Namanya boleh jadi Mahdi, Madi atau Ahmadi. Tak pasti kutahu, sebab aku belum pernah memeriksa KTP-nya. Perilakunya shaleh, "sepertinya" tawadhu dan takwa. Ya begitulah tampak muka, samping atau belakang kalau orang melihat sosoknya. Kok ada kata "sepertinya" ketika menggambarkan tentang si Madi. Sebabnya soal penilaian "tawadhu dan taqwa" itu, menurutku hanya Allah yang bisa memastikannya.
Mungkin saja lebih baik kalau disebut dengan "pak" Madi. Tapi kok rasanya lebih pas ada kata "si" di depan namanya bukan "pak". Menurut "kasta" yang tak tampak nyata di depan mata, begitulah yang pas. Sebab sebutan "pak" itu lebih cocok untuk memanggil pak RT, pak RW atau pak- pak yang lain. Yang lebih tinggi sedikit derajatnya dari posisi si Madi tadi. Itupun kalau derajat diukur dari sisi penghasilan, pendidikan dan keturunan. Tapi kalau dari sisi ketaqwaan dan ketawadhuan kepada Sang Khalik, wow who knows? Bisa jadi si Madi lebih mulia disisi-Nya ketimbang kita yang konon merasa lebih bermartabat dibandingkan dengannya.
Shalat lima waktunya di masjid, selalu disempatkan. Kecuali kalau dia sedang sakit atau ada urusan penting, biasanya baru dia absen hadir di masjid. Kostumnya? wow kadang membuat mata terbelalak. Suka bikin kejutan. Mau serasi atau tidak, tak dipedulikannya.
Kepalanya kerap dibalut sorban, bak Kyai atau seorang "Sunan". Bajunya gamis. Kadang seperti kebesaran. Kadang pas dengan tubuhnya yang mungil. Makanya teman-teman karibnya di masjid sering menjuluki dia sebagai "Sunan Kalimati". Yakni sunan yang berasal dari Kalimati, tempat tinggalnya.
Kain yang dibalutkan di kopiah bulatnya (model kopiah haji), lebih suka yang berwarna merah. Merah adalah warna kebanggaaannya. Sebab ini mewakili partai pilihannya. PDI Perjuangan! Megawati adalah idolanya. Setiap bicara, dia ingin bertemu mbak Mega. Mau apa? ingin minta sumbangan yang pas buat ongkos naik haji.
Dalam hati kuberdoa, semoga dia segera berangkat haji, minimal umroh deh. Kalau Anda sempat bicara empat mata dengannya. Dan jika menurut dia, Anda sudah bisa diandalkan jadi tempat untuk curhat, pasti dia akan berujar "Mas, Ka'bah sepertinya sudah di depan mata saya! Rasanya saya tuh sudah shalat di depan Ka'bah. Hmm, nikmatnya luar biasa" dan biasanya selalu disertai dengan acungan jempolnya. ( Yach, kurang lebih begitulah irama kalimatnya, maaf aku tak hafal seratus persen apa yang dikatakannya).
Kira-kira lima tahun lalu profesinya adalah tukang sampah. Dengan gerobaknya dia setia mengangkuti sampah-sampah rumah tangga di komplek tempat tinggalku. Dan dia tekun mengorek sampah, memisahkan sampah plastik dengan sampah lainnya. Sampah botol plastik dijualnya, sebagai penghasilan tambahan. Itung-itung sambil menyelam minum air.
Kadang istrinya membantunya mendorong gerobak sampah itu. Biasanya pula anak-anaknya yang masih kecil ikut-ikutan mendorong. Ada pemandangan yang lucu tapi bikin hatiku miris. Suatu ketika aku melihat dia menarik gerobaknya yang sudah kosong dari sampah. Dan tiga anak-anaknya dia masukkan dalam gerobak itu. Ceria bukan kepalang anak-anaknya. Mereka tak peduli dengan gerobak kotor bekas sampah. Yang penting, mereka merasakan nikmatnya naik gerobak yang ditarik bapaknya.
Sesama tukang sampah, dialah yang paling taat beribadah. Kawan-kawannya malas mampir ke masjid. Dia sering memprihatinkan kawan-kawannya yang tak pernah shalat. Dia bilang, "sudah sengsara hidup di dunia, apa mau sengsara juga hidup di akhirat nanti?". Kata-katanya itu terdengar lirih, tapi sesungguhnya dahsyat.
Jelas penampilannya seratus delapan puluh derajat berbeda saat dia jadi tukang sampah. Dan ketika dia sedang menghadap Ilahi. Waktu memungut sampahpun diaturnya sedemikian rupa, agar tidak bentrok dengan jadwal shalatnya.
Suatu ketika aku bertanya, kenapa kok pensiun jadi tukang sampah? Anak-anaknya yang melarangnya, katanya. Istrinya juga melarang. Lagi pula, dia ingin lebih mendekatkan diri dengan Ilahi.
"Ya sudah saya pensiun saja!", katanya. Tidak perlu harus lapor gubernur DKI. Cukup lapor pak RT dan warga yang dipunguti sampahnya. Dan diapun sudah menyiapkan suksesi jabatan tukang sampah kepada temannya, yang juga tukang sampah.
Soal rezeki jangan kuatir, katanya. Betul juga dia sekarang sering bantu-bantu tukang sayur di pasar. Dia juga suka bersih-bersih masjid. Shalatnya semakin rajin. Anaknya yang sulung jadi kebanggaannya, kirimannya lumayan. Jadi TKW, di Malaysia.
Aku kadang tertegun, iri melihat ketaqwaannya. Selalu di baris terdepan berdampingan dengan mantan pejabat Depag, jika shalat subuh. Dalam hatiku bertanya, bisakah aku ikut mewujudkan mimpinya shalat di depan Ka'bah?
Wassalam,
SangPenging@T!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar