk hidup di akhirat!
Wassalam,
SangPenging@T!
Senin, Januari 14, 2013
Tas Cangklong
Apa itu tas cangklong? Tas kecil berukuran sebesar buku tulis. Mereknya beraneka macam. Harganya mulai dari limapuluh ribuan sampai sejuta lebih, tergantung merek dan kualitas kulitnya. Sering dibawa oleh orang-orang yang suka dengan tas itu. Yang nggak suka? ya jelas mana mau membawanya.
Isi tas itu macam-macam. Biasanya mulai dari surat-surat penting, uang dan handphone. Bahkan dompet pun dimasukkan. Demi kepraktisan, dan supaya barang-barang penting itu tidak tercecer. Entah sejak kapan bapakku mulai senang dengan tas cangklong itu. Yang pasti sejak kedudukannya nyaman dan uangnya banyak.
Ciri khas beliau tas itu selalu dibawa ketika pergi keluar kota atau keluar negeri. Tak pernah lupa. Postur tubuhnya gemuk, tas cangklong itu aku lihat juga tebal. Kulihat sebagai pasangan yang pas.
Aku selalu mengamati tas itu ketika duduk di sebuah restoran untuk rehat sejenak dalam perjalanan antara Jakarta, Pekalongan, Semarang dan Magelang. Ya empat kota itulah dulu seringkali bapak, ibu, aku dan adik-adikku kunjungi, sewaktu ibu dan bapakku masih sehat dan punya jabatan.
Di Pekalongan tempat eyang kakung dan eyang putri dari bapak bertempat tinggal. Di Semarang, tempat orangtuaku tinggal. Dan di Magelang tempat eyang putri dari ibuku bermukim.
Ketika masuk restoran, bapakku selalu menempatkan tas itu di atas meja. Ya, tas itu selalu kuamati sambil menunggu hidangan disiapkan oleh pelayan restoran. Kadang sering kuiseng ingin menengok apa isinya. Tapi selalu gagal. Kalau sekedar melihat kulitnya dan desain tas cangklong itu, bapak membiarkannya. Namun begitu aku diam-diam iseng ingin membuka resleting tas itu, langsung tas itu disambarnya. Sambil berkata, "Hush, dilarang melihat isinya!". Mungkin beliau takut aku mengambil duitnya, kali. Hehehe....
Ciri khas bapak, tidak mau masuk toilet restoran sebelum usai makan. Kenapa? Dia bilang toilet umum restoran biasanya, bau pesing dan jorok. Ini bisa membuat selera makan berkurang, katanya. Oo, begitu toh.
Lalu sebelum menyantap hidangan, cincin yang dijari manis kanannya, dipindahkan dulu ke jari telunjuk kirinya. Sebab takut kotor, karena bapak lebih suka makan dengan tangan ketimbang memakai sendok. Bapak selalu makan dengan lahap. Hobinya mampir di restoran padang, atau restoran sunda yang ada di jalur pantura.
Kalau sudah melihat bapak melahap makanan, ibu selalu mengingatkan untuk menjaga kolesterol pak. Tetapi selalu tidak berhasil. Dan ibu pun akhirnya, diam saja.
Setelah selesai makan, barulah bapak melirik tas canklongnya dan mengambil uang dari tas itu. Ibu kulihat jarang sekali, mengeluarkan uang untuk membayar setiap kali habis makan di restoran. Ibu baru mengeluarkan uang untuk membeli makanan cemilan buat oleh-oleh. Bapakku hebat, selalu mentraktir. Semasa hidupnya, bisa kuhitung dengan jari berapa kali aku mentraktirnya makan.
Sebelum meninggalkan restoran, jika waktu shalat sudah masuk maka bapak mengajak kami untuk shalat berjamaah di musholla.
Tas cangklong itu menginspirasiku untuk menirunya. Ah, sayang sampai tulisan ini kubuat aku belum bisa seperti bapak. Masuk restoran sambil membawa tas cangklong. Sebabnya? aku jarang keluar kota, jarang jajan di restoran. Anakku bertanya, "kapan pak, bapak bisa seperti Eyang Kakung?"
Tercekat kerongkonganku ketika ingin menjawab pertanyaan anakku itu. Iya, ya kapan-kapan deh, kataku.
Kapan pak? mereka serentak bertanya lagi.
"Nanti, kalau bapak sudah sehebat Eyang Kakung"
Wassalam,
SangPenging@T
Isi tas itu macam-macam. Biasanya mulai dari surat-surat penting, uang dan handphone. Bahkan dompet pun dimasukkan. Demi kepraktisan, dan supaya barang-barang penting itu tidak tercecer. Entah sejak kapan bapakku mulai senang dengan tas cangklong itu. Yang pasti sejak kedudukannya nyaman dan uangnya banyak.
Ciri khas beliau tas itu selalu dibawa ketika pergi keluar kota atau keluar negeri. Tak pernah lupa. Postur tubuhnya gemuk, tas cangklong itu aku lihat juga tebal. Kulihat sebagai pasangan yang pas.
Aku selalu mengamati tas itu ketika duduk di sebuah restoran untuk rehat sejenak dalam perjalanan antara Jakarta, Pekalongan, Semarang dan Magelang. Ya empat kota itulah dulu seringkali bapak, ibu, aku dan adik-adikku kunjungi, sewaktu ibu dan bapakku masih sehat dan punya jabatan.
Di Pekalongan tempat eyang kakung dan eyang putri dari bapak bertempat tinggal. Di Semarang, tempat orangtuaku tinggal. Dan di Magelang tempat eyang putri dari ibuku bermukim.
Ketika masuk restoran, bapakku selalu menempatkan tas itu di atas meja. Ya, tas itu selalu kuamati sambil menunggu hidangan disiapkan oleh pelayan restoran. Kadang sering kuiseng ingin menengok apa isinya. Tapi selalu gagal. Kalau sekedar melihat kulitnya dan desain tas cangklong itu, bapak membiarkannya. Namun begitu aku diam-diam iseng ingin membuka resleting tas itu, langsung tas itu disambarnya. Sambil berkata, "Hush, dilarang melihat isinya!". Mungkin beliau takut aku mengambil duitnya, kali. Hehehe....
Ciri khas bapak, tidak mau masuk toilet restoran sebelum usai makan. Kenapa? Dia bilang toilet umum restoran biasanya, bau pesing dan jorok. Ini bisa membuat selera makan berkurang, katanya. Oo, begitu toh.
Lalu sebelum menyantap hidangan, cincin yang dijari manis kanannya, dipindahkan dulu ke jari telunjuk kirinya. Sebab takut kotor, karena bapak lebih suka makan dengan tangan ketimbang memakai sendok. Bapak selalu makan dengan lahap. Hobinya mampir di restoran padang, atau restoran sunda yang ada di jalur pantura.
Kalau sudah melihat bapak melahap makanan, ibu selalu mengingatkan untuk menjaga kolesterol pak. Tetapi selalu tidak berhasil. Dan ibu pun akhirnya, diam saja.
Setelah selesai makan, barulah bapak melirik tas canklongnya dan mengambil uang dari tas itu. Ibu kulihat jarang sekali, mengeluarkan uang untuk membayar setiap kali habis makan di restoran. Ibu baru mengeluarkan uang untuk membeli makanan cemilan buat oleh-oleh. Bapakku hebat, selalu mentraktir. Semasa hidupnya, bisa kuhitung dengan jari berapa kali aku mentraktirnya makan.
Sebelum meninggalkan restoran, jika waktu shalat sudah masuk maka bapak mengajak kami untuk shalat berjamaah di musholla.
Tas cangklong itu menginspirasiku untuk menirunya. Ah, sayang sampai tulisan ini kubuat aku belum bisa seperti bapak. Masuk restoran sambil membawa tas cangklong. Sebabnya? aku jarang keluar kota, jarang jajan di restoran. Anakku bertanya, "kapan pak, bapak bisa seperti Eyang Kakung?"
Tercekat kerongkonganku ketika ingin menjawab pertanyaan anakku itu. Iya, ya kapan-kapan deh, kataku.
Kapan pak? mereka serentak bertanya lagi.
"Nanti, kalau bapak sudah sehebat Eyang Kakung"
Wassalam,
SangPenging@T
Minggu, Januari 13, 2013
Yang Dikenal, Yang Dipilih?
Dulu aku pernah setahun mengenyam kuliah di Fakultas Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta. Waktu itu ada satu kalimat yang masih terekam jelas dalam benak pikiranku. Lupa aku dapatkan darimana kalimat itu. Entah dari buku teks atau dosen yang berucap. Kurang lebih begini bunyi kalimatnya, "dekati lingkaran kekuasan, jika ingin memperoleh jabatan!"
Apakah Anda mengerti maksud kalimat itu? Artinya jika ingin posisi menteri, pandailah mendekati SBY. Hehehe, itu karena sekarang presidennya Susilo Bambang Yudhoyono. Kita lihat, Roy Suryo yang dipilih SBY menggantikan Andi Mallarangeng. Mengapa? ya karena Roy yang dikenal SBY. Sesederhanakah itu prosesnya? Ah, ternyata tidak tuh.
Dan kita tidak tahu pasti siapa nanti pengganti SBY. Sehingga jika kita dekat SBY sekarang pun, belum tentu kita jadi menteri kelak, karena belum tahu siapa yang jadi presiden RI berikutnya. Dan faktor keberuntungan (nasib baik/takdir Ilahi) itu berperan besar. Tidak semata, dikenal presiden saja lalu kita bisa jadi menteri. Di samping faktor keberuntungan. Faktor kecerdasan seseorang juga amat penting. Masak orang bodoh dipilih jadi menteri? Nggak mungkin lahyao!
Dulu aku seperti "orang yang tersasar" kuliah di dunia politik. Sama sekali tidak menarik dunia politik bagiku. Orang yang benci politik berkata; politik itu kotor, penuh intrik dan kecurangan. Warnanya abu-abu, tidak hitam-putih. Lho kok milih fakultas ilmu politik? Hm, itu jurusan yang memilihkan ibuku.
Akibatnya, aku lebih asyik mencoret-coret gambar di kertas buku kuliah, ketimbang mendengarkan dosen mengajar. Makanya tahun berikutnya aku mendaftar di ISI Yogyakarta. Dan diterima, lalu kuliah disana hingga lulus menggondol gelar SSn (sarjana seni). Tapi di KTP, tertulis Drs. Ah, tak kupusingkan gelar itu.
Gelar itu penting untuk mengejar jabatan di lingkungan pegawai negeri sipil. Di dunia swasta, persetan dengan gelar. Nggak ngaruh tuh sama gaji. Eits, ini apa mungkin karena aku selama ini bekerjanya di perusahaan swasta, kelas kambing kali ya? Sehingga antara lulusan SMA sama sarjana S1, hanya beda beberapa ratus ribu doang.
Ternyata lewat politik pun orang bisa kaya raya. Anggota DPR-RI, kurang apa kayanya? Wow, kaya raya mereka. Apalagi bisa menduduki kursi menteri. Kaya juga. Dulu dalam benakku kupikir kalau mau kaya itu ya jadi pengusaha, punya perusahaan. Rupanya bisa kaya juga lewat jalur politik.
Yang jelas untuk melangkah sukses di gelanggang kehidupan, agaknya peran organisasi itu sangat penting. Terutama ketika kuliah. Dan umumnya mereka yang gesit di organisasi, karir di pemerintahan bakal meroket. Lewat pertemanan, karir bisa melesat. Jago bicara, pandai melobi, pintar membuat konsep. Itu penting buat menunjang karir. Dan semua itu tak kumiliki. Akibatnya karirku terseok keok.
Tapi aku masih menaruh harapan tinggi agar kelak bisa sukses di akhirat. Dunia boleh kalah, tapi akhirat jangan sampai kalah pula. Ya betul, kan? Umur sudah tinggi, mengejar jabatan sudah tak mungkin. Mau apalagi? Menyerah? Menyesali nasib? Lalu bermalas-malasan meraih akhirat? Malas shalat, malas sedekah, malas ibadah, malas beramal shaleh, malas membaca Qur'an? Orang yang malas semacam itu, dijamin bakal nggak sukses di akhirat. Mau?
Hii, ngeri aku jika dunia sudah tak sukses, akhiratpun gagal. Oh betapa nestapanya hidup. Yaa Rabb, bimbing aku menuju surga-Mu. Jauhkan aku dari godaan setan yang Engkau kutuk.
Wassalam,
SangPenging@T
Sabtu, Januari 12, 2013
Menapaki Jejak Karir Bapakku
Wajah Roy Suryo sumringah, tatkala jumpa pers di istana negara. Kemarin Jumat, 11 Januari 2013, dia ditetapkan menjadi Menpora oleh Presiden SBY menggantikan Andi Mallarangeng yang mengundurkan diri tepat sebulan yang lalu (Jumat, 12 Desember 2012). Dia menjadi satu-satunya menteri sejak orde baru yang secara tegas menyampaikan pengunduran dirinya, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Hambalang.
Pertanyaan siapa yang bakal menggantikan posisi Andi terjawab sudah. Ada yang puas dan lega. Serta ada pula yang sakit hati (terutama yang sudah ge-er bakal ditunjuk jadi menteri pemuda dan olah raga, tetapi faktanya tidak terpilih). Dan tidak sedikit yang mencibir (tidak yakin), Roy Surya bakal mampu membenahi dunia keolahragaan. Tetapi semua itu ditepisnya, dia merasa yakin mampu asal mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk rekan-rekan pers. Semoga pak!
Setiap ada pelantikan pejabat negara, selalu terngiang ucapan almarhum bapakku. Dulu, beliau pernah berujar begini, ketika melihat presiden Suharto melantik para menteri dalam kabinetnya, "Itu yang senang paling istri dan anak-anaknya". Memangnya kenapa pak? tanyaku penasaran. "Iya kan, mereka bisa menikmati segala fasilitas sebagai anak dan istri menteri. Sementara itu bapaknya sibuk dengan urusan pekerjaan yang menyita pikiran dan menguras tenaga. Memangnya gampang apa jadi menteri? katanya.
Tiba-tiba pikiranku ini mengajakku untuk sejenak kilas-balik (flashback) menapaki jejak karir bapakku. Karirnya dimulai dari bawah, sejak tahun 1961. Diawali sebagai dosen IAIN (sekarang namanya UIN) di Ciputat, selepas dia lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kemudian dia terus dan terus berkibar dalam karirnya sebagai pegawai negeri sipil. Jabatan yang pernah diemban oleh bapakku (H.Ahmad Ludjito) diantaranya, sebagai; Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak, Kepala Kanwil Dep. Agama di Pontianak, Rektor IAIN Walisongo di Semarang, dan tertinggi adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama (setingkat dirjen) di Dep. Agama RI (sekarang namanya Kementerian Agama). Pernah menjadi dosen tamu di Mahidol University, Bangkok dan Universitas Leiden di Belanda. Sudah banyak kota di Indonesia dijelajahinya. Dan sudah menapakkan kakinya di beberapa negara..
Oh ya hampir lupa. Bapakku pernah mengalami masa pahit, menjadi tahanan politik di era orde lama. Waktu itu Presiden Soekarno merasa jengah dan muak dengan demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa anggota HMI cabang IAIN Ciputat pada bulan Oktober tahun 1963. Demonstrasi menuntut Dep. Agama agar tidak "terlalu" NU, tetapi hendaknya menampung pula dari kalangan Muhammadiyah. Rupanya demonstrasi waktu itu jika terus berlangsung dapat merongrong kewibawaan pemerintah.Maka ditangkapilah para mahasiswa yang terlibat demonstrasi. Termasuk pula para dosennya yang diduga membela. Akibatnya bapakku, sebagai dosen yang dianggap Muhammadiyah termasuk yang diciduk oleh aparat dan dijebloskan ke penjara. Bersama dia, ada beberapa dosen yang ikut ditahan.
Mengenai masa-masa pahit dalam hidupnya, aku sangat sulit mengorek cerita dari sumber aslinya (bapakku). Dia pokoknya bilang, pada saat itu yang ada dalam pikiran bapak adalah umur bapak akan segera berakhir. Dan nggak bakal ketemu kalian (anak-anak). Siksaan dalam penjara sungguh pedih. Tak tertahankan. Sakit sekali.
Lho-lho kok jadi ngomongin karir bapakku? Yeah, ini sekedar menghargai karirnya, sekaligus memperkenalkan siapa bapakku. Mengapa?
Sebab saya selalu teringat kata-kata yang disampaikan kepadaku dengan lirih. Dilontarkan dengan maksud untuk membakar semangatku (semacam tantangan) dalam berkarir. Namun sayang aku tidak tersulut ketika itu. Tidak menanggapinya serius.
Dan kupikir-pikir ternyata itu "kalimat pertanyaan yang serius". Dan sayangnya, aku baru merasa bangkit semangatku kini, ketika mengingatnya kembali. Ditengah-tengah menapaki jejak karir baru sebagai "Sang Pengingat!". Ah, semoga belum terlambat.
Apa tantangannya, yang pernah disampaikannya kepadaku dulu? Hanya sebaris kalimat yang sederhana saja, yakni; "Kamu bisa nggak seperti bapak?".
"Ternyata sulit menaklukkan tantangan bapak!" bisikku lirih ditelinganya, nyaris tak terdengar bahkan oleh kupingku sendiri. Kalimat itu kusampaikan ketika bapak sudah terbaring lemah menjelang ajalnya. Kulihat ada airmata yang menetes mengalir dari matanya yang terpejam.
Wassalam,
SangPenging@T
Pertanyaan siapa yang bakal menggantikan posisi Andi terjawab sudah. Ada yang puas dan lega. Serta ada pula yang sakit hati (terutama yang sudah ge-er bakal ditunjuk jadi menteri pemuda dan olah raga, tetapi faktanya tidak terpilih). Dan tidak sedikit yang mencibir (tidak yakin), Roy Surya bakal mampu membenahi dunia keolahragaan. Tetapi semua itu ditepisnya, dia merasa yakin mampu asal mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk rekan-rekan pers. Semoga pak!
Setiap ada pelantikan pejabat negara, selalu terngiang ucapan almarhum bapakku. Dulu, beliau pernah berujar begini, ketika melihat presiden Suharto melantik para menteri dalam kabinetnya, "Itu yang senang paling istri dan anak-anaknya". Memangnya kenapa pak? tanyaku penasaran. "Iya kan, mereka bisa menikmati segala fasilitas sebagai anak dan istri menteri. Sementara itu bapaknya sibuk dengan urusan pekerjaan yang menyita pikiran dan menguras tenaga. Memangnya gampang apa jadi menteri? katanya.
Tiba-tiba pikiranku ini mengajakku untuk sejenak kilas-balik (flashback) menapaki jejak karir bapakku. Karirnya dimulai dari bawah, sejak tahun 1961. Diawali sebagai dosen IAIN (sekarang namanya UIN) di Ciputat, selepas dia lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kemudian dia terus dan terus berkibar dalam karirnya sebagai pegawai negeri sipil. Jabatan yang pernah diemban oleh bapakku (H.Ahmad Ludjito) diantaranya, sebagai; Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak, Kepala Kanwil Dep. Agama di Pontianak, Rektor IAIN Walisongo di Semarang, dan tertinggi adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama (setingkat dirjen) di Dep. Agama RI (sekarang namanya Kementerian Agama). Pernah menjadi dosen tamu di Mahidol University, Bangkok dan Universitas Leiden di Belanda. Sudah banyak kota di Indonesia dijelajahinya. Dan sudah menapakkan kakinya di beberapa negara..
Oh ya hampir lupa. Bapakku pernah mengalami masa pahit, menjadi tahanan politik di era orde lama. Waktu itu Presiden Soekarno merasa jengah dan muak dengan demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa anggota HMI cabang IAIN Ciputat pada bulan Oktober tahun 1963. Demonstrasi menuntut Dep. Agama agar tidak "terlalu" NU, tetapi hendaknya menampung pula dari kalangan Muhammadiyah. Rupanya demonstrasi waktu itu jika terus berlangsung dapat merongrong kewibawaan pemerintah.Maka ditangkapilah para mahasiswa yang terlibat demonstrasi. Termasuk pula para dosennya yang diduga membela. Akibatnya bapakku, sebagai dosen yang dianggap Muhammadiyah termasuk yang diciduk oleh aparat dan dijebloskan ke penjara. Bersama dia, ada beberapa dosen yang ikut ditahan.
Mengenai masa-masa pahit dalam hidupnya, aku sangat sulit mengorek cerita dari sumber aslinya (bapakku). Dia pokoknya bilang, pada saat itu yang ada dalam pikiran bapak adalah umur bapak akan segera berakhir. Dan nggak bakal ketemu kalian (anak-anak). Siksaan dalam penjara sungguh pedih. Tak tertahankan. Sakit sekali.
Lho-lho kok jadi ngomongin karir bapakku? Yeah, ini sekedar menghargai karirnya, sekaligus memperkenalkan siapa bapakku. Mengapa?
Sebab saya selalu teringat kata-kata yang disampaikan kepadaku dengan lirih. Dilontarkan dengan maksud untuk membakar semangatku (semacam tantangan) dalam berkarir. Namun sayang aku tidak tersulut ketika itu. Tidak menanggapinya serius.
Dan kupikir-pikir ternyata itu "kalimat pertanyaan yang serius". Dan sayangnya, aku baru merasa bangkit semangatku kini, ketika mengingatnya kembali. Ditengah-tengah menapaki jejak karir baru sebagai "Sang Pengingat!". Ah, semoga belum terlambat.
Apa tantangannya, yang pernah disampaikannya kepadaku dulu? Hanya sebaris kalimat yang sederhana saja, yakni; "Kamu bisa nggak seperti bapak?".
"Ternyata sulit menaklukkan tantangan bapak!" bisikku lirih ditelinganya, nyaris tak terdengar bahkan oleh kupingku sendiri. Kalimat itu kusampaikan ketika bapak sudah terbaring lemah menjelang ajalnya. Kulihat ada airmata yang menetes mengalir dari matanya yang terpejam.
Wassalam,
SangPenging@T
Jumat, Januari 11, 2013
Mereka Sudah Jadi Tokoh
Umur mereka nggak beda jauh dengan umurku. Antara 51 tahun sampai dengan 53 tahun. Di usia lebih setengah abad mereka sudah jadi orang hebat! Sudah jadi manusia ternama di Indonesia. Sudah sekian banyak anak yatim piatu yang disantuni. Sungguh membuatku iri.
Siapakah mereka itu. Antara lain; Chairul Tanjung, Sandiaga Uno, Aa Gym, Ustadz Yusuf Mansyur, Ustadz Muhammad Arifin Ilham, dan Iwan Fals. Hasil karya (buah pikiran) mereka sudah dirasakan masyarakat banyak. Dibutuhkan perjuangannya yang luar biasa untuk menjadi mereka seperti sekarang ini! Penuh peluh keringat dan airmata. Dan tahta biasanya diikuti harta nan berlimpah, paling tidak hidupnya berkecukupan. Bahkan majalah Forbes mencantumkan Chairul Tanjung di urutan kelima dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia, di tahun 2012. Kekayaan pemilik CT Corp ini ditaksir sebesar US$ 34 atau sekitar Rp 32,3 triliun.
Kisah perjuangan hidupnya, bisa Anda baca di buku-buku buah karyanya ataupun yang ditulis oleh penulis lain. Serta bisa Anda nikmati CD/kaset musiknya. Dan buku-buku itu sudah beredar luas di toko buku. Atau Anda bisa membacanya di situs-situs di internet, dan melhat videonya di YouToBe.
Sementara aku? Belum banyak orang yang mengetahui siapa aku. Aku sadar belum berbuat untuk orang banyak. Masih belum terdengar gaung kiprahnya, di bidang yang aku geluti. Yakni di bidang agama Islam dan Desain Komunikasi Visual. Masih belum punya karya yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Dan kalau mau dirinci, tulisan ini bisa penuh dengan kata "belum".
Ah, jangan terlalu merendahkan diri begitulah! Lho, betulkan. Bukannya tulisan-tulisan SangPenging@T, sedikitnya sudah dirasakan manfaatnya oleh pembaca/ pecinta blogspotmu! Ah, itu masih seujung kuku. Eh, tak baik, begitu. Pamali, itu namanya kamu tidak bersyukur atas tulisan yang telah kamu lahirkan. Oh, begitu toh? Ok, kita lanjutkan tulisanku ini ya.
Apa sebabnya aku masih jadi orang biasa-biasa saja? Aku mencoba bercermin diri. Merenungi diri ini, sambil mencari-cari apa penyebabnya kok aku masih jadi orang biasa ya. Apakah ini sudah suratan takdir, sudah nasibnya begini? Segera aku sambar pertanyaan itu dengan teriakan, "Tidak!". Takdir dan nasib hanya sebuah kata untuk membela diri bagi orang yang kalah. Aku tidak ingin disebut sebagai pecundang!
Ya, ya ya... aku sadari selama ini aku belum maksimal menggunakan kemampuanku, belum mati-matian, eh maksudku setengah mati memperjuangkan apa yang menjadi niat (mimpi) baikku. Istilah kerennya belum "push to the limit". Kurang mensyukuri atas nikmat yang telah dianugerahkan kepadaku. Oh, maafkan aku Tuhan.
Aku terlalu sayang dengan tubuhku, dengan otakku, dengan pikiranku. Tidak menggunakannya dengan optimal. Sehingga kebanyakan tidur, molor selalu. Akibatnya? Mereka sudah berlari jauh mewujudkan mimpinya. Sementara aku masih tertidur dengan mimpi-mimpi indahku. Dan senang dengan kata-kata, "andaikata aku dulu,....", "jika aku begitu, bila aku begini..."
Tahun ini, dan harus mulai dari tahun ini, tahun 2013. Aku harus melecut diriku, menguras otakku, memeras tenagaku. Hm, asal tidak sampai berpengaruh dengan jantungku yang mulai soak. Aku harus segera mewujudkan mimpiku. Apa mimpinya? Kasih tahu nggak yaa...?
Kasih tahu dong ke pembaca. Siapa tahu ada yang ikutan bantu nge-doa-in. Iya, yaa. Oke aku ingin betul-betul merubah diri. Dari orang yang senang berdiam diri, berubah menjadi orang yang suka cuap-cuap (yang bermanfaat). Jadi seorang pembicara, seorang motivator dalam bidang spiritual (keagamaan Islam). Khususnya tentang "Surga dan Neraka".
Dan mimpi selain itu, aku ingin menerbitkan buku non fiksi tentang "Surga dan Neraka" dan sebuah novel, tentang perjalanan hidup seorang manusia biasa. Ck, ck, ck... hebat benar mimpinya ya? Ah, biasalah namanya juga masih mimpi. Bebas mau mimpi apa bukan? Baru boleh dibilang hebat kalau nanti benar-benar terwujud! Mohon doanya, kawan. Serius lho. Semoga Allah meridhoi langkah-langkah kita bersama agar bisa masuk surga-Nya. Ah, terlalu mengada-ada tuh. Loh memangnya Ente mau masuk neraka?
Well, boleh tahu apa mimpi pembaca? selama itu realistis dan mampu diwujudkan. Mengapa, tidak segera direalisasikan. Ayo kawan bermimpilah dan wujudkan mimpi itu. Jangan ditunda-tunda!
Wassalam,
SangPenging@T
Siapakah mereka itu. Antara lain; Chairul Tanjung, Sandiaga Uno, Aa Gym, Ustadz Yusuf Mansyur, Ustadz Muhammad Arifin Ilham, dan Iwan Fals. Hasil karya (buah pikiran) mereka sudah dirasakan masyarakat banyak. Dibutuhkan perjuangannya yang luar biasa untuk menjadi mereka seperti sekarang ini! Penuh peluh keringat dan airmata. Dan tahta biasanya diikuti harta nan berlimpah, paling tidak hidupnya berkecukupan. Bahkan majalah Forbes mencantumkan Chairul Tanjung di urutan kelima dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia, di tahun 2012. Kekayaan pemilik CT Corp ini ditaksir sebesar US$ 34 atau sekitar Rp 32,3 triliun.
Kisah perjuangan hidupnya, bisa Anda baca di buku-buku buah karyanya ataupun yang ditulis oleh penulis lain. Serta bisa Anda nikmati CD/kaset musiknya. Dan buku-buku itu sudah beredar luas di toko buku. Atau Anda bisa membacanya di situs-situs di internet, dan melhat videonya di YouToBe.
Sementara aku? Belum banyak orang yang mengetahui siapa aku. Aku sadar belum berbuat untuk orang banyak. Masih belum terdengar gaung kiprahnya, di bidang yang aku geluti. Yakni di bidang agama Islam dan Desain Komunikasi Visual. Masih belum punya karya yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Dan kalau mau dirinci, tulisan ini bisa penuh dengan kata "belum".
Ah, jangan terlalu merendahkan diri begitulah! Lho, betulkan. Bukannya tulisan-tulisan SangPenging@T, sedikitnya sudah dirasakan manfaatnya oleh pembaca/ pecinta blogspotmu! Ah, itu masih seujung kuku. Eh, tak baik, begitu. Pamali, itu namanya kamu tidak bersyukur atas tulisan yang telah kamu lahirkan. Oh, begitu toh? Ok, kita lanjutkan tulisanku ini ya.
Apa sebabnya aku masih jadi orang biasa-biasa saja? Aku mencoba bercermin diri. Merenungi diri ini, sambil mencari-cari apa penyebabnya kok aku masih jadi orang biasa ya. Apakah ini sudah suratan takdir, sudah nasibnya begini? Segera aku sambar pertanyaan itu dengan teriakan, "Tidak!". Takdir dan nasib hanya sebuah kata untuk membela diri bagi orang yang kalah. Aku tidak ingin disebut sebagai pecundang!
Ya, ya ya... aku sadari selama ini aku belum maksimal menggunakan kemampuanku, belum mati-matian, eh maksudku setengah mati memperjuangkan apa yang menjadi niat (mimpi) baikku. Istilah kerennya belum "push to the limit". Kurang mensyukuri atas nikmat yang telah dianugerahkan kepadaku. Oh, maafkan aku Tuhan.
Aku terlalu sayang dengan tubuhku, dengan otakku, dengan pikiranku. Tidak menggunakannya dengan optimal. Sehingga kebanyakan tidur, molor selalu. Akibatnya? Mereka sudah berlari jauh mewujudkan mimpinya. Sementara aku masih tertidur dengan mimpi-mimpi indahku. Dan senang dengan kata-kata, "andaikata aku dulu,....", "jika aku begitu, bila aku begini..."
Tahun ini, dan harus mulai dari tahun ini, tahun 2013. Aku harus melecut diriku, menguras otakku, memeras tenagaku. Hm, asal tidak sampai berpengaruh dengan jantungku yang mulai soak. Aku harus segera mewujudkan mimpiku. Apa mimpinya? Kasih tahu nggak yaa...?
Kasih tahu dong ke pembaca. Siapa tahu ada yang ikutan bantu nge-doa-in. Iya, yaa. Oke aku ingin betul-betul merubah diri. Dari orang yang senang berdiam diri, berubah menjadi orang yang suka cuap-cuap (yang bermanfaat). Jadi seorang pembicara, seorang motivator dalam bidang spiritual (keagamaan Islam). Khususnya tentang "Surga dan Neraka".
Dan mimpi selain itu, aku ingin menerbitkan buku non fiksi tentang "Surga dan Neraka" dan sebuah novel, tentang perjalanan hidup seorang manusia biasa. Ck, ck, ck... hebat benar mimpinya ya? Ah, biasalah namanya juga masih mimpi. Bebas mau mimpi apa bukan? Baru boleh dibilang hebat kalau nanti benar-benar terwujud! Mohon doanya, kawan. Serius lho. Semoga Allah meridhoi langkah-langkah kita bersama agar bisa masuk surga-Nya. Ah, terlalu mengada-ada tuh. Loh memangnya Ente mau masuk neraka?
Well, boleh tahu apa mimpi pembaca? selama itu realistis dan mampu diwujudkan. Mengapa, tidak segera direalisasikan. Ayo kawan bermimpilah dan wujudkan mimpi itu. Jangan ditunda-tunda!
Wassalam,
SangPenging@T
Kamis, Januari 10, 2013
Perbedaan
Baru-baru ini dunia perfilman dihebohkan oleh film "Cinta Tapi Beda". Sebuah film yang diangkat dari tulisan di blogspotnya Dwitasari. Blogpot miliknya memiliki tingkat kunjungan yang luar biasa. Waktu film itu dibikin dan diedarkan, blogspotnya sudah dibaca oleh 2,9 juta. Salah satu tulisan di blog itu rupanya yang membuat Hanung Bramantyo tertarik untuk dibuatkan film Cinta Tapi Beda. Dan penyutradaraannya diserahkan kepada Hestu Saputera.
Aku mau bicara tentang blogspot Dwitasari dulu. Ck, ck, ck... aku harus berdecak kagum ketika berhasil menemukan blogspotnya di Google. Gile bener! kupikir ini blogspot luar biasa. Bahkan ketika artikel ini kutulis sudah mencapai tingkat pembaca yang ke 3 juta koma sekian. Mungkin karena corak tulisannya yang beraroma "cinta", sehingga banyak remaja membacanya atau mungkin juga lelaki dan perempuan yang sedang dilanda puber kedua menyukai tulisan-tulisan Dwitasari. Tapi aku belum tahu percis, apakah ini nama dia sebenarnya atau nama samaran?
Dibandingkan dengan aku, jauuuhlah. Maksudnya dalam perbandingan tingkatan pembaca blogspot. Kalau blogspotnya sudah mencapai pembaca diatas 3juta. Sedangkan blogpotku belum mencapai 3ribu pembaca (paling tidak saat artikel ini kutulis, Kamis, 10 Januari 2013). Padahal aku sudah berkecimpung di blogspot sejak tahun 2008, Dwitasari baru mulai tahun 2010. Luar biasa dia! Kuakui dia pandai merangkai kata-kata menjadi sebaris kalimat yang enak dibaca.
Tapi kalau soal teratas ketika Anda meng-klik namanya. Aku tida merasa kalah sama dia. Mau bukti? Boleh, coba ketik nama "m fajar irianto" di Google, lalu klik mouse Anda atau tekan tombol enter. Hmm... mudah-mudahan masih yang teratas dari hasil pencarian mesin Google.
Sekarang mengenai isi tulisan-tulisannya. Selain cinta, ada juga soal sepakbola yang diangkat sebagai tema tulisannya. Dan diantara tulisannya ada yang membuat hatiku terbakar, yaitu kalau dia sedang berbicara (menulis) tentang Tuhan dan agama. Dari aroma tulisannuya (tentang agama dan cinta) tercium bau tak sedap dihidungku. Tulisannya sangat cair. Dia bilang Tuhan itu satu, hanya penyebutannya saja yang berbeda. Tapi tetap saja maksudnya satu. Ah, sok tahu dikau, Dwita!
Lalu mengenai agama, dia bilang agama itukan menebar kasih sayang, cinta kasih. Lalu kenapa saling menjelek-jelekkan antar pemeluk agama. Bahkan sampai meneror, dan harus jadi teroris. Dan kawin beda agama, mengapa dipersoalkan. Toh kita hidup di alam Indonesia, yang menjunjung semboyan Bhineka Tunggal Ika. Biarkan saja!
Film itu pada akhirnya ditarik dari peredaran setelah komunitas Minangkabau protes keras. Masak orang minang yang kental agama Islamnya, dicairkan dengan cara menokohkan peran wanita asal minang yang beragama Katolik yang sedang jatuh cinta dengan cowok jawa beragama Islam. Ada-ada saja. Ya, memang bisa saja itu ada dalam kehidupan nyata. Tapi itu untuk kalangan keluarga yang tidak kokoh sendi agamanya.
Bahkan kalau kita cermati, ada keluarga yang bangga mengatakan bahwa keluarganya menerapkan azas Bhineka Tunggal Ika. Artinya, ada menantu yang beragama Islam, ada yang Kristen, ada yang Katolik. Mereka berprinsip semua agama baik kok. Tanda-tanda zaman edan. Masya Allah.
Terus terang waktu SMA dulu, aku nyaris jatuh cinta dengan cewek manis yang beda agama. Pernah pula nyaris merajut cinta dengan beda etnis. Tapi buru-buru kukatakan TIDAK! Karena sudah kuperkirakan bakal menuai onak di kemudian hari. Dan terbukti kini, hidup berumah tangga yang seagama saja musti berhadapan dengan berbagai perbedaan selera, antara suami dan istri. Istriku senang musik dangdut. Aku suka musik Rock! Apalagi ini perbedaan agama. Makanya kunasehatkan kepada anak-anak remaja (ABG) yang sedang jatuh cinta. Carilah yang seagama. Ok, mas Bro?
Sebelum mengatakan cinta, selidiki dulu apa agamanya tuh cewek/cowok! Kalau sudah tahu beda agama, segera PUTUSKAN (maksudnya putusin sinyal cinta kalian!) jangan coba-coba untuk memaksakan cinta tapi beda. Sungguh sangat riskan.Sebab kalau terus dilanjutkan hanya tiga pilihannya, satu.) kalau tidak kekasihmu yang masuk Islam, dua.) kau yang murtad! Atau pilihan yang; ketiga.), akhirnya kawin di catatan sipil, dengan tetap memeluk agama masing-masing. Kemudian setelah punya anak, siap bersitegang deh, saling mempengaruhi anak untuk memeluk agama papanya atau mamanya. Kasihan anak-anak.
Ingat ini kawan, "Laakum dinukum waliyadin" (QS Al kafiiruun: 6) yang artinya "Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku". Nah itu resep jitu yang disampaikan Allah kepada kita, kaum muslimin.Tuhan itu satu, dan hanya Allah. Bukan yang lain (walau beda nama/sebutan atau panggilan)! The one and only, Allah Swt. Oke?
Wahai anak muda, jangan paksakan untuk jatuh Cinta tapi Beda agama. Nanti bisa rusak keimananmu!
Wassalam,
SangPenging@T
Aku mau bicara tentang blogspot Dwitasari dulu. Ck, ck, ck... aku harus berdecak kagum ketika berhasil menemukan blogspotnya di Google. Gile bener! kupikir ini blogspot luar biasa. Bahkan ketika artikel ini kutulis sudah mencapai tingkat pembaca yang ke 3 juta koma sekian. Mungkin karena corak tulisannya yang beraroma "cinta", sehingga banyak remaja membacanya atau mungkin juga lelaki dan perempuan yang sedang dilanda puber kedua menyukai tulisan-tulisan Dwitasari. Tapi aku belum tahu percis, apakah ini nama dia sebenarnya atau nama samaran?
Dibandingkan dengan aku, jauuuhlah. Maksudnya dalam perbandingan tingkatan pembaca blogspot. Kalau blogspotnya sudah mencapai pembaca diatas 3juta. Sedangkan blogpotku belum mencapai 3ribu pembaca (paling tidak saat artikel ini kutulis, Kamis, 10 Januari 2013). Padahal aku sudah berkecimpung di blogspot sejak tahun 2008, Dwitasari baru mulai tahun 2010. Luar biasa dia! Kuakui dia pandai merangkai kata-kata menjadi sebaris kalimat yang enak dibaca.
Tapi kalau soal teratas ketika Anda meng-klik namanya. Aku tida merasa kalah sama dia. Mau bukti? Boleh, coba ketik nama "m fajar irianto" di Google, lalu klik mouse Anda atau tekan tombol enter. Hmm... mudah-mudahan masih yang teratas dari hasil pencarian mesin Google.
Sekarang mengenai isi tulisan-tulisannya. Selain cinta, ada juga soal sepakbola yang diangkat sebagai tema tulisannya. Dan diantara tulisannya ada yang membuat hatiku terbakar, yaitu kalau dia sedang berbicara (menulis) tentang Tuhan dan agama. Dari aroma tulisannuya (tentang agama dan cinta) tercium bau tak sedap dihidungku. Tulisannya sangat cair. Dia bilang Tuhan itu satu, hanya penyebutannya saja yang berbeda. Tapi tetap saja maksudnya satu. Ah, sok tahu dikau, Dwita!
Lalu mengenai agama, dia bilang agama itukan menebar kasih sayang, cinta kasih. Lalu kenapa saling menjelek-jelekkan antar pemeluk agama. Bahkan sampai meneror, dan harus jadi teroris. Dan kawin beda agama, mengapa dipersoalkan. Toh kita hidup di alam Indonesia, yang menjunjung semboyan Bhineka Tunggal Ika. Biarkan saja!
Film itu pada akhirnya ditarik dari peredaran setelah komunitas Minangkabau protes keras. Masak orang minang yang kental agama Islamnya, dicairkan dengan cara menokohkan peran wanita asal minang yang beragama Katolik yang sedang jatuh cinta dengan cowok jawa beragama Islam. Ada-ada saja. Ya, memang bisa saja itu ada dalam kehidupan nyata. Tapi itu untuk kalangan keluarga yang tidak kokoh sendi agamanya.
Bahkan kalau kita cermati, ada keluarga yang bangga mengatakan bahwa keluarganya menerapkan azas Bhineka Tunggal Ika. Artinya, ada menantu yang beragama Islam, ada yang Kristen, ada yang Katolik. Mereka berprinsip semua agama baik kok. Tanda-tanda zaman edan. Masya Allah.
Terus terang waktu SMA dulu, aku nyaris jatuh cinta dengan cewek manis yang beda agama. Pernah pula nyaris merajut cinta dengan beda etnis. Tapi buru-buru kukatakan TIDAK! Karena sudah kuperkirakan bakal menuai onak di kemudian hari. Dan terbukti kini, hidup berumah tangga yang seagama saja musti berhadapan dengan berbagai perbedaan selera, antara suami dan istri. Istriku senang musik dangdut. Aku suka musik Rock! Apalagi ini perbedaan agama. Makanya kunasehatkan kepada anak-anak remaja (ABG) yang sedang jatuh cinta. Carilah yang seagama. Ok, mas Bro?
Sebelum mengatakan cinta, selidiki dulu apa agamanya tuh cewek/cowok! Kalau sudah tahu beda agama, segera PUTUSKAN (maksudnya putusin sinyal cinta kalian!) jangan coba-coba untuk memaksakan cinta tapi beda. Sungguh sangat riskan.Sebab kalau terus dilanjutkan hanya tiga pilihannya, satu.) kalau tidak kekasihmu yang masuk Islam, dua.) kau yang murtad! Atau pilihan yang; ketiga.), akhirnya kawin di catatan sipil, dengan tetap memeluk agama masing-masing. Kemudian setelah punya anak, siap bersitegang deh, saling mempengaruhi anak untuk memeluk agama papanya atau mamanya. Kasihan anak-anak.
Ingat ini kawan, "Laakum dinukum waliyadin" (QS Al kafiiruun: 6) yang artinya "Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku". Nah itu resep jitu yang disampaikan Allah kepada kita, kaum muslimin.Tuhan itu satu, dan hanya Allah. Bukan yang lain (walau beda nama/sebutan atau panggilan)! The one and only, Allah Swt. Oke?
Wahai anak muda, jangan paksakan untuk jatuh Cinta tapi Beda agama. Nanti bisa rusak keimananmu!
Wassalam,
SangPenging@T
Selasa, Januari 08, 2013
Kesabaran
Kata "sabar" baru kutahu maknanya yang sesungguhnya, beberapa hari belakangan ini. Selama ini kemana, memangnya? Ya sering sih mondar-mandir si "sabar" di depanku. Tapi tanpa kutahu apa makna yang tersirat dari kata "sabar" itu.
