Adsense

Senin, Februari 25, 2013

Kotak

Apa pula maksud judul tulisanku ini? Cuma satu kata "Kotak". Ya betul, hanya itu. Memangnya kenapa? Masalah buat lu? Nggak sih, cuma bikin penasaran aja gitu.

Ah, jangan lu-gue, lu-gue ah. Terdengar kurang sopan. Oh ya? Pakailah kata "Anda", "Saudara", "Sahabat" atau "Mas, Mbak", "Pak, Bu", kek? Iya ya betul juga kupikir, kata kau itu bah!

Kau ini mau nulis tentang band Kotak? Asyik juga nih sekali-kali membahas soal musik. Sorry, aku tidak ingin menulis tentang musik. Kalau mendengarkan musik rock band "Kotak" sih aku suka. Tapi nulis soal musik, ah aku kurang paham betul tentang musik. Takut nada-nadanya tidak harmonis, nanti tulisannya terdengar sumbang. Dan jika dibaca, dikhawatirkan bisa merusak rasa seni Anda. Hehe he...

Maksudku begini, kita ini tanpa terasa kadang berpikir dan bertindak seakan-akan berada dalam suatu kotak. Kotak suara? Oh, bukan.

Kita tanpa disadari sedang berada dalam suatu kotak cara berpikir. Cara memandang, merasa dan melihat. Dan manusia yang hebat adalah yang bisa menembus kotak-kotak itu. Yang kumaksud kotak adalah "kotak" imajiner. Kotak semu. Kotak bayangan cara berpikir, berperasaan. Lebih pasnya "Kotak cara Menilai".

Kotak yang terbentuk dalam benak pikiran dan perasaan kita adalah kotak yang disesuaikan dengan seberapa luas jangkauan pikiran yang ada di dalam kepala kita. Dan seberapa luas perasaan yang ada dalam hati kita.

Orang yang berpikir dalam kotak yang sempit. Membuat dunia ini serasa sempit. Menjepit. Tak bebas bergerak. Betapa menyiksanya.

Shalat dianggapnya menyita kebebasannya untuk menikmati waktu. Mengganggu keasyikan kerja. Perintah shalat subuh, dianggapnya mengganggu kenikmatan tidur di pagi hari nan sejuk. Sedekah dianggapnya hanya menguras isi kantongnya. Mendengarkan ceramah/tausyiah agama dirasa menyesakkan dadanya. Mereka menganggap berada dalam "kotak" Islam itu membelenggunya. Nauzubillah.

Padahal Islam itu ingin membebaskan umat manusia dari pengaruh jahat setan yang akan menjerumuskannya dalam "kotak" siksa neraka yang berkepanjangan tiada akhir.

Yuuk kita bongkar kotak-kotak yang menyekat cara berpikir dan berperasaan kita. Bebaskan diri kita dari kotak-kotak kemunafikan. Kotak kemusyrikan. Kotak cara berpikir sempit. Kotak iri, dengki.

Kotak-kotak itu semua hanya membatasi kita dari kebebasan berpikir. Apalagi kotak yang tertutup rapat. Hufh! hanya akan menutup rapat-rapat diri kita sendiri dari cahaya hidayah Ilahi.

Apabila kita mau dan mampu membongkar kotak-kotak itu, berarti kita sedang menuju jalan yang benar. Jalan pembebasan. Semoga Allah Swt memberi kekuatan kepada diri kita supaya sanggup membongkar bahkan mengenyahkan kotak-kotak belenggu itu!


Wassalam,
SangPenging@T!

Selasa, Februari 19, 2013

Misteri Kampung Kalimati

Jakarta adalah ibukota negara RI. Terbagi ke dalam lima wilayah, Barat, Timur, Utara, Selatan dan Pusat. Kota Jakarta bagai sebuah "kampung" kosmopolitan modern yang amat luas.

Aku tinggal di belahan Barat. Nama kampungku itu "Kalimati". Asal muasal nama kampung itu (mungkin) dulu karena ada "kali" (sungai kecil) yang airnya tidak mengalir alias "mati". Padahal sekarang juga airnya seperti tak mengalir, hehehe....Di kamus artinya "kalimati", adalah sungai yang sudah tidak ada airnya lagi.

Sedangkan penduduk asli kampung Kalimati "menerjemahkan" sebagai dulunya di sungai itu kerap dipakai untuk membuang orang mati. Hiii, serem.

Nama yang akrab disebut yakni daerah "Pesing". Mungkin dulu orang sering kencing di pinggir kali, ogah nyiramnya sehingga berbau pesing.

Gara-gara sekililing kampungku sudah diurug satu meter lebih dan dibangun perumahan serta kawasan gudang, maka sekarang ini jika hujan deras barang sejam saja, wuih sudah banjir bro! Tapi kucinta setengah mati, kampung Kalimati. Ogah pindah! Tapi kalau ada yang mau ngasih rumah di Pondok Indah, mau juga sih pindah. Hehehee...

Nama kelurahannya, Kedaung Kaliangke. Jika buka kamus, yang dimaksud dengan kata "Kedaung" itu adalah pohon kayu besar yang berbuah polong (seperti buah petai), dapat dibuat obat, bijinya berwarna hitam dan tidak berbau. Mungkin dulunya banyak tumbuh pohon Kedaung di kampung itu.

Dan arti dari "Kaliangke", adalah "kali" tempat membuang "bangke" (bangkai), mayat manusia. Korban dari kekejaman penjajah. Atau korban kekerasan seorang penjahat ("jagoan") atau penguasa zalim di masa silam.

Benar-benar nama yang membuat bulu kuduk merinding, ketika kutahu arti dan asal muasal nama kampungku itu. Aku tinggal di Kalimati, tepatnya di Komplek Perumahan Dep. Agama, sejak tahun 1980. Dan ketika kucermati setelah sejak lama tinggal disana, ada "sesuatu" yang terjadi hampir selalu begitu. Apakah "sesuatu" itu kebetulan? Yang jelas kematian itu sudah suratan takdir.

"Sesuatu" yang kumaksud itu adalah jika ada kabar kematian dari corong masjid, hampir selalu lebih dari satu. Dan selang waktunya tidak terlalu lama. Seolah-olah si mayat, "mengajak" pulang bersama-sama (ingin ditemani).

Contohnya, minggu lalu, tgl 15 februari 2013, hari Jumat sekitar pukul 14.30. Ada berita duka, pak RT 03 wafat mendadak ketika sedang mengikuti rapat di Kelurahan. Masya Allah, sorenya seorang ibu (warga RT 16) meninggal di rumah sakit, sekitar pukul 17.30 Wib. Karena sakit yang sudah lama dideritanya.


Pernah, dulu beberapa tahun yang lalu, ada seorang anggota dewan kelurahan meninggal (warga Kalimati juga). Selang tak beberapa lama, tersiar berita duka. Berturut-turut anggota keluarganya meninggal. Lebih dari tiga (jumlah pastinya kulupa, konon sekitar lima orang).

Sehingga ketika ada pengumuman duka dari Toa masjid Daarul Muttaqin, seperti ini "Berita duka cita, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, telah berpulang..." warga menyimaknya dengan seksama. Untuk kemudian di benak sebagian warga, terutama yang sudah sepuh/tua dan punya penyakit gawat (jantung, misalnya), terbersit kalimat, "Siapakah yang segera menyusul, berikutnya?"

Subhanallah, tak sampai satu jam setelah aku upload tulisan ini di blogspotku. Terdengar pengumuman duka. Baru saja ada yang meninggal lagi, seorang nenek. Believe it or not?

Dan biasanya setelah tiga pengumuman duka dengan waktu yang berdekatan (paling tidak sekitar seminggu), biasanya lama berita duka tak bergaung. Ini melegakan buat mereka yang sedang menderita sakit parah. Jantung, misalnya. Seperti yang sedang kualami saat ini. Jadi dag dig duk dong, kalau ada pengumuman duka dari masjid? So pasti bro!

Memang sih kematian tak perlu ditakuti, tapi yang wajib kita cemaskan adalah "Sudah cukupkah bekal kita untuk mati?"

Wassalam,
SangPenging@T!

Jumat, Februari 15, 2013

Nulis aja

Nulis apa? Ya tulis aja apa yang ada di kepala. Oh ya? ya iyalah masak nulis yang ada di kaki. Nulis itu ya apa yang ada di kepala. Lebih tepatnya yang ada di dalam otak, di pikiran. Yang ada di rasa juga boleh ditulis. Yah pokoknya tulis aja apa-apa yang harus disampaikan.

Bingung nih mo nulis apa? Busyet dah masih bingung juga, udah tulis, tulis! Takut gak ada yang baca, gak ada yang kasih koment. Lehh, memangnya selama ini ente yakin tulisan ente ada yang baca. Sok yakin amat seh! Yang koment aja gak ada, apalagi yang baca? Udah gak usah dipikiran, ada yang baca atau nggak! Yang penting tuh tulis, tulis tuliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis aja, titik! Memangnya kenapa sih lu gitu ngotot, gue suruh nulis?

Sebab kalau ditulis itu, ada sesuatu yang bisa dibaca dan dikenang kalo elo udah mati. Ih, serem banget! Lha, memangnya ente nggak kepingin mati? Yaaa, gitu deh. Ya tapi jangan sekarang dong, ane belum jadi orang beneran nih. Maksud loh?

Maksudnya orang bener itu orang yang bisa bermanfaat buat orang buanyaak gitu. Oh itu tho? ya udah makanya nulis, siapa tahu tulisan ente bisa bermanfaat buat orang. Nggak usah dipikirin deh banyaknya. Satu orang aja yang tersentuh, termotivasi dengan tulisan lu, berarti tulisan ente itu bermanfaat. Dan karena yang nulis ente, sama saja artinya ente sudah bermanfaat. Begono! eh, begitu!

Oh gitu toh? iya. Makanya nulis, nuliiiiiiiiiiiss! Lha memangnya sekarang bukannya gue udah nulis? Oh iya yaaa... oke lanjutkan!

Oke ane lanjutin. Tapi mau nulis apa ya? yaaaah, dia nanya lagi, capek deh!!!

Betul juga kupikir kata temanku di dalam hatiku itu. Menulis itu bermanfaat. Karena sebuah "tulisan" itu bisa dikenang lama, apalagi kemudian dicetak, lalu dijadikan sebuah buku. Dibeli orang, dibaca, dibagikan, disebarkan. Oh, betapa indahnya.

Sebuah ide kalau hanya disimpan di kepala, dibayang-bayangkan saja, tak ada faedahnya. Tidak berpahala. Itu artinya sama saja menyia-nyiakan apa yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita. Yuuk nulis yuuk. Nulis apa ya? Ah, bodo ah... dibilang suruh nulis aja! pake nanya lagi... hehehe

Wassalam,
SangPenging@T!


Kamis, Februari 14, 2013

Kalau Sudah Tua Renta

Mengamati para pengunjung masjid,  menimbulkan berbagai macam kesan di benak pikiranku. Umumnya orang ke masjid tujuannya ya untuk shalat. Tapi belum tentu mereka ke masjid hanya untuk shalat. Motivasi ke masjid pun, jika ditulis bisa berderet panjang.

Motivasi orang ke masjid itu macam-macam. Ada yang tulus dari hati yang paling dalam, niatnya mencari ridho Allah. Ada yang ke masjid ingin belajar mengaji. Ingin i'tikaf, agar lebih khusuk beribadah.

Ada yang ke masjid (terpaksa) karena diperintah sama bapaknya. Ada yang ke masjid supaya dibilang mantu yang shaleh. Ada yang ke masjid niatnya untuk menukar sandal butut dengan sandal baru. Ada yang ke masjid untuk istirahat, tidur sejenak.

