Adsense

Kamis, Agustus 22, 2013

Aku Bertanya Tentang "Surga dan Neraka" Kepada Mereka

Pagi ini, hari Kamis, 22 Agustus 2013, aku ke puskesmas untuk minta surat pengantar Askes  buat periksa rutin jantungku di RS Jantung Harapan Kita, besok pagi. Suasana di Puskemas Kedaung Kaliangke tumben amat ramai, dengan ibu-ibu muda yang sedang menggendong bayinya. Entah untuk apa mereka membawa bayi? Yang pasti berhubungan dengan kesehatan bayi-bayi mereka. Mungkin untuk imunisasi.

Aku sibuk memperhatikan keunikan setiap bayi yang digendong para ibu muda itu. Lucu-lucu, imut-imut, wajah-wajah polos tanpa dosa. Namun sewaktu melihat ibu-ibu yang sedang menggendong bayi mereka, pikiranku bertanya sudah berapa banyak dosa yang dikumpulkan mereka? Eh, sok kali aku. Justru aku seharusnya berpikir dan menerka sudah berapa pahala yang diraihnya saat berjuang mengandung dan melahirkan bayi-bayi yang digendongnya itu.Oh iya ya?

Aku jadi teringat ibuku. Betapa berat perjuangannya merawatku ketika aku masih bayi dulu. Oh ibu, semoga engkau berbahagia di alam sana, begitu juga bapak. Maafkan aku ibu, bapak. Ampuni aku yaa Rabb, aku belum bisa membahagiakan beliau dalam hidupnya.

Lamunanku tiba-tiba menerabas dinding-dinding penyekat ruangan di puskemas itu. Bayi-bayi itu tertawa bebas, mereka turun dari gendongan para ibunya. Aku jadi ingin bertanya kepada bayi-bayi itu. Para balita yang menggemaskan.

Pertanyaan yang ingin kuajukan kepada bayi-bayi itu adalah tentang "surga dan neraka". Ah, mana mungkin mereka bisa menjawab. Pandir nian aku? Ah, masa bodoh! Kutepis keraguan ini, lalu aku keraskan suaraku untuk menarik perhatian mereka.

Tanganku bertepuk sedikit keras untuk mencoba menenangkan suara gaduh mereka. Sambil berkata,

"Hallo! sayangku, perhatian-perhatian!",
"Apakah kalian tahu tentang surga dan neraka?"
"Siapa yang bisa jawab?"
"Siapa yang mau masuk surga?"

Benar saja, pertanyaanku tidak digubris oleh mereka. Mereka tetap asyik berlari, bermain, berteriak dan tertawa. Juga ada yang menangis akibat dipukul oleh bayi laki-laki yang suka iseng.

Akhirnya aku mencoba menebak apa jawaban mereka. Kutemukan jawabnya. Jelas saja mereka tak peduli tentang surga dan neraka. Sebab mereka yakin bakal masuk surga. Mengapa? Karena mereka belum pernah berbuat dosa. Mana ada berita seorang balita menghunus ayahnya. Atau balita membunuh ibunya?

Setelah kukantongi surat pengantar yang kuminta, aku meninggalkan puskesmas. Kutinggalkan kumpulan bayi-bayi itu. Aku berjalan kaki, tak menentukan arah tujuan. Aneh, bukannya pulang ke rumah untuk kemudian berangkat ke kantor, seperti biasa kulakukan beberapa bulan ini.

Kuikuti saja kakiku melangkah menyusuri jalan perumahan, lalu  ke jalan Daan Mogot, lalu masuk gang sempit, becek dan kotor. Akhirnya langkah kakiku berhenti, seiring rasa nyeri dijantungku yang semakin menusuk. Wah, gawat! jantungku kumat. Udah sakit jantung, merasa sok kuat lagi jalan kaki.

Kulempar pandangan mataku ke berbagai arah dari tempat kuberhenti. Aku berdiri sendiri bagaikan patung. Oh, ternyata aku tepat berada di depan pintu gerbang masuk sebuah Panti Jompo "Kamboja". Aku putuskan masuk ke dalamnya. Aku ingin mengaso di tempat ini barang sejenak untuk melepaskan lelah.

"Assalamu'alaikum Pak, boleh saya istirahat di sini?" kuajukan salam perkenalan kepada satpam penjaga panti itu.
"Wa 'alaikum salam, boleh silahkan pak" sahut pak satpam.

Kulihat jam, waktunya shalat dhuhur. Kebetulan nih, aku beranjak ke Mushola di panti itu. Adzan berkumandang. Aku diminta jadi imam. Ok, why not? ah, sok ke-inggris-inggrisan. Tak apalah biar terasa keren saja.

Shaf hanya sebaris yang bapak-bapak. Ibu-ibunya hanya lima orang. Kemana jamaah yang lainnya? Mereka sudah tua, kenapa semakin jauh dari shalat? Selesai shalat, aku beranikan diri menyampaikan kultum. Semakin lama, semakin ramai yang melihatku berceramah. Mungkin mereka heran di musholla ada apa. Rasa ingin tahu mereka, membuat mushalla semakin sesak. Yang tadinya duduk santai, jadi ikutan beranjak menuju musholla.

Aku sampaikan guyonan, agar mereka tidak tegang. Suara tawa mereka ikut mengundang rasa penasaran para jompo yang tidak ikutan shalat. Yang aku heran, apakah para jompowan itu mendengar guyonanku atau sekedar berpartisipasi melihat rekan-rekanya tertawa. Ikutan tertawa biar nggak dibilang tuli. Oh, I don't know it.


Di tengah uraian ceramah kuajukan pertanyaan yang sama seperti kepada para balita di puskemas tadi pagi.

"Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian tahu tentang surga dan neraka?"
"Tahu!!" jawab mereka serentak.
"Siapa yang mau masuk surga?"
"Sayaaaa!!!" jawab mereka kompak.

"Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu mau masuk neraka?"
"Tidaak, Tidaaaaaaakkk! pak ustadz!" jawab mereka saling bersahutan. Riuh rendah.

"Ok, kalau tidak ingin masuk neraka dan ingin masuk surga! Kenapa waktu shalat dhuhur tadi sedikit yang shalat?

Mereka terdiam seribu bahasa. Wajahnya terlihat polos bak balita, mata mereka menerawang jauh menembus awan.

Aku berusaha menjawab pertanyaanku sendiri. Jawabanku begini, mungkin karena mereka sudah tua, sudah pikun, sudah lupa bacaan shalat. Sehingga mereka jadi malas shalat! Atau memang sejak muda tidak terbiasa shalat lima waktu. Oh, wahai manula. Alam kubur tinggal beberapa langkah ibaratnya, namun mengapa tidak kalian kejar pahala akhirat?

Pertanyaan yang sama ingin kuajukan kepada yang masih muda, yang kaya, yang lupa daratan, yang punya kekuasaan, yang masih cantik, yang masih ganteng perkasa, yang punya usaha dan sudah jadi pengusaha sukses.

Namun tercekat di rongga mulut, terasa ada yang menahan, mulutku tak sanggup menanyakan tentang "surga dan neraka" kepada mereka. Sebab aku takut ditertawakan...

Kupandangi awan biru, di tengah terik siang panasnya matahari jam satu siang. Panasnya luar biasa, panas musim kemarau yang panjang. Kubayangkan betapa panasnya neraka. Tak terperikan panasnya, pasti!

Kulangkahkan kaki ini, keluar dari Panti Jompo "Kamboja". Kurogoh saku celana bututku, ada sisa uang Rp3000,-. Kuhampiri kios es kelapa muda di dekat pintu gerbang panti jompo itu. Aku beli segelas air kelapa muda. Hmm... tenggorokanku terasa segar setelah aku meneguk air es kelapa muda itu. Kubayangkan betapa segarnya minuman di surga.

Aku ingin pulang dengan membawa bekal yang cukup.


Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Agustus 21, 2013

Alex dan Badrun

Ada dua anak muda (ABG/anak baru gede!). Usianya sekitar 20 tahun. Sebut saja yang satu Alex, yang satunya Badrun (bukan nama sebenarnya lho). Gaya hidup keduanya jauh berbeda. Ibarat langit dan bumi. Melihat keduanya aku bagai sedang menonton sinetron kehidupan. Mereka sepantaran anakku yang pertama.

Alex hidupnya berkelimpahan harta. Kuliah di perguruan tinggi ternama. Dia cerdas. Dibelikan motor, dan mobil sedan bermerek untuk menunjang kuliahnya. Mantap! Ayahnya kaya, seorang WNI pengusaha yang sedang menetap di luar negeri. Ibunya sudah bercerai dan sudah nikah lagi, di Indonesia. Begitu pula ayahnya, sudah menikah dengan wanita melayu, di negara tetangga.