Mungkin faktor usia dan pengalaman hidup yang panjang, yang membuatku semakin mengerti dan paham betul apa itu yang dimaksud dengan "sabar". Konon sabar itu seluas langit tak bertepi (kata pak Quraish Shihab, lho). Jadi sabar itu tak ada batasnya dan tidak mungkin habis. Ah, bukannya kita sering mendengar orang marah sambil teriak, "Huh, kesabaranku sudah habis!"
Aku mendapat pelajaran yang berharga tentang "kesabaran" kemarin, Senin 7 Januari 2013. Motor bebekku Honda Astrea 800 keluaran pabrik th 1983 (si Jadul), ngadat. Ini disebabkan seminggu yang lalu si"Jadul" dibawa anakku, nekad menerabas banjir setinggi 35cm, lebih sedikit. Blebeg-blebeg, lalu mesinnya pun mati di tengah banjir, menjelang tengah malam, di jalan raya Kapuk. Akibatnya si Jadul bermalam di parkiran minimart SEVen-ELeven. Esok paginya dibawa ke bengkel motor "abal-abal" di pinggir jalan Terusan Bandengan. Ternyata servisnya asal-asalan. Maksudnya asal motor bisa hidup, beres!
Akibat servis asal-asalan itu, mesin motor suaranya merengek-rengek, seperti kambing mau disembelih. Menyiksa kuping. Tarikan mesin terasa berat. Bensinnya jadi boros! Akhirnya kubawa si Jadul ke bengkel resmi Honda. Tiga bengkel resmi Honda kusambangi, namun penuh semua.
Setelah kupikir-pikir akhirnya kuputuskan diservis di bengkel Honda langganan yang di dekat rumah saja, meski penuh juga. Mau tidak mau aku harus menunggu giliran servis. Nah, pelajaran kesabaran yang kumaksud ini. Para montir itu, walau banyak pelanggan. Mereka bekerja dengan cekatan. Tenang dan sabar, tidak grusa-grusu. Dengan teliti karburator motor dibongkar dan dibersihkan. Kabel listrik motor dicek, dst.
Dan pelanggan pun menyadari, servis motor tidak bisa dikejar-kejar. Sebab jika diburu-buru hasil servis jadi asal-asalan, tidak maksimal. Karenanya kita jarang mendengar ada pelanggan yang berteriak,"Woi, servisnya cepatan dong!".
Nah, ternyata sabar itu menyejukkan. Kuncinya adalah kita tahu sama tahu. Artinya; pertama.) Montir tahu, harus dengan sabar dan teliti menyervis motor. Sabar bukan berarti dilambat-lambatkan. Mereka bekerja sesuai prosedur, menurut waktu yang sudah diperkirakannya. Tidak terpengaruh oleh raut muka ketidaksabaran pelanggan.
Kedua.) Kita sebagai pelanggan (konsumen) pun hendaknya tahu diri. Dan harus pandai memperkirakan waktu yang semestinya kita sediakan untuk menunggu antrian dan waktu yang dihabiskan untuk menunggu motor diservis hingga beres. Tanpa ini semua, mustahil kata "sabar" merasuk di sanubari kita. Tanpa kesabaran, yang ada hanyalah kita bolak-balik melihat jam tangan dan jam dinding di bengkel itu. Sambil terus ngedumel,"lama bener nih montir kerjanya!" Dampaknya bisa menaikkan tensi si montir.
Begitu juga ketika menghadapi suami, istri atau anak-anak. Wuh, kalau nggak sabar bisa hancur biduk rumah tangga. Menghadapi istri yang cerewetnya minta ampun. Menghadapi suami yang galaknya, lebih galak dari buldog. Atau menghadapi rengekan anak-anak yang tak kenal waktu, dan nggak mau tahu bahwa ini tanggal tua. Bikin kepala pusing tujuh keliling, kalau tidak dihadapi dengan "kesabaran". Betul?
Apalagi ketika menghadapi cobaan hidup dari Tuhan. Hmm, kalau tidak sabar bisa habis terbakar tubuh ini di dalam neraka! Kok bisa? Ya bisalah, apabila anda terkena musibah, lalu Anda marah-marah sama Tuhan. Bahkan sampai melontarkan sumpah serapah. Ih, berani nian kau! Kemarahan kita bisa menuai azab Ilahi.
Sesudah ditimpa musibah itu, lalu jadi malas shalat, malas ke masjid (ah, nggak ada masalah juga nggak ke masjid kok! Apalagi ada masalah? maaf bukannya menuduh loh, hehehe...). Ada masalah/musibah bukannya semakin tekun shalatnya, eh malah asyik terus merenungi nasib yang lagi dirundung sial. Akibatnya? Dengan Allah jadi semakin jauuuuh! Apalagi surga? wow tambah jauuuh dari harapan bisa memasukinya. Dan ingat, setan semakin senang melihat manusia macam ini! Jadi temannya di neraka!
Manusia hidup tidak mungkin tanpa masalah. Bahkan bisa jadi sejak dalam kandungan seorang bayi sudah menimbulkan masalah. Posisinya sungsang, misalkan. Kehamilan itu normalnya sembilan bulan lebih beberapa hari. Dan itu harus dijalani dengan kesabaran luar biasa oleh seorang (calon) ibu. Apa ada ibu yang nggak sabaran menunggu sembilan bulan. Lalu dia pergi ke dokter kandungan minta segera bayinya dilahirkan, padahal usia kandungan baru 6 bulan. Wah, apa kata dunia! eh, memangnya iklan bayar pajak?
Menghadapi permasalahan hidup dengan sabar jadi terasa betul nikmatnya, kalau kita ikhlas menjalaninya. Sambil terus berikhtiar meminta pertolongan kepada Allah. Caranya? dengan sabar dan shalat.
Dan ini sekaligus membuktikan bahwa; "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS: Al Baqarah 153)
Wassalam,
Sang Penging@T!
Mungkin faktor usia dan pengalaman hidup yang panjang, yang membuatku semakin mengerti dan paham betul apa itu yang dimaksud dengan "sabar". Konon sabar itu seluas langit tak bertepi (kata pak Quraish Shihab, lho). Jadi sabar itu tak ada batasnya dan tidak mungkin habis. Ah, bukannya kita sering mendengar orang marah sambil teriak, "Huh, kesabaranku sudah habis!"
Aku mendapat pelajaran yang berharga tentang "kesabaran" kemarin, Senin 7 Januari 2013. Motor bebekku Honda Astrea 800 keluaran pabrik th 1983 (si Jadul), ngadat. Ini disebabkan seminggu yang lalu si"Jadul" dibawa anakku, nekad menerabas banjir setinggi 35cm, lebih sedikit. Blebeg-blebeg, lalu mesinnya pun mati di tengah banjir, menjelang tengah malam, di jalan raya Kapuk. Akibatnya si Jadul bermalam di parkiran minimart SEVen-ELeven. Esok paginya dibawa ke bengkel motor "abal-abal" di pinggir jalan Terusan Bandengan. Ternyata servisnya asal-asalan. Maksudnya asal motor bisa hidup, beres!
Akibat servis asal-asalan itu, mesin motor suaranya merengek-rengek, seperti kambing mau disembelih. Menyiksa kuping. Tarikan mesin terasa berat. Bensinnya jadi boros! Akhirnya kubawa si Jadul ke bengkel resmi Honda. Tiga bengkel resmi Honda kusambangi, namun penuh semua.
Setelah kupikir-pikir akhirnya kuputuskan diservis di bengkel Honda langganan yang di dekat rumah saja, meski penuh juga. Mau tidak mau aku harus menunggu giliran servis. Nah, pelajaran kesabaran yang kumaksud ini. Para montir itu, walau banyak pelanggan. Mereka bekerja dengan cekatan. Tenang dan sabar, tidak grusa-grusu. Dengan teliti karburator motor dibongkar dan dibersihkan. Kabel listrik motor dicek, dst.
Dan pelanggan pun menyadari, servis motor tidak bisa dikejar-kejar. Sebab jika diburu-buru hasil servis jadi asal-asalan, tidak maksimal. Karenanya kita jarang mendengar ada pelanggan yang berteriak,"Woi, servisnya cepatan dong!".
Nah, ternyata sabar itu menyejukkan. Kuncinya adalah kita tahu sama tahu. Artinya; pertama.) Montir tahu, harus dengan sabar dan teliti menyervis motor. Sabar bukan berarti dilambat-lambatkan. Mereka bekerja sesuai prosedur, menurut waktu yang sudah diperkirakannya. Tidak terpengaruh oleh raut muka ketidaksabaran pelanggan.
Kedua.) Kita sebagai pelanggan (konsumen) pun hendaknya tahu diri. Dan harus pandai memperkirakan waktu yang semestinya kita sediakan untuk menunggu antrian dan waktu yang dihabiskan untuk menunggu motor diservis hingga beres. Tanpa ini semua, mustahil kata "sabar" merasuk di sanubari kita. Tanpa kesabaran, yang ada hanyalah kita bolak-balik melihat jam tangan dan jam dinding di bengkel itu. Sambil terus ngedumel,"lama bener nih montir kerjanya!" Dampaknya bisa menaikkan tensi si montir.