Aku mengamati pengunjung masjid di dekat rumahku, jika aku punya waktu senggang saja. Dan hasilnya aku tulis disini.

Jamaah masjid Darul Muttaqin, mulai dari anak-anak sampai kakek nenek. Biasanya ketika shalat Magrib, baru semua kategori umur sepertinya hadir, pria dan wanita. Dan di waktu shalat Subuh paling hanya sebaris shaf depan yang penuh. Shaf baris kedua hanya terisi separuhnya. Yang hadir shalat subuh jarang sekali yang remaja ABeGe, kalau pun ada biasanya tak lebih dari sepuluh jari.

Paling menarik melihat bapak-bapak yang hadir di kala subuh. Ada yang jalannya tertatih-tatih bagai anak balita baru belajar jalan. Oh, ternyata jadi tua renta itu berarti harus siap jadi seperti anak-anak lagi. Dan jika berdiri, para bapak-bapak yang sudah sepuh itu, sepertinya sudah tidak bisa tegak lurus. Ada yang miring agak ke kiri, ada yang doyong ke kanan.

Lalu kalau diperhatikan dengan cermat. Satu persatu, bapak-bapak itu mulai tak kulihat batang hidungnya. Mungkin mereka merasa sudah kepayahan jika harus ke masjid. Sehingga shalatnya di rumah saja. Dan setelah sekian lama tidak bisa (berhalangan) hadir di masjid tatkala subuh,  tersiar kabar duka cita.

Menjadi tua berarti harus siap tidak bisa shalat lima waktu di masjid. Walau hati tetap ingin ke masjid. Usia yang menghalangi.

Setiap berangkat ke masjid sering pula kuamati para remaja yang nongkrong di warung pinggir jalan. Kadang ada juga yang bapak-bapak. Hati mereka tak tergetar mendengar suara adzan. Keasyikan ngobrol tak ingin mereka hentikan sejenak, untuk mengerjakan shalat. Bukankah mumpung masih muda, badan masih kuat berangkatlah ke masjid, wahai anak muda?

Kalau sudah tua renta bisa apa? Jika masih muda enggan shalat, jangan berharap nanti tua bisa rajin shalat. Sebab shalat itu kewajiban yang harus dibiasakan sejak usia dini.

Pernah kutanya kepada pria setengah tua, begini."Pak memangnya kalau sudah tua itu bisa bebas dari godaan setan?". Dijawab tegas olehnya, "Siapa yang bilang? justru semakin tua setannya semakin gila menggoda! Godaannya semakin banyak"

"Ya malas shalatlah, ya malas sedekahlah, ya malas ibadahlah!"

Ck, ck ck... ternyata setan menggoda di sepanjang usia manusia. Waspadalah, kawan!

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Februari 13, 2013

Pembunuh

Setiap orang bisa dicap sebagai pembunuh. Minimal pernah membunuh makhluk lemah. Apa? Gue dibilang pembunuh? Ih, nggak gue banget gitu loh! (sambil bibir dimonyongkan). Eits, jangan buru-buru marah. Maksudku pembunuh nyamuk, lalat dan semut. Betul?

Aku dibuat terhenyak ketika membuka halaman facebook hari ini, rabu 13 februari 2013. Ada status di CNN yang memberitakan tentang nasib tragis pembunuh Osama bin Laden, anggota tentara elit US Navi SEAL. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Esquire, sang penembak bertutur. Ia menembak tiga kali dahi pemimpin Al Qaeda itu dalam serangan Mei 2011, di kompleks Abbottabad, Pakistan.

Tetap dirahasiakan siapa saja para pembunuh itu. Namun mereka lambat laun mulai berkoar. Ada yang menulis buku . Ada pula yang minta pensiun awal, setelah bertugas selama 16 tahun d US Navi SEAL.

Dan ternyata kini prajurit "pahlawan" itu merasa hidupnya susah. Sebabnya, konon fasilitas pensiun hanya diberikan kepada mereka yang bertugas di Angkatan Laut setidak-tidaknya selama 20 tahun. Istrinya mengeluh, "Dia telah memberikan begitu banyak hal untuk negaranya, dan sekarang dia ditinggalkan dalam debu".

"Saya juga tidak merasa suami saya telah mendapatkan banyak untuk apa yang dia capai dalam kariernya," katanya. Ironisnya, hidup keluarganya lebih terjamin jika suaminya tewas dalam tugas. MasyaAllah.

Hidup keluarganya pun kini dihantui kecemasan tindakan balas dendam oleh orang-orang yang berpihak kepada Osama bin Laden, jika mengetahui siapa dirinya sebelum menjadi warga sipil biasa, seperti sekarang ini.

Yah, beginilah hidup. Ada saatnya dianggap sebagai pahlawan negara. Tetapi bukan tidak mungkin, suatu hari kelak diabaikan, terpinggirkan, tersingkir tak diperhatikan.

Bagai wayang yang dimainkan oleh dalang dalam pergelaran wayang. Ketika sudah tak punya peran, wayang segera dimasukkan kotak. Selesai!

Apakah memang manusia diciptakan untuk saling membunuh? Tidak! Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Bercocok tanam, berkarya, berkreasi dan bekerja. Lalu kok berperang, saling menembak dan membunuh? Ah, itu sih untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dari serangan musuh. Dan menegakkan harga diri. Oh ya?

Namun ingat! Tetap kita harus berterima kasih kepada para pahlawan, pejuang dan tentara yang telah mempersembahkan jiwa raganya dalam memperjuangkan kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Semboyan dahsyatnya  "Merdeka atau Mati!". Tersirat dari semboyan itu, bahwa kita harus jadi pembunuh. Betul?

Dan kini, di zaman pembangunan, kita harus jadi "pembunuh" kemalasan, kemandekan berpikir dan keengganan berkreasi.

Merdeka!

Wassalam,
Sang Penging@T!

