Ada suatu keheranan yang terlintas di benak pikiranku waktu SMA dulu. Setiap kali aku melihat bapak-bapak tua yang masih tekun bekerja dalam satu bidang saja. Misalnya tukang roti, tukang kayu, dan tukang-tukang lainnya.
Kata "tukang" di sini mengandung arti sebagai profesi. Ada tukang masak, bahasa kerennya Chef. Tukang foto, disebut Photographer. Tukang ngintip? wah itu bukan profesi, tapi merujuk kepada "perilaku" tidak terpuji. Biasanya dilakukan oleh anak laki-laki atau pria jantan yang suka iseng.
Mengapa aku jadi heran? Ya heran saja aku melihat mereka masih tekun bekerja, padahal usia sudah senja, bahkan tua. Dan dulu, yang selalu mengusik rasa penasaranku, apakah mereka tidak bosan dengan pekerjaannya itu?
Kini ketika usiaku mulai beranjak setengah abad lebih, baru kutahu jawabnya. Mengapa mereka masih saja jadi tukang jam, misalnya? Yaitu, karena mereka (tukang-tukang) itu cinta mati dengan pekerjaannya. Mereka sudah mahir dengan pekerjaannya, merasa sudah ahli dibidang yang ditekuninya sejak lama. Mau beralih profesi, sudah merasa ke-tua-an.
Beberapa tahun lalu, di lingkungan rumahku, ada seorang bapak tua "tukang roti" yang rajin menawarkan rotinya kepadaku. Ketika aku sedang membaca koran atau buku di teras, dia kerap berteriak "Rooot ti! roti, pak?".
Kalau lagi ingin roti tawar, kupanggil dia. Setelah berhenti, kerap dia bilang sambil mengacungkan jarinya "Dua?".
"Satu saja cukup, pak," jawabku.
Dia tak merasa lelah mengayuh gerobak rotinya berjalan puluhan kilometer. Kini sapaan ramah itu sudah tak bisa kudengar lagi. Dia sudah meninggal. Dia setia dengan profesinya sebagai tukang roti sampai akhir hayatnya.
Sekarang mengenai profesi diriku yang sebagai "tukang desain grafis, desain iklan, liflet, poster, x-baner dan kartu nama". Profesi ini sudah kutekuni sejak lepas kuliah. Tahun 1989.
Pernah kudengar di telingaku. Seorang anak muda menohokku dengan pertanyaan, "Pak, nggak ingin istirahat di rumah saja pak? Nggak capek nge-disain pak?
Aku gelagapan menjawabnya. "Oh tentu tidak!". Dalam hatiku berteriak, enak aja istirahat. Ini menyangkut urusan dapur biar tetap ngebul dan kebutuhan hidup tak terganggu.
Rupanya itulah alasan dasar mengapa orang tetap kerja walau usia sudah senja. Dan memang hakikinya orang hidup harus ada yang dilakukan. Diam berarti mati. Bergeraklah yang membuat manusia punya arti dalam kehidupan ini.
Untuk mengusir rasa bosan dengan profesiku itu, aku kini tengah mencoba profesi sebagai penulis dan penceramah. Kelasnya masih kultum, hehehe...
Pertanyaan anak muda tadi, mengingatkanku kepada pertanyaanku dulu yang pernah kuajukan kepada almarhum bapakku.
"Pak, bapak nggak bosan jadi pejabat terus?"
Dijawabnya enteng saja, "Bosan? ya tidaklah, lha wong enak kok jadi pejabat, fasilitas dapat, gaji gede, bisa keluar