Begitu juga ketika menghadapi suami, istri atau anak-anak. Wuh, kalau nggak sabar bisa hancur biduk rumah tangga. Menghadapi istri yang cerewetnya minta ampun. Menghadapi suami yang galaknya, lebih galak dari buldog. Atau menghadapi rengekan anak-anak yang tak kenal waktu, dan nggak mau tahu bahwa ini tanggal tua. Bikin kepala pusing tujuh keliling, kalau tidak dihadapi dengan "kesabaran". Betul?
Apalagi ketika menghadapi cobaan hidup dari Tuhan. Hmm, kalau tidak sabar bisa habis terbakar tubuh ini di dalam neraka! Kok bisa? Ya bisalah, apabila anda terkena musibah, lalu Anda marah-marah sama Tuhan. Bahkan sampai melontarkan sumpah serapah. Ih, berani nian kau! Kemarahan kita bisa menuai azab Ilahi.
Sesudah ditimpa musibah itu, lalu jadi malas shalat, malas ke masjid (ah, nggak ada masalah juga nggak ke masjid kok! Apalagi ada masalah? maaf bukannya menuduh loh, hehehe...). Ada masalah/musibah bukannya semakin tekun shalatnya, eh malah asyik terus merenungi nasib yang lagi dirundung sial. Akibatnya? Dengan Allah jadi semakin jauuuuh! Apalagi surga? wow tambah jauuuh dari harapan bisa memasukinya. Dan ingat, setan semakin senang melihat manusia macam ini! Jadi temannya di neraka!
Manusia hidup tidak mungkin tanpa masalah. Bahkan bisa jadi sejak dalam kandungan seorang bayi sudah menimbulkan masalah. Posisinya sungsang, misalkan. Kehamilan itu normalnya sembilan bulan lebih beberapa hari. Dan itu harus dijalani dengan kesabaran luar biasa oleh seorang (calon) ibu. Apa ada ibu yang nggak sabaran menunggu sembilan bulan. Lalu dia pergi ke dokter kandungan minta segera bayinya dilahirkan, padahal usia kandungan baru 6 bulan. Wah, apa kata dunia! eh, memangnya iklan bayar pajak?
Menghadapi permasalahan hidup dengan sabar jadi terasa betul nikmatnya, kalau kita ikhlas menjalaninya. Sambil terus berikhtiar meminta pertolongan kepada Allah. Caranya? dengan sabar dan shalat.
Dan ini sekaligus membuktikan bahwa; "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS: Al Baqarah 153)
Wassalam,
Sang Penging@T!
Senin, Januari 07, 2013
Anakku, bagaimana ini bisa terjadi?
Siapa yang tidak sedih, gundah gulana, jengkel dan marah? Sebagai orangtua, ketika mendengar kabar buruk yang berkaitan dengan anak kita. Kabar apa itu? Ya macam-macam, diantaranya kabar tentang ulah mereka yang bersentuhan dengan pelanggaran hukum atau yang menyangkut nyawa orang lain.
Tanpa memandang apa pun kedudukan kita sebagai orangtua, mau dari kasta terendah sampai kasta tertinggi. Eh, memangnya di Indonesia masih ada kasta apa? Nggak ada sih, tapi kalau dilihat dengan mata kepala sendiri dan dirasakan dalam hati, sepertinya kok ada ya. Sebutannya sih bukan "kasta", sudah bermetamorfose dengan istilah "status sosial".
Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, hari-hari belakangan ini hatinya merasa tak nyaman. Masalahnya, Rasyid, putra bungsunya yang berusia 21 tahun terlibat kecelakaan mobil di Tol Jagorawi Km 3+350 arah Bogor pada hari selasa, tanggal 1 Januari 2013. Kecelakaan itu diakibatkan Rasyid mengantuk, sehingga mobil BMW X5 (seharga 1milyard lebih) yang dikemudikannya menabrak Daihatsu Luxio di depannya. Dua korban tewas (salah satu korban adalah bayi) dan tiga luka-luka. Sungguh mengenaskan.
Masih ingat kasus Afriyani (29) "Xenia maut", yang menabrak sembilan orang pejalan kaki yang baru pulang habis berolahraga di Monas, hingga tewas. Kecelakaan itu terjadi tanggal 22 Januari 2012. Lalu peristiwa tanggal 12 Desember 2012, Andhika (25, bukan mantan vocalis Kangen Band, lho) yang mengendarai Nissan Grand Livina menabrak warung pecel lele. Menewaskan dua orang yang sedang makan di warung itu.
Bisa kita bayangkan, kalau kecelakaan lalu lintas serupa itu menimpa (anak) kita? Ya, tentulah kita tidak berharap.Amit-amit. Tetapi jika kita mengalaminya, sebagai orangtua pastilah hati ini merasa remuk. Ikut tersiksa, seperti apa yang dirasakan anak kita, bukan? Kacau balau pikiran kita. Niscaya pertanyaan "Kok bisa, itu terjadi Nak?" spontan terlontar dari mulut kita, sebagai orangtuanya (pengendara mobil maut itu). Nauzubilah.
Al Qur'an telah mengajarkan kepada kita, sebagai seorang muslim, ketika kita tertimpa musibah hendaknya segera mengucapkan kalimat: "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" yang artinya, Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali (QS Al Baqarah:155-157). Tujuannya? agar hati kita tenang dan semoga mendapat petunjuk terbaik dari Tuhan untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa kita.
Sebagai anak seorang mantan pejabat (tiga tingkat di bawah jabatan ayahnya Rasyid), aku pernah pula membuat bapakku nyaris naik pitam. Tetapi tidak jadi, karena mungkin melihat wajahku yang pucat pasi. Kejadiannya sekitar tahun 1980-an yaitu sewaktu aku menabrak stoomwales yang sedang parkir manis di dekat tikungan di jalan komplek perumahan tempat tinggalku. Akibatnya pintu kanan belakang, sedan dinas bapakku (Holden, Kingswood) yang mulus melesak ke dalam (penyok abis). Untung tidak ada korban jiwa, dan stoomwales yang kutabrak tetap gagah ditempatnya tak bergeser barang se-inchi-pun, dan tidak penyok sama sekali. Ya iyalah, masak ya iya dong, stoomwales gitu loh!
Terus terang aku mewanti-wanti anakku agar berhati-hati di jalan raya. Untuk menghilangkan rasa was-was, aku pasrahkan kepada Allah. Sebab aku tak punya kuasa mengontrol dia ketika berkendara. Hanya doa yang bisa kupanjatkan. Tentu demikian juga pembaca hendaknya.
Ternyata mobil, motor, dan jalan raya (plus kecerobohan kita) bisa berubah menjadi malaikatul maut sewaktu-waktu. Waspadalah, kawan!
Yaa Rabb, hindarkan kami dari marabahaya di jalan raya. Mudahkan kami mengusir rasa ngantuk ketika sedang mengemudikan kendaraan. Aamiin...
Wassalam,
SangPenging@T!
Tanpa memandang apa pun kedudukan kita sebagai orangtua, mau dari kasta terendah sampai kasta tertinggi. Eh, memangnya di Indonesia masih ada kasta apa? Nggak ada sih, tapi kalau dilihat dengan mata kepala sendiri dan dirasakan dalam hati, sepertinya kok ada ya. Sebutannya sih bukan "kasta", sudah bermetamorfose dengan istilah "status sosial".
Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, hari-hari belakangan ini hatinya merasa tak nyaman. Masalahnya, Rasyid, putra bungsunya yang berusia 21 tahun terlibat kecelakaan mobil di Tol Jagorawi Km 3+350 arah Bogor pada hari selasa, tanggal 1 Januari 2013. Kecelakaan itu diakibatkan Rasyid mengantuk, sehingga mobil BMW X5 (seharga 1milyard lebih) yang dikemudikannya menabrak Daihatsu Luxio di depannya. Dua korban tewas (salah satu korban adalah bayi) dan tiga luka-luka. Sungguh mengenaskan.
Masih ingat kasus Afriyani (29) "Xenia maut", yang menabrak sembilan orang pejalan kaki yang baru pulang habis berolahraga di Monas, hingga tewas. Kecelakaan itu terjadi tanggal 22 Januari 2012. Lalu peristiwa tanggal 12 Desember 2012, Andhika (25, bukan mantan vocalis Kangen Band, lho) yang mengendarai Nissan Grand Livina menabrak warung pecel lele. Menewaskan dua orang yang sedang makan di warung itu.
Bisa kita bayangkan, kalau kecelakaan lalu lintas serupa itu menimpa (anak) kita? Ya, tentulah kita tidak berharap.Amit-amit. Tetapi jika kita mengalaminya, sebagai orangtua pastilah hati ini merasa remuk. Ikut tersiksa, seperti apa yang dirasakan anak kita, bukan? Kacau balau pikiran kita. Niscaya pertanyaan "Kok bisa, itu terjadi Nak?" spontan terlontar dari mulut kita, sebagai orangtuanya (pengendara mobil maut itu). Nauzubilah.
Al Qur'an telah mengajarkan kepada kita, sebagai seorang muslim, ketika kita tertimpa musibah hendaknya segera mengucapkan kalimat: "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" yang artinya, Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali (QS Al Baqarah:155-157). Tujuannya? agar hati kita tenang dan semoga mendapat petunjuk terbaik dari Tuhan untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa kita.
Sebagai anak seorang mantan pejabat (tiga tingkat di bawah jabatan ayahnya Rasyid), aku pernah pula membuat bapakku nyaris naik pitam. Tetapi tidak jadi, karena mungkin melihat wajahku yang pucat pasi. Kejadiannya sekitar tahun 1980-an yaitu sewaktu aku menabrak stoomwales yang sedang parkir manis di dekat tikungan di jalan komplek perumahan tempat tinggalku. Akibatnya pintu kanan belakang, sedan dinas bapakku (Holden, Kingswood) yang mulus melesak ke dalam (penyok abis). Untung tidak ada korban jiwa, dan stoomwales yang kutabrak tetap gagah ditempatnya tak bergeser barang se-inchi-pun, dan tidak penyok sama sekali. Ya iyalah, masak ya iya dong, stoomwales gitu loh!
Terus terang aku mewanti-wanti anakku agar berhati-hati di jalan raya. Untuk menghilangkan rasa was-was, aku pasrahkan kepada Allah. Sebab aku tak punya kuasa mengontrol dia ketika berkendara. Hanya doa yang bisa kupanjatkan. Tentu demikian juga pembaca hendaknya.
Ternyata mobil, motor, dan jalan raya (plus kecerobohan kita) bisa berubah menjadi malaikatul maut sewaktu-waktu. Waspadalah, kawan!
Yaa Rabb, hindarkan kami dari marabahaya di jalan raya. Mudahkan kami mengusir rasa ngantuk ketika sedang mengemudikan kendaraan. Aamiin...
Wassalam,
SangPenging@T!
Selasa, Januari 01, 2013
Tahun 2013
Apa arti tahun baru? Tentu punya arti yang berbeda bagi setiap orang. Ada yang mirip, boleh saja. Tidak dilarang. Toh manusia, lazimnya senang mengikuti mode, agar tidak dikatakan kuno (ketinggalan zaman). Dan sebagian besar lebih suka copy-paste. Demi kepraktisan dan tidak suka merepotkan diri. Apalagi berpikir keras. Hitung-hitung meringankan beban otak.
Oh ya? apa betul begitu. Hmm, itu terserah pendapat Anda. Aku tidak ingin memaksakan pendapat. Aku tidak ingin menjadi diktator bagi pikiran Anda.
Di malam tahun baru 2013, seperti biasa aku belum bisa menikmatinya di luar negeri. Konon di luar negeri sambutannya sangat meriah. Kembang apinya beraneka ragam variasinya. Spektakuler!
Walau sekedar menghabiskan malam tahun baru di halaman rumah. Tetapi tahun ini yang kurasakan, sungguh berbeda. Menakjubkan. Kemeriahan kembang api di langit sekitar tempat tinggalku, kurasa tak kalah gempitanya dengan suasana pesta kembang api di pantai Ancol.
Orang-orang di sekitar tempat tinggalku, sudah banyak yang makmur rupanya. Mereka tidak sayang membakar uang. Toh hanya setahun sekali, mereka pikir. Pertanyaanku, apakah kembang api yang berwarna-warni menghias langit malam tahun baru 2013 itu, cukup bernilai di hadapan Allah?
Sepertinya kok tidak tuh! Heh, kenapa kembang api dikait-kaitkan dengan Tuhan? Mungkin begitu pertanyaan Anda. It's Ok, no problem. Tapi justru disinilah permasalahan yang ingin kuangkat dalam tulisan ini.
Menurutku, kembang api itu hanya menguntungkan pabrik kembang api. Hanya memuaskan mata, sesaat. Nilai pahalanya, sedikit. Bahkan mungkin NOL. Lho, lho, loh... kok penulis yang jadi seperti Tuhan, begitu? Pakai ngomong pahala, segala! Bukankah pahala itu haknya Allah? mungkin begitu protes Anda. Ya betul! Itu memang hak mutlak Allah Swt.
Tetapi coba pikirkan dalam-dalam, apakah membelanjakan harta untuk membeli kembang api itu termasuk dalam kategori membelanjakan harta di jalan Allah? Hayo jawab!
Baik, mungkin ada yang berpendapat, hitung-hitung bagi-bagi rezeki sama pabrik yang bikin kembang api. Bukankah pabrik kembang api, para buruhnya menghendaki bonus akhir tahun. Jika penjualan kembang api laris manis, syukur-syukur bisa merembet kepada naiknya bonus akhir tahun dong.
Namun terus terang hati ini merasa prihatin, melihat orang-orang kaya itu atau mungkin juga orang yang pas-pasan (artinya pas malam tahun baru pas punya duit banyak) membelanjakan uangnya membabi-buta untuk membeli kembang api. Dananya jauh lebih besar ketimbang harta yang disisihkan (diberikan) untuk anak-anak yatim-piatu, kaum dhuafa dan janda-janda miskin. Yang memang ada hak mereka, di sebagian harta yang kita punya.
Dan apakah pemerintah sudah mengkalkulasi dengan cermat berapa juta biaya yang dihamburkan untuk membeli kembang api, dan berapa dana yang dialokasikan untuk menyantuni fakir miskin. Sudah sepadankah?
Wassalam,
SangPenging@T!
Oh ya? apa betul begitu. Hmm, itu terserah pendapat Anda. Aku tidak ingin memaksakan pendapat. Aku tidak ingin menjadi diktator bagi pikiran Anda.
Di malam tahun baru 2013, seperti biasa aku belum bisa menikmatinya di luar negeri. Konon di luar negeri sambutannya sangat meriah. Kembang apinya beraneka ragam variasinya. Spektakuler!
Walau sekedar menghabiskan malam tahun baru di halaman rumah. Tetapi tahun ini yang kurasakan, sungguh berbeda. Menakjubkan. Kemeriahan kembang api di langit sekitar tempat tinggalku, kurasa tak kalah gempitanya dengan suasana pesta kembang api di pantai Ancol.
Orang-orang di sekitar tempat tinggalku, sudah banyak yang makmur rupanya. Mereka tidak sayang membakar uang. Toh hanya setahun sekali, mereka pikir. Pertanyaanku, apakah kembang api yang berwarna-warni menghias langit malam tahun baru 2013 itu, cukup bernilai di hadapan Allah?
Sepertinya kok tidak tuh! Heh, kenapa kembang api dikait-kaitkan dengan Tuhan? Mungkin begitu pertanyaan Anda. It's Ok, no problem. Tapi justru disinilah permasalahan yang ingin kuangkat dalam tulisan ini.
Menurutku, kembang api itu hanya menguntungkan pabrik kembang api. Hanya memuaskan mata, sesaat. Nilai pahalanya, sedikit. Bahkan mungkin NOL. Lho, lho, loh... kok penulis yang jadi seperti Tuhan, begitu? Pakai ngomong pahala, segala! Bukankah pahala itu haknya Allah? mungkin begitu protes Anda. Ya betul! Itu memang hak mutlak Allah Swt.
Tetapi coba pikirkan dalam-dalam, apakah membelanjakan harta untuk membeli kembang api itu termasuk dalam kategori membelanjakan harta di jalan Allah? Hayo jawab!
Baik, mungkin ada yang berpendapat, hitung-hitung bagi-bagi rezeki sama pabrik yang bikin kembang api. Bukankah pabrik kembang api, para buruhnya menghendaki bonus akhir tahun. Jika penjualan kembang api laris manis, syukur-syukur bisa merembet kepada naiknya bonus akhir tahun dong.
Namun terus terang hati ini merasa prihatin, melihat orang-orang kaya itu atau mungkin juga orang yang pas-pasan (artinya pas malam tahun baru pas punya duit banyak) membelanjakan uangnya membabi-buta untuk membeli kembang api. Dananya jauh lebih besar ketimbang harta yang disisihkan (diberikan) untuk anak-anak yatim-piatu, kaum dhuafa dan janda-janda miskin. Yang memang ada hak mereka, di sebagian harta yang kita punya.
Dan apakah pemerintah sudah mengkalkulasi dengan cermat berapa juta biaya yang dihamburkan untuk membeli kembang api, dan berapa dana yang dialokasikan untuk menyantuni fakir miskin. Sudah sepadankah?
Wassalam,
SangPenging@T!
Langganan:
Postingan (Atom)