Selasa, Februari 12, 2013

Derai Airmata

Kematian dan perceraian dua hal yang berbeda tapi ada persamaannya. Sama-sama bisa mengakibatkan tetesan airmata pada orang-orang yang saling mencintai.

Kematian orangtua, kekasih, kerabat dekat, sahabat atau pun buah hati kita sendiri, sanggup meletupkan derai airmata, meskipun hanya beberapa tetes. Bayangan kecerian, bahagia, suka dan duka berkelebatan di benak tatkala melihat yang telah menjadi bagian hidup kita itu, terbujur kaku di depan mata.

Begitu pula perceraian. Tetesan airmata buah cinta perkawinan, seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap episode perceraian sebuah rumah tangga. Apakah perceraian tak bisa dihindari?

Susah memang kalau sudah ada PIL dan WIL masuk dalam wilayah privasi rumah tangga kita. Pria dan wanita idaman lain adalah biang kerok keretakan rumah tangga. Dan tentu disamping itu "hawa nafsu" juga berperan penting!

Aku mengelus dada mendengar seorang kawan digugat cerai istrinya. Pekerjaannya memang tak menentu sekarang ini, penghasilannya sudah tentu tak pasti. Kulihat dia khusuk berdoa sehabis shalat magrib berjamaah. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit. Tangannya menengadah. Mungkinkah dia berdoa supaya cepat dapat jodoh yang lebih cantik dari istrinya dulu? Just kidding friend.

Aku berdoa dia segera terbebas dari prahara rumah tangganya. Dan cepat menemukan jodoh yang baik hati. Memang susah kawan, cari istri yang mau hidup susah. Umumnya wanita tersenyum manis, ketika dompet kita tebal. Dan (maaf) tersenyum sinis tatkala tahu dompet kita tipis pis.

Kematian memang tak bisa dielakkan. Tapi kupikir bisa ditunda dengan amal ibadah, amal kebaikan dan amal jariyah (sedekah). Iman dan taqwa yang kokoh bisa mengurungkan niat untuk bunuh diri, bukan? Nah, boleh jadi itu yang dinamakan menunda "perceraian" (berpisahnya) antara nyawa dan jasad kita. Ah, sudahlah kematian itu memang misteri. Kita pasti mati, tapi tak tahu kapan. Dan bisa jadi membatalkan niat untuk menerabas palang pintu kereta api yang sudah tertutup, sebuah penundaan kematian.

Dan ketika mendengar berita saudara sepupu meninggal beberapa tahun yang silam, menyentakkan kesadaranku bahwa hidup ini sebentar. Menunda ibadah, menunda shalat mau sampai kapan, kawan? Ketika tubuhnya sudah dibalut kain kafan, aku bertanya kepada angin, kepada awan bagaimana shalatnya selama hidupnya. Ah, tak ada jawab yang kuterima. Tapi kuberdoa semoga diterima amal ibadahnya selama hidupnya, diampuni segala dosanya.

Ibadah manusia itu, hanya Allah yang akan mengganjarnya. Yaa Rabb, jangan biarkan aku tenggelam dalam dosa. Kuingin meraih ridho-Mu sepanjang sisa umurku. Ampunilah dosa-dosaku. Aamiin...

Wassalam,
SangPenging@T!

Senin, Februari 11, 2013

Perjalanan Hidup

Hidup tidak hanya hari ini. Masih terus berjalan, selama hayat masih dikandung badan. Yang membuat hidup terasa berhenti adalah kemandekan berpikir. Matinya rasa. Apalagi sehabis putus cinta. Dunia serasa berhenti berputar.

Aku sering menatap langit. Aku senang melihat biru langit diimbuhi awan putih bersih saling tumpang tindih. Di masa kecil dulu, sehabis hujan langitku suka menghadirkan pelangi nan indah berwarna-warni. Bagai lukisan alam yang indah memukau. Menakjubkan. Tetapi sekarang kemana pelangi itu pergi?

Namun langitku bisa berubah menjadi menakutkan tatkala awan berwarna gelap bergulung-gulung. Semakin lama semakin menggelapkan suasana alam. Membuat hati jadi sendu. Pikiran galau serasa sukar dihalau, kalau langit menyuguhkan pemandangan yang menakutkan itu. Apalagi lalu hujan turun deras seakan tak ingin berhenti. Ah, sudah pasti banjir menghampiri tempat tinggalku.

Begitu pula perjalanan hidup manusia. Suka duka menghampiri, silih berganti. Langit cerah menggambarkan suka cita. Langit mendung mewakilkan duka cita.

Di masa silam, umumnya sejarah insan manusia diwarnai kesukaran hidup. Dan di masa kini, saatnya menikmati buah kerja keras di masa lalu, dengan hidup sukses!

Namun adapula yang sebaliknya, hidup seorang keturunan Adam dan Hawa, bergelimang uang dan ketenaran di masa lampau. Tetapi sekarang, hidup susah ditimpa musibah silih berganti. Buah kesombongan dan ketakaburannya ketika masa jaya, dahulu kala.

Kuncinya menjalani hidup ini, kata orang bijak; Jangan terlampau sedih jika sedang hidup susah (di bawah). Dan jangan gembira luar biasa ketika sedang "di atas" (hidup berkelimpahan). Hidup memang bagai roda kadang kita di atas, kadang di bawah.

Jalani saja hidup ini. Yang pasti shalat tetap harus dijalani, didirikan, dikerjakan! Mau lagi susah kek, mau lagi senang kek, mau lagi untung kek, mau lagi rugi kek, mau masih muda belia kek atau sudah jadi kakek-nenek kek. Mau nggak mau tetap harus shalat. Agar Allah tetap suka kepada kita sebagai makhluk-Nya yang taat kepada segala perintah-Nya.

Wassalam,
SangPenging@T!

Minggu, Februari 10, 2013

Jangan Jadi Orang yang Omdo dan Nudo

Ngomong itu gampang! Makanya orang mudah sekali kasih komentar. Ini jeleklah, itu buruklah. Seakan yang baik itu dirinya sendiri (yang ngomong). Enak aja! kata yang dengar.

Politik itu berkisar soal kebijakan, kepemimpinan dan tanggung jawab. Soal duit? ya penting jugalah. Politik juga menyangkut soal sikut menyikut, pertemanan dan juga konspirasi. Penggalangan massa jelas masuk wilayah politik.

Jago ngomong tapi tidak juga bertindak, hmm namanya "Omdo" alias omong doang! Dia kalau ngomong hebat, menulis konsep apalagi. Tapi giliran perilakunya, jauh sekali dengan yang diomongkan dan ditulis.

Lalu "Nudo" jenis binatang apa pula itu? Oh kalau itu, kependekan dari "Nulis Doang". Artinya orang yang nudo, bukan nudis (telajang) lho, itu adalah orang yang pandainya menulis saja. Giliran disuruh "mengerjakan" apa yang ditulis dan sarankan dalam tulisannya dia malas bukan kepalang.

Menulis pada hakikatnya juga seperti bicara (ngomong). Wujud ngomongnya ya dalam bentuk tulisan. Baik "Omdo" maupun "Nudo" adalah dua tipe manusia yang dimurkai Allah. Hii, ngeri aku.

Nggak percaya? Coba tengok Al Qur'an surah Ash Shaaf / 61 ayat 3; 


"Kabura maqtan 'indallaahi an taquuluu maa laa taf'aluun." 

Ditegaskan-Nya, bahwa; "Amat besar kemurkaan di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat."

Oleh karenanya jika mengingat firman Allah tersebut, terkadang membuat aku jadi enggan menulis dan bicara soal agama. Takut Allah murka kepadaku. Tetapi mungkin saja Tuhan lebih "tidak suka" lagi jika aku sudah tahu tapi aku tidak menulis dan bicara tentang hal itu (kebaikan). 


Makanya justru aku menulis maka tulisan itu sebagai "cambuk" bagi diriku agar aku berperilaku seperti yang aku tulis. Artinya ini memacuku untuk tetap berada di jalan yang diridai-Nya. Syukur-syukur jika ada juga diantara pembaca yang ikut terpacu. Semoga bisa menambah amal kebaikan kita.

Juga jika mulut ini ngomong soal agama. Bukannya sok tahu, sok saleh atau sok taqwa. Tapi memang aku sedang berusaha keras untuk jadi orang yang saleh dan bertakwa. Boleh dong. Sebab kawan, kalau Allah sudah murka kepada kita. Bertubi-tubi hancur luluh tubuh ini dibakar di dalam neraka. Setelah hancur diwujudkan lagi lalu dihancurkan lagi, begitulah berulang-ulang. Mau?


Yaa Rabb, mudahkan hamba melaksanakan segala perintah-Mu dan meninggalkan segala larangan-Mu. Jauhkan hamba dari godaan setan dan nikmat dunia yang menggelincirkan.

Aamiin...

Wassalam,

SangPenging@T!

Sabtu, Februari 09, 2013

Lakukan Selagi Masih Ada Waktu

"Menyesal" itu sifat hakikinya manusia. Tidak ada yang namanya manusia yang tidak pernah "menyesal". Mungkin hanya malaikat yang tidak pernah punya sifat "menyesal". Setan?

Pernahlah! Setan menyesal kenapa dulu dia tidak patuh kepada Tuhan ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Akibatnya dia diusir dari surga. Buah dari penyesalannya, dia bertekad mati-matian menggoda Adam dan Hawa beserta anak cicitnya. Termasuk kita, sekarang ini.

Ah, apakah betul setan menyesal? Sok tahu benar aku. Iya ya boleh jadi setan memang tak pernah menyesal. Jangan-jangan ini perkiraanku saja yang salah. Ah, sudahlah tak usah diperpanjang. Lagi pula ngapain kita mikirin setan, kayak kurang kerjaan. Biarkan setan yang mikirin manusia. Eh, jangan-jangan setannya (di alam sono) berteriak dongkol, "Emangnye Gue Pikirin!"

Diantara penyesalan yang paling mendalam, menurutku adalah ketika aku tak pandai memanfaatkan waktu semaksimal, atau seefisien mungkin. Betapa ruginya, rugi sekali! Sungguh sangat merugi orang yang tak pandai memanfaatkan waktu. Karena "waktu" itu tak mungkin terulang lagi. Apa mau kita jadi bayi lagi? Mau kita mengalami hidup susah lagi?

Waktunya shalat, sebagian orang melewatkan begitu saja. Padahal kesempatan ada, tetapi dia merasa sedang sibuk. Tak ada waktu. Ah, kenapa sesibuk sekalipun, jika perut mulas tak keruan toh bisa tuh dan ada waktu buat ke WC!

Waktu kaya, sedekah diabaikannya. Waktu masih sehat bernafas, tak digunakannya untuk bersyukur dan giat berkarya.

Kesimpulannya, selagi ada waktu lakukan! Menyesal itu belakangan. Berbuat kebaikan selagi hidup, itu harus agar tidak menyesal nanti di akhirat.

Wassalam,
SangPenging@T!

Jumat, Februari 08, 2013

Si Madi "Sunan Kalimati"

Namanya boleh jadi Mahdi, Madi atau Ahmadi. Tak pasti kutahu, sebab aku belum pernah memeriksa KTP-nya. Perilakunya shaleh, "sepertinya" tawadhu dan takwa. Ya begitulah tampak muka, samping atau belakang kalau orang melihat sosoknya. Kok ada kata "sepertinya" ketika menggambarkan tentang si Madi. Sebabnya soal penilaian "tawadhu dan taqwa" itu, menurutku hanya Allah yang bisa memastikannya.

Mungkin saja lebih baik kalau disebut dengan "pak" Madi. Tapi kok rasanya lebih pas ada kata "si" di depan namanya bukan "pak". Menurut "kasta" yang tak tampak nyata di depan mata, begitulah yang pas. Sebab sebutan "pak" itu lebih cocok untuk memanggil pak RT, pak RW atau pak- pak yang lain. Yang lebih tinggi sedikit derajatnya dari posisi si Madi tadi. Itupun kalau derajat diukur dari sisi penghasilan, pendidikan dan keturunan. Tapi kalau dari sisi ketaqwaan dan ketawadhuan kepada Sang Khalik, wow who knows? Bisa jadi si Madi lebih mulia disisi-Nya ketimbang kita yang konon merasa lebih bermartabat dibandingkan dengannya.

Shalat lima waktunya di masjid, selalu disempatkan. Kecuali kalau dia sedang sakit atau ada urusan penting, biasanya baru dia absen hadir di masjid. Kostumnya? wow kadang membuat mata terbelalak. Suka bikin kejutan. Mau serasi atau tidak, tak dipedulikannya.

Kepalanya kerap dibalut sorban, bak Kyai atau seorang "Sunan". Bajunya gamis. Kadang seperti kebesaran. Kadang pas dengan tubuhnya yang mungil. Makanya teman-teman karibnya di masjid sering menjuluki dia sebagai "Sunan Kalimati". Yakni sunan yang berasal dari Kalimati, tempat tinggalnya.

Kain yang dibalutkan di kopiah bulatnya (model kopiah haji), lebih suka yang berwarna merah. Merah adalah warna kebanggaaannya. Sebab ini mewakili partai pilihannya. PDI Perjuangan! Megawati adalah idolanya. Setiap bicara, dia ingin bertemu mbak Mega. Mau apa? ingin minta sumbangan yang pas buat ongkos naik haji.

Dalam hati kuberdoa, semoga dia segera berangkat haji, minimal umroh deh. Kalau Anda sempat bicara empat mata dengannya. Dan jika menurut dia, Anda sudah bisa diandalkan jadi tempat untuk curhat, pasti dia akan berujar "Mas, Ka'bah sepertinya sudah di depan mata saya! Rasanya saya tuh sudah shalat di depan Ka'bah. Hmm, nikmatnya luar biasa" dan biasanya selalu disertai dengan acungan jempolnya. ( Yach, kurang lebih begitulah irama kalimatnya, maaf aku tak hafal seratus persen apa yang dikatakannya).

Kira-kira lima tahun lalu profesinya adalah tukang sampah. Dengan gerobaknya dia setia mengangkuti sampah-sampah rumah tangga di komplek tempat tinggalku. Dan dia tekun mengorek sampah, memisahkan sampah plastik dengan sampah lainnya. Sampah botol plastik dijualnya, sebagai penghasilan tambahan. Itung-itung sambil menyelam minum air.

Kadang istrinya membantunya mendorong gerobak sampah itu. Biasanya pula anak-anaknya yang masih kecil ikut-ikutan mendorong. Ada pemandangan yang lucu tapi bikin hatiku miris. Suatu ketika aku melihat dia menarik gerobaknya yang sudah kosong dari sampah. Dan tiga anak-anaknya dia masukkan dalam gerobak itu. Ceria bukan kepalang anak-anaknya. Mereka tak peduli dengan gerobak kotor bekas sampah. Yang penting, mereka merasakan nikmatnya naik gerobak yang ditarik bapaknya.

Sesama tukang sampah, dialah yang paling taat beribadah. Kawan-kawannya malas mampir ke masjid. Dia sering memprihatinkan kawan-kawannya yang tak pernah shalat. Dia bilang, "sudah sengsara hidup di dunia, apa mau sengsara juga hidup di akhirat nanti?". Kata-katanya itu terdengar lirih, tapi sesungguhnya dahsyat.

Jelas penampilannya seratus delapan puluh derajat berbeda saat dia jadi tukang sampah. Dan ketika dia sedang menghadap Ilahi. Waktu memungut sampahpun diaturnya sedemikian rupa, agar tidak bentrok dengan jadwal shalatnya.

Suatu ketika aku bertanya, kenapa kok pensiun jadi tukang sampah? Anak-anaknya yang melarangnya, katanya. Istrinya juga melarang. Lagi pula, dia ingin lebih mendekatkan diri dengan Ilahi.

"Ya sudah saya pensiun saja!", katanya. Tidak perlu harus lapor gubernur DKI. Cukup lapor pak RT dan warga yang dipunguti sampahnya. Dan diapun sudah menyiapkan suksesi jabatan tukang sampah kepada temannya, yang juga tukang sampah.

Soal rezeki jangan kuatir, katanya. Betul juga dia sekarang sering bantu-bantu tukang sayur di pasar. Dia juga suka bersih-bersih masjid. Shalatnya semakin rajin. Anaknya yang sulung jadi kebanggaannya, kirimannya lumayan. Jadi TKW, di Malaysia.

Aku kadang tertegun, iri melihat ketaqwaannya. Selalu di baris terdepan berdampingan dengan mantan pejabat Depag, jika shalat subuh. Dalam hatiku bertanya, bisakah aku ikut mewujudkan mimpinya shalat di depan Ka'bah?

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Februari 06, 2013

Melihat Orang Lain

Suatu ketika aku berada di halte. Atau sedang menunggu di suatu tempat. Bisa di depan mall, atau di teras depan rumah. Daripada bengong tak keruan. Kadang terlintas kalimat zikir. Mulut ini pun tak putus dari zikir. Itu kalau hati sedang bersih, iman sedang bagus.

Tapi kalau hati sedang merasa jauh dari Tuhan. Yang ada benci, merasuk sukma. Melihat orang sukses, hati jadi tertekan. Penuh syak wasangka. Ah, perasaan buruk ini kenapa masih terus dan terus ada. Susah betul menjaga hati untuk bisa terus merasa senang melihat orang lain senang. Ikut susah melihat orang lain susah. Memangnya perasaan hati bisa terus sama setiap hari? Oh iya ya, ternyata tidak bisa!