Badrun kini sedang terseok, mencari jati diri. Sekolahnya cukup hingga SMA. Dia tidak meneruskan ke bangku kuliah. Bangku kuliah terlampau keras untuk di"kunyah"nya. Ayahnya tak kuat membiayainya kuliah. Badrun mengongkosi kehidupan dirinya. Kini, dia baru diterima bekerja di PJKA. Ayahnya sudah kawin lagi. Sementara ibunya sedang mengais rezeki sebagai TKW di Arab Saudi.

Begitulah rupanya kehidupan. Ada yang kaya ada yang pas-pasan. Bagaikan roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Alex sedang di atas, Badrun rupanya sedang di bawah. Yang nulis ini (aku) merasa masih di bawah, hehehe....

Melihat kehidupan ini, kupikir tergantung kerangka berpikir kita (frame of reference-nya). Jika dilihat dari pola pikir negatif, ya sepertinya semua negatif gak ada positifnya. Tapi jika kita mampu melihat jauh ke depan, mampu menyibak atau menyingkirkan pikiran negatif, Insya Allah yang kita pandang tentang kehidupan ini agaknya ada suatu yang mencerahkan. Walau hanya seberkas cahaya! Pokoknya ada sisi "positif"-nya yang bisa kita petik.

Untunglah dulu, ketika aku masih ABG, aku tidak mengikuti langkah-langkah setan. Langkah-langkah yang menyesatkan. Langkah-langkah yang bisa menjerumuskan ke dalam neraka jahanam! Ada saja yang menawariku, ganja. Tapi aku tak terpikat. Alhamdulillah, aku bisa lolos dari masa ABG yang penuh godaan.

Masa ABG adalah masa pancaroba, masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Masa rawan godaan. Masanya mudah tergelincir oleh lingkungan. Khususnya teman-teman yang kecanduan narkoba. Senang berbuat kriminal. Dan akrab dengan miras.

Alex dan Badrun. Sama-sama sedang mengalami "ujian". Yang satu diuji dengan kekayaan, yang satu diuji dengan "kesempitan" harta. Begitulah hidup, nak! Jangan cepat bangga, atau berkecil hati dengan apa yang kita alami. Kuncinya "Syukur" dan "Sabar". Dan yang penting ojo lali (don't forget) shalat 5 waktu!

Bersyukur ketika kaya, berkelimpahan. Bersabar ketika sedang ditimpa kesempitan. Ok, bro?!

Wassalam,
SangPenging@T!

Minggu, Agustus 18, 2013

Uang

Uang dicari orang. Bangun tidur yang dipikirkan uang. Anak-anak mau berangkat ke sekolah, minta uang. Istri mau masak, butuh uang. Suami mau kerja, jelas perlu uang. Buat ongkos transport naik taxi, bus kota atau ojek. Atau buat beli bensin.

Uang jadi pusat perhatian orang. Tak peduli orang yang sudah kaya, apalagi yang masih kere. Uang, uang, uang. Mungkin saja itulah zikirnya orang yang fokusnya duniawi!

Mulai dari keluarga melarat sampai keluarga konglomerat, uang tak pernah luput dari perhatian. Yang melarat, bingung bagaimana cara menyiasati hidup dengan uang yang sedikit. Yang kaya raya, bingung bagaimana supaya hartanya tetap awet, tidak boleh berkurang. Kalau perlu meningkat terus, tambah terus, berkembang-biak. Terus, terus dan teruuuuuuuus...

Ya, ya ya uang memang dibutuhkan semua orang. Tapi ngomong-ngomong ada nggak sih orang yang tidak butuh uang? Rasa-rasanya kok nggak ada ya?

Kerja itu ibadah. Kerja tujuannya untuk cari uang. Uang diperlukan supaya bisa hidup enak.

Ustadz juga manusia. Butuh duit juga. Tapi orang bilang, jadi ustadz jangan mengharapkan honor (duit!). Jadi ustadz harus iklas, dibayar nggak dibayar, harus tampil maksimal. Wah kalimat ini sepertinya menyesatkan. Dan bikin gusar, bagi yang punya keinginan mau jadi ustadz.

Ustadz sama saja dengan profesi yang lain. Butuh bayaran. Butuh ganjaran. Ambil contoh profesi dokter. Dokter memeriksa pasien. Kasih resep. Lalu dibayar pasien, atau asuransi. Pasien sehat. Dokter pun dapat ganjaran dari Allah. Insya Allah berupa (berbuah) pahala. Betul? Apa dokter yang menjadi sarana (berkat resepnya) orang jadi sehat kembali, lalu dapatnya dosa? Rasanya tidaklah yaow.

Jadi ustadz dibayar mahal atau minta bayaran, aku rasa nggak usah jadi persoalan yang pelik. Bahkan jadi polemik. Ustadz jelas ikhlas dibayar besar. Kalau nggak dibayar? Wah, itu mah silahkan tanya kepada ustadznya saja, jangan tanya aku. Cuma yang dibutuhkan disini adalah pengertiannya panitia. Unsur kepantasan bayaran yang diterima ustadz, harus jadi pertimbangan yang matang. Masak ustadz kelas kaliber dibayar tak sepadan. Yang berlaku umum sih, orang "besar" (top/ kondang/ ternama) dibayar besar.

Kenapa untuk membayar guru les piano, berani bayar gede. Sementara untuk membayar guru mengaji, secukupnya saja ( bahkan kalau bisa bayaran cukup "seikhlasnya"). Sungguh memprihatinkan.

Ustadz, guru ngaji itu manfaatnya besar lho bagi kehidupan kita sebagai manusia. Dengan lantaran ustadz, kyai, guru ngaji, ahli agama, kita jadi tahu mana yang benar mana yang salah. Mana jalan ke surga, mana jalan ke neraka!

Bersyukurlah kita bisa jumpa dengan ustadz yang membuat pikiran, hati kita tercerahkan. Jadi paham ilmu agama. So, ustadz di bayar gede, why not?

Wassalam,
SangPenging@T!

Rabu, Agustus 14, 2013

Anakku

Anakku, kau sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Sifat manjamu, semakin menjadi. Kau hitam manis. Keriting halus rambutmu. Emosimu tinggi, percis seperti aku.

Kemarin kumarahi kau, gara-gara HP-ku kau pakai, tapi tak kau rawat. Baterei nyaris habis, tak juga kau charge lagi.

Malam harinya kulihat, kau tidur pulas. Aku merasa bersalah telah memarahimu. Maafkan, bapak.

Pesanku, kamu jaga dirimu baik-baik. Jaga perilakumu. Hormati orangtuamu. Bapak dan Ibumu tidak gila hormat. Tapi yang kami inginkan hanya suatu penghormatan yang wajar namun tulus. Sewajarnya anak-anak hormat kepada orangtuanya. Itu saja.

Sampai kini aku masih terus belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik. Kadang aku suka  flash back, bagaimana ketika dulu (waktu usiaku muda) bersikap kepada Ayah dan Ibunda. Ternyata jadi orangtua itu tidak mudah. Apalagi menghadapi anak-anaknya di usia remaja. Kemauannya banyak, tak peduli orangtuanya punya duit banyak atau tidak. 

Wassalam,
SangPenging@T!

Usiaku

Kumaki-maki "usia muda" diriku. Ah, makian itu tak baik. Itu tanda tak pandai bersyukur. Kumarahi diriku. Ah, ngapain harus memarahi diri sendiri. Kasihan. Lagi pula ngapain sih kok segitu marahnya, kok segitu hebatnya kau memaki dirimu sendiri? Jawabannya, simpel. Aku menyesal telah melewatkan usia mudaku dengan sia-sia, tanpa prestasi! Itulah pangkal kemarahanku hari ini.

Kuiri dengan anak muda yang sudah punya prestasi. Ada penulis muda sudah meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award. Ada perancang busana muda yang sudah melanglang buana. Ada pembalap muda. Ada pengusaha muda, yang sudah kaya raya. Ada daun muda, oh no bukan-bukan, ini konotasinya negatif.

Dan kini aku ingin mengambil senjata bazooka entah milik siapa, lalu aku arahkan moncong bazooka yang kupegang erat-erat dengan dendam kusumat, ke satu titik tembak yaitu "usia muda"ku!

Usia muda sudah kulewati jauh di belakang. Percuma saja kutembak, kuhancurkan. Karena usia mudaku, sudah hancur, sudah lewat, sudah musnah. Entah dimana, kutak tahu! Yang pasti yang ada sekarang tinggal kenangan. Kenangan pahit dan manis. Campur aduk. Tak sulit sih aku memisahkannya. Kadang kenangan pahit yang datang, kadang kenangan manis yang terhidang dalam memori otakku.

Usia muda. usia muda. Membuatku geleng-geleng kepala. Kasihan betul usia mudaku itu. Tidak maksimal aku manfaatkan. Akibatnya? Di usia tuaku, aku terombang-ambing pada gelombang kehidupan.

Aku masih bingung menentukan sikap, mau dibawa kemana usia tua-ku ini. "Mau disia-siakan lagi?!" suara pertanyaan itu menggelegar, bagai petir raksasa yang nyaris membakar pepohonan rindang di perkebunan tak bertuan.

Dulu ketika mau maju di usia muda. Aku masih malu-malu. Aku tak punya nyali. Aku merasa banci. Bangsat! teriakku, makian itu kutujukan kepada seseorang yang telah melecehkanku, meminggirkanku, bahkan meludahiku walau ludah itu tak menyentuh tubuhku. Tapi harga diriku terlanjur serasa dirobek-robek. Aku jadi mau muntah, melihat polahnya!

Suaraku, gerakan tanganku, langkah kakiku di usia muda. seakan terjerat oleh kata-kata, "Masih muda, belum saatnya!". Kini, suara itu aku cari lagi kemana suara itu lari. Suara yang membuat usia mudaku berlalu sia-sia. Suara yang membuatku takut bertindak. takut beraksi. takut berprestasi. Atau?

Dasar aku memang bodoh. Idiot. Tolol??? Sehingga kesempatan untuk berprestasi di usia muda, lewat begitu saja? Hahh!!? Jawab, ayo jawab! Apa memang kau totol, bodoh?

Ya, ya ya, mungkin saja begitu. Begitu bagaimana? yaitu. Yaitu bagaimana? Tolol, goblok idiot! itu maksudku. Kuteriakkan kata-kata itu kepada bayangan hitam menyeramkan yang selalu memojokkanku dengan pertanyaan yang membuat aku semakin terperosok dalam penyesalan. Menyesali telah menyia-nyiakan usia muda.

Sekarang, aku sudah setengah abad lebih. Aku tak ingin mengulangi lagi seperti masa muda yang telah berlalu. Menyia-nyiakan usia tuaku. Tidak! Di usia tuaku, aku harus fokuskan, kepada kehidupan akhirat. Tapi tidak melupakan dunia.

Aku tak ingin nanti memaki, memarahi diriku sendiri di dalam kuburan yang gelap. Lantaran tidak taat di usia setengah abad, kepada perintah Allah Swt.

Wassalam,
SangPenging@T!

Senin, Agustus 12, 2013

Istriku

Kau belahan jiwaku. Kau pakaianku, aku pakaianmu. Cemburuku adalah cemburumu. Ah, apa iya? Aku suka yang ada padamu. Tapi kutak suka bau kentutmu.

Kata-katamu, lebih banyak menyemangatiku. Walau kadang meruntuhkan semangatku. Tapi tak mengapa, aku suka itu.

Istriku, kau ladang bagiku. Kutanami kapan kusuka. Dari sorot matamu, kutahu kau bahagia tapi kadang kau menyimpan kesedihan. Ternyata suka dan duka, warna setiap rumah tangga.

Maafkan aku jika sampai detik ini, Senin 12 Agustus 2013, saat kutulis catatan ini, aku belum juga bisa memberikan sesuatu keinginanmu yang sangat kau inginkan. Inilah hidup. Kata "Sabar," sudah ribuan kali terucap dari mulutku.

Istriku, kadang kau terlihat cantik bagai bidadari surgaku. Tetapi kadang kau bagai "sesuatu" yang tak ingin kusapa. Seperti musuh dalam selimut. Oh ya?

Kau makmum setiaku. Dari rahimmu telah kau lahirkan dua anak yang sehat bagiku. Buah cinta kita berdua, satu laki-laki dan satu perempuan.

Istriku, kau adalah masterchef-ku. Dari tangan lentikmu, tidak terhitung sudah beberapa kali kau sajikan hidangan lezat untuk kami sekeluarga. Alhamdulillah...

Ketika kusakit kau rawat aku sepenuh hati. Saat jantungku kambuh, rasa khawatirmu tinggi. Terima kasih istriku, kau begitu baik untukku. Sementara balasan dariku sepertinya belum setimpal.

Doaku, jangan ambil nyawaku yaa Rabb, sebelum aku membahagiakan istriku, Dewi Antasari dan anak-anak kami.