Nah, ketika berdiri atau duduk di suatu tempat  yang kusebutkan di atas tadi, mata ini suka tertuju kepada wajah dan mata orang yang berseliweran di depanku. Aku lalu sibuk menafsirkan menurut mata batinku. Hatiku berkata, orang itu sedang susah, galau atau dia lagi bimbang. Atau aku berpikir dia sedang gembira, senang hatinya entah habis dapat apa? Mungkin saja habis dapat rezeki nomplok. Atau baru saja dapat promosi jabatan yang empuk.

Aku paling suka mengamati tingkah orang lain. Sikap dan ucapannya, apalagi? Memang orang itu unik. Setiap manusia diciptakan unik. Ya kepribadiaannya, ya kemampuannya. Sungguh menarik hatiku melihat manusia lain.

Tapi terus terang yang paling kuiri adalah melihat orang shaleh, taqwa dan tawadhu. Konon katanya ini adalah iri yang baik, yang positip. Lho kok? Ya, sebab iri ini kalau diiringi dengan sikap positip akan berdampak baik kepada diri kita sendiri. Sebabnya orang-orang "positif" (shaleh, taqwa dan tawadhu) itu bisa menularkan "virus" kebaikan. Sehingga efeknya kita bisa jadi ingin berusaha keras untuk jadi seperti orang shaleh, taqwa dan tawadhu itu!

Yang jelek itu, sudah iri melihat orang yang "positip" itu, eh sikap kita malah negatip. Artinya kita berusaha sekuat tenaga menghembuskan isyu negatif ke segala arah tentang orang itu. Menghalangi kemajuannya. Oh ada apa, kawan?

Janganlah begitu. Buang jauh-jauh sikap, prinsip jelek ini; "SUSAH  melihat orang lain SENANG. dan SENANG melihat orang lain SUSAH

Wassalam,
SangPenging@T

Senin, Februari 04, 2013

The Innocent Man

Seorang saudara meng-upload sebuah foto tentang tiga orang keterbelakangan mental sedang berdiri dengan pose wajah tersenyum (tapi maaf, lebih tepatnya menyeringai... hehehe. Memangnya macan?). Tiga orang idiot tampil manis di halaman facebook. Tampak lugu. Diberi judul foto itu; "the three innocent man" (tiga manusia tanpa dosa).

Orang macam itu kupikir, hanya punya rasa lapar dan rasa sakit. Itupun sakit phisik. Seperti sakit tertusuk paku, atau sakit terselomot rokok. Soal sakit hati? sepertinya tidak tuh. Mungkin, jika diberi dua pilihan paha, mereka lebih memilih paha ayam ketimbang paha mulus wanita cantik, hehehe...

Harga diri atau rasa malu, tak dihiraukannya. Rasa dosa? tak tahu aku. Dunia mau gonjang ganjing. Harga dolar naik. Harga beras nggak pernah turun, bukan wilayah pikiran mereka. Damai nian rasanya hidup ini. Mau ada koruptor yang tertangkap, mulutnya diam tapi wajahnya menyiratkan kalimat "Emangnya Gue Pikirin?"

Tuhan menciptakan manusia beraneka ragam. Semua sudah digariskan bentuk hidupnya. Ada yang idiot. Ada yang super jenius. Ada yang biasa-biasa saja. Aku bersyukur diciptakan sebagai manusia biasa. Bukan idiot. Alhamdulillah.

Tapi aku bertanya kenapa, aku tidak diciptakan sebagai manusia jenius? Jawabannya bisa bermacam-macam. Diantaranya mungkin saja kalau aku jenius, aku bisa jadi manusia super sombong. Diciptakan sebagai manusia biasa saja, aku kadang-kadang merasa sok, angkuh dan sombong. Hiii, sungguh sifat yang njelehi (menjijikkan!).

Sifat buruk itu sedang kuperangi habis-habisan. Kalau perlu sampai titik darah yang penghabisan. Tapi yang kurasa setan terus menghembuskan sekuat tenaga kepadaku. Tujuannya agar aku punya sikap dan sifat tercela itu. Goalnya? agar bisa masuk neraka! Sebabnya? karena tiada tempat hidup di surga buat orang-orang yang menyombongkan diri. Hiii, ngeri aku!

Aku senantiasa berdoa " Yaa Rabb, jangan jadikan aku orang yang sombong. Jauhkan hamba dari sifat angkuh, iri dan dengki"

Wassalam,
SangPenging@T

Sabtu, Februari 02, 2013

Mengagetkan! Berita Tentang Pak Gito

Selepas subuh tadi pagi aku dikagetkan dengan sebuah berita tentang pak Gito, penjaga TK Al Muttaqin. Sejak tadi malam dia dirawat di ruang ICU rumah sakit Sumber Waras, Jakarta Barat. Jantungnya diserang mendadak. Diserang siapa? ya dia terkena serangan jantung.

Yang memberitakan kabar itu Tumiran, petugas (marbot) masjid. Dia begitu kalutnya, ketika istri pak Gito tiba-tiba berteriak minta tolong, malam tadi, hari Jumat 1 Februari 2013. Akhirnya dia dengan motornya mengantarkan pak Gito ke klinik 24 jam. Pak Gito memeluk kencang tubuh Tumiran. Sambil terus merintih kesakitan.

Memang terserang penyakit jantung itu luar biasa sakitnya. Sebab aku hingga kini adalah pasien jantung, jadi bisa membayangkan rasa sakitnya. Dada sebelah kiri nyeri sakit luar biasa. Seperti ada yang menusuk dengan belati tajam. Atau seperti dilindas stoomwales.

Sesampainya di klinik, ternyata klinik 24 jam di Taman Kota penuh pasien. Lalu dibawa ke klinik di Pesing. Dokter tak kuasa menanganinya. Tensinya tinggi terus. Kemudian dirujuk ke RS Tarakan. Ditolak karena penuh pasien. RSUD Cengkareng, juga penuh.

Ruang rawat ICU UGD di RS Sumber Waras sama saja penuh. Yang kosong hanya ada di ICU VIP. Jika mau dirawat disitu Tumiran harus menandatangi kuitansi yang disodorkan petugas, sebagai syarat untuk penanganan pasien. Total jumlahnya; biaya ruang rawat ICU VIP, Rp 4,5juta/hari; biaya dokter, Rp 250ribu.

Tumiran terbengong-bengong melihat kuitansi sejumlah itu. Dia menghubungi istri pak Gito dan saudaranya. Yang lebih pas untuk menandatangi kuitansi itu. Dan sebagai penanggung jawab pasien

Untunglah sekarang Jokowi sedang berkuasa di DKI. Akhirnya dokter jaga menanyakan apakah pasien punya KTP DKI? Punya, kata Tumiran. Lalu petugas administrasi hanya minta foto KTP DKI, dan fotokopi KK pasien. Petugas berpesan kepada istri pak Gito, agar besok pagi segera mengurus Kartu Jakarta Sehat (KJS)! Tak berapa lama pak Gito akhirnya bisa segera ditindaklanjuti penanganannya oleh dokter RS Sumber Waras. Ampuh juga KJS, bisa meringankan beban pasien.

Selama banjir kemarin, aku sempat terkagum-kagum kepada pak Gito. Karena aku mengungsi di ruang pertemuan di lantai dua, di gedung TK yang dijaganya. Tenaganya seperti tak mengenal lelah. Dia bersama istri dan dibantu anaknya, membersihkan beberapa ruang kelas TK, ruang guru dan Kepala Sekolah. Juga bangku-bangku yang kotor karena banjir.

Merokok dan minum kopi susu, itu yang dia suka. Aku membatin hebat juga sudah tua masih kuat merokok. Apa jantungnya kuat? Eh, ternyata rubuh juga dia sekarang.

Serangan jantung itu mendadak. Diiringi rasa nyeri dada sebelah kiri, beberapa hari sebelumnya. Waspada kalau Anda menderita seperti itu, kawan. Segera periksa ke dokter.

Sore harinya, tgl 2 februari aku sempatkan diri ke RS Sumber Waras. Kesehatan pak Gito sudah berangsur-angsur mulai pulih. Ternyata dia menderita hipertensi mendadak, yang merembet ke fungsi jantung.

Aku berdoa semoga pak Gito bisa melewati masa kritisnya, dan segera sembuh. Dalam hati kuberdoa juga, semoga penyakit jantungku juga segera sembuh.

Wassalam,
SangPenging@T

Jumat, Februari 01, 2013

Kentut

Dunia ini ternyata indah luar biasa. Apalagi jika dilihat dari mata yang penuh rasa syukur. Sepertinya tak ada yang perlu digundahi, disesali apalagi dicemberuti.

Melihat istri atau kekasih hati bermuka masam, tak perlu sewot. Yah, memang begitu manusia adanya. Nggak mungkinlah setiap hari dia tersenyum manis. Gembira hatinya. Kadang-kadang sumpek jugalah batinnya, melihat kelakuan kita (para suami) yang maunya diladeni terus.

Dan melihat istri/kekasih begitu, jangan lantas dunia serasa ikut cemberut. Ah, anggap saja itu seperti kita sedang mencium bau kentut. Toh, kalau didiamkan baunya lama-lama juga akan hilang.

Tidak usah beraksi terlalu heboh, begitu mendengar istri kentut. Memarahinya. Sebab siapa tahu begitu kita selesai marah, eh malah kita yang kentut. Dan baunya, aroma jengkol campur bau got. Akhirnya gantian istri yang memarahi kita sampai nggak sempat kentut. Bisa runyam hubungan suami istri gara-gara kentut.

Iya ya, kadang aku suka geli sendiri. Dulu ketika berpacaran, pandai nian pacar kita menahan kentut. Alasannya? Jaim ( jaga image). Atau takut diputusin gara-gara hobinya kentut.

Eh, begitu sudah kawin, tuh kentut kayaknya diobral habis-habisan. Dhuuuut, brot, tuuuutt terdengar disana-sini tak peduli siang, malam atau dinihari. Mengapa begitu? karena mereka sudah pada paham, apa yang dianjurkan dokter. Jangan menahan kentut. Sekarang mereka kompak menganut prinsip; "Kentut itu Sehat!"

Terus terang, semula tulisan ini ingin kuberi judul "Melihat Dunia" (dengan rasa syukur), lho kok jadinya isi tulisan ini membahas masalah kentut ya. Ya sudahlah biar gampang kuubah saja judulnya, menjadi (maaf) "Kentut" sajalah.

Kentut itu patut disyukuri jangan dikufuri. Karena orang tak bisa kentut itu bisa membawa bencana. Perut bisa jadi buncit. Ujung-ujungnya harus dibawa ke rumah sakit. Biayanya tidak sedikit.

Tapi mbok yao para istri memahami, hormati para suami. Jangan mentang-mentang "kentut itu sehat" lantas mengobral kentut sak penak udhele dewek. Mambune kuwi sing marakke irung kembang-kempis, bu!

Ketut itu sehat. itu tidak perlu diragukan lagi. Tapi kita harus hati-hati dengan kentut. Kentut di dalam lift yang padat, bisa membuat seisi lift yang semula ceria bisa tiba-tiba jadi cemberut semua. Tapi kalau sudah tak bisa ditahan, ya harap maklum deh.

Kentut itu nikmat. Tapi jangan dihambur-hamburkan sembarangan. Aku berpikir, mbok yao bersedekah itu seperti Anda sedang membuang angin (kentut). Tak perlu disesali, ikhlaskan. Apa ada orang yang nyesel banget, karena sudah kentut?

Wassalam,
SangPenging@T!