Wasssalam,
SangPenging@T

Sabtu, Agustus 10, 2013

Imam Taraweh

Ini betul-betul malam yang luar biasa indah rasanya. Kenapa luar biasa? Karena malam ini adalah malam pertamaku menjadi imam shalat Taraweh. Harinya Senin, 22 Juli 2013. Atau malam ke-14 Bulan Ramadhan 1434 Hijriyah. Suasana malam itu ketika aku keluar dari masjid hendak pulang, sekitar jam 23.00, bulan nyaris purnama sedang menyapa langit malam. Berada tepat di atas kepalaku, layaknya posisi matahari jam 12 siang. Menambah indahnya malam itu.

Setiap orang pasti punya pengalaman pertama. Dan biasanya pengalaman pertama itu mempunyai makna yang dalam bagi setiap orang yang mengalaminya. Hal itu bisa jadi sebuah kenangan yang sulit terlupakan. Contohnya! Cinta pertama, atau malam pertama pengantin baru, hehehe...

Malam ini, giliranku memberikan kultum di Masjid Darul Muttaqin. Pada "Jadwal Kultum" tercetak imamnya dalam tanda asterik adalah Sdr. Jupri. Untungnya malam itu Sdr Jupri berhalangan hadir, karena harus masuk kerja (dapat giliran malam). Mengapa untung?

Karena aku tak perlu izin dia, untuk menggesernya sebagai imam shalat Tarawih dan Witir. Sebab sudah kutekadkan bulat-bulat, bahwa malam ini aku akan (nekad) menjadi imam. Lho kok nekad? Sebab kapan lagi, pikirku. Aku akan membuat sejarah dalam hidupku, hatiku berteriak begitu. Tetapi bukan nekad ala Bonek seperti suporter Persebaya, hehehe...

Rasanya kurang nyaman kalau menyodor-nyodorkan diri ini untuk jadi imam. Agak pakewuh (kurang sopan). Tetapi kok kesempatan itu nggak datang-datang juga. Padahal hafalan surah-surahku sudah lumayan nih. Pejabat masjid yang berwenang sudah kusindir-sindir. Berikan dong pada yang muda untuk maju sebagai imam. Tetapi upaya itu bagaikan lemparan batu di samudera. Tak terdengar, atau lebih tepatnya tidak digubris.

Nah, mumpung pada jadwal, tertera namaku dalam kolom "penceramah/imam". Artinya penceramah merangkap imam. Aku harus menyambar kesempatan itu! Tanda asterik (*) tak kugubris. Harus disingkirkan!

Dari dulu (kurang lebih sejak enam tahun lalu) aku hanya berani menyampaikan kultum, dan untuk imam aku serahkan kepada Pak Juremi. Karena aku kurang PeDe (percaya diri), karena bacaan surahku waktu itu masih terbatas pada surah-surah yang pendek.

Tibalah saatnya yang kutunggu-tunggu tiba.

Bagi manusia normal, pengalaman pertama pasti memacu andrenalin lebih kencang. Begitu juga aku. Apalagi jantungku sudah divonis jantung koroner dan jantung bocor. Gawat! Malam itu jantungku berdebar kencang. Rasa menusuk di jantungku semakin terasa bagai pedang tajam. Obat pereda sakit jantung sudah kutaruh di bawah lidah.

Merasa kondisi jantungku yang rada mengkhawatirkan, aku berbisik kepada Ustadz Juremi yang duduk di sampingku, "Pak, nanti jika saya nggak kuat jadi imam, teruskan ya". Kulihat dia tidak meng-iya-kan permohonanku, tetapi beliau menyemangatiku. "Ayo, yakin bisa!"

Dengan ucapan "Bismillah", aku maju ke depan memberikan tausyiah (kultum). Setelah pembawa acara (mc) mempersilahkan waktu dan tempat kepadaku. Setelah berdiri dan menyampaikan doa pembuka kultum, debaran jantung berkurang, seterusnya aku jadi enak menyampaikan ceramah.

Setelah usai menyampaikan kultum, nah tibalah saatnya menjadi imam. Jantung kembali agak berdebar kencang dan seperti biasa ada rasa menusuk di jantungku. Tak kugubris rasa itu, tekadku semakin menguat bukannya mengendur.

Aneh, ketika takbir aku teriakkan lantang, tiba-tiba aku membayangkan seperti sedang menunggang motor balap ber-cc besar dengan balutan body logo REPSOL yang dinaiki dan dipacu kencang oleh Mark Marqueze. Pembalap muda di seri MotoGP. Dan di tahun ini 2013 adalah debut pertamanya di kelas 500cc. Langsung membabat pembalap senior seperti Dani Pedrosa, Lorenzo, dan Valentino Rossi.

Yess! Rakaat pertama berjalan lancar. Rakaat keempat (?) aku nyaris terpeleset di tikungan. Bacaan surahku nyaris lupa. Rakaat selanjutnya aku semakin asyik dan menikmati surah-surah Al Quran yang kubaca. Meski jantung ini belum seratus persen reda rasa menusuknya. Tapi tak kuhiraukan rasa itu.

Akhirnya selesai sebelas rakaat shalat Taraweh, lalu kulanjutkan tiga rakaat shalat Witir sebagai imam. Alhamdulillah, berjalan lancar. Kupanjatkan rasa syukurku bertalu-talu, di dalam hati. Menjadi imam di masjid dengan jumlah jamaah lebih dari lima ratus orang. Rasanya seperti seorang "pilot" yang sedang menerbangkan pesawat Boeing 747 atau Airbus 308. Luar biasa.

Yaa Rabb, berikan kekuatan kepadaku untuk tetap istiqamah di jalan yang Engkau ridhoi yaa Allah...

Wassalam,
SangPenging@T!

Jumat, Agustus 09, 2013

Ujar "Sang Penging@T"!

Dulu ada Uje. Dan sampai kapan pun Uje (Ustadz Jeffry al Buchori tetap hidup di hati umat Islam yang mencintainya. Meskipun Uje sudah tiada, ceramahnya yang inspiratif, informatif dan komunikatif selalu bisa kita nikmati melalui YouToBe.

Kini ada "Ujar". Wow siapakah Ujar? Ustadz M.Fajar Irianto Ludjito. Oh, benarkah begitu? tidakkah ini disengaja atau sekedar dipas-paskan? Ya betul ini kebetulan yang disengaja dan dipas-paskan. Berani-beraninya Anda menyandang gelar ustadz? Memangnya kenape, masalah... buat loh (Anda)? Begitu kata anak muda zaman ini berseloroh... hehehe....

Berat memang berat, jika sudah berani (lebih tepatnya nekat) mencantumkan kata "ustadz" di depan sebuah nama. Ya, betul berat memang, tapi kenapa tidak boleh? Jujur gelar itu bukan untuk gaya-gayaan (apalagi biar dibilang hebat!_). Tidak! Tetapi sekedar sebagai pemicu kebaikan dalam perjalanan hidupku. Eh, mungkin saja lebih tepat istilahnya "julukan" sih, bukan gelar. Ya julukan "ustadz" di depan namaku, aku umpamakan, sebagai pedang tajam yang siap menebas namaku, pribadiku, menusuk perasaanku jika aku tidak lurus melangkahkan kaki ini di jalan yang Allah ridhoi.

Boleh jadi bagi pembaca yang iri, akan berkata, "sekalian aja pakai gelar KYAI di depan nama ente, Jar! jangan nanggung-nanggung..." Ah, jauuuuh panggang dari api, bro!

Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan gelar/istilah/julukan "USTADZ" itu? Untuk itu aku bertanya kepada Mbah"Google" yang serba tahu. Akhirnya kutemukan tulisannya Abi Syakir pada sebuah blog. Aku kutipkan dengan lengkap disini, penjelasannya tentang arti kata ustadz, sebagai berikut:

Istilah USTADZ di Mata Orang Indonesia…
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Kalau orang Indonesia ditanya, apa sih arti kata ustadz? Belum tentu ada yang paham. Masih lumayan kalau dia menjawab, “Ustadz itu artinya guru.” Ini masih lumayan meskipun sebenarnya masih terlalugeneral (polos).
Dalam tulisan ini kita akan jelaskan posisi ustadz yang sebenarnya (insya Allah), agar Anda semua tidak salah paham.
[1]. Secara umum, ustadz itu diartikan sebagai GURU atau pendidik. Ini adalah pengertian dasarnya.
[2]. Guru dalam khazanah Arab atau Islam, memiliki banyak istilah yang berbeda-beda, yaitu: MudarrisMu’allimMuaddibMusyrifMurabbi,Mursyid, dan termasuk Ustadz. Masing-masing istilah memiliki makna tersendiri.
[3]. Mudarris artinya guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang menyampaikan dirasah atau pelajaran. Siapa saja yang menyampaikan pelajaran di hadapan murid-murid, dia adalah Mudarris.
[4]. Mu’allim artinya guru juga, tetapi lebih spesifik: Orang yang berusaha menjadikan murid-muridnya tahu, setelah sebelumnya mereka belum tahu. Tugas Mu’allim itu melakukan transformasi pengetahuan, sehingga muridnya menjadi tahu.
[5]. Muaddib atau Musyrif, artinya juga guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mengajarkan adab (etika dan moral), sehingga murid-muridnya menjadi lebih beradab atau mulia (syarif). Penekanannya lebih pada pendidikan akhlak, atau pendidikan karakter mulia.
[6]. Murabbi artinya sama, yaitu guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mendidik manusia sedemikian rupa, dengan ilmu dan akhlak, agar menjadi lebih berilmu, lebih berakhlak, dan lebih berdaya. Orientasinya memperbaiki kualitas kepribadian murid-muridnya, melalui proses belajar-mengajar secara intens. Murabbi itu bisa diumpamakan seperti petani yang menanam benih, memelihara tanaman baik-baik, sampai memetik hasilnya.
[7]. Mursyid artinya juga guru, tetapi skalanya lebih luas dari Murabbi. Kalau Murabbi cenderung privasi, terbatas jumlah muridnya, maka Musyrid lebih luas dari itu. Mursyid dalam terminologi shufi bisa memiliki sangat banyak murid-murid.
[8]. Baru kita masuk pengertian Ustadz. Secara dasar, ustadz memang artinya guru. Tetapi guru yang istimewa. Ia adalah seorang Mudarris, karena mengajarkan pelajaran. Ia seorang Mu’addib, karena juga mendidik manusia agar lebih beradab (berakhlak). Dia seorang Mu’allim, karena bertanggung-jawab melalukan transformasi ilmiah (menjadikan murid-muridnya tahu, setelah sebelumnya tidak tahu). Dan dia sekaligus seorang Murabbi, yaitu pendidik yang komplit. Jadi, seorang ustadz itu memiliki kapasitas ilmu, akhlak, terlibat dalam proses pembinaan, serta keteladanan.
[9]. Dalam istilah Arab modern, kalau Anda menemukan ada istilah “Al Ustadz Ad Duktur” di depan nama seseorang, itu sama dengan “Profesor Doktor”. Jadi Al Ustadz itu sebenarnya padanan untukProfesor. Kalau tidak percaya, coba tanyakan kepada para ahli-ahli Islam yang pernah kuliah di Timur Tengah, apa pengertian “Al Ustadz Ad Duktur”?
[10]. Sejujurnya, istilah Ustadz itu dalam tataran ilmu, berada satu tingkat di bawah istilah Ulama atau Syaikh. Kalau seseorang disebut Ustadz, dia itu sebenarnya ulama atau mendekati derajat ulama. Contoh, seperti sebutan Ustadz Muhammad Abdul Baqi’, Ustadz Said Hawa, Ustadz Hasan Al Hudaibi, Ustadz Muhammad Assad, dan lain-lain.Istilah Ustadz itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Di dalamnya terkandung makna ilmu, pengajaran, akhlak, dan keteladanan. Kalau kemudian di Indonesia, istilah Ustadz sangat murah meriah, atau diobral gratis… Ya itu karena kita saja yang tidak tahu.
Ke depan, jangan mudah-mudah menyebut atau memberi gelar ustadz, kalau memang yang bersangkutan tidak pada proporsinya untuk menerima hal itu. Sebagai alternatif, orang-orang yang terlibat dalam dakwah Islam bisa disebut sebagai: Dai (pendakwah),muballigh (penyampai risalah), khatib (orator), ‘alim (orang berilmu), dan yang semisal itu.
Adapun istilah Ustadz Selebritis, Ustadz Gaul, Ustadz Entertainis, Ustadz Komersil, Ustadz Panggung…dan lain-lain; semua ini tidak benar, ia bukan peristilahan yang benar. Derajat ustadz itu dekat dengan ulama. Itu harus dicatat!(Abinya Syakir)

Nah kini semakin jelas bagiku, ternyata menyandang gelar/julukan ustadz itu tidak ringan. Termasuk golongan ustadz tipe yang manakah aku ini, ah itu mah terserah pembaca sajalah menggolongkannya.

Fokusnya, harus berilmu, mampu menjadi teladan, satunya kata dengan perbuatan, dan jauuuh dari akhlak yang buruk.

Oke, no problem. Justru disinilah tantangannya. Akan kuhadapi. Semoga Allah meridhoi langkahku.

Wassalam,
SangPenging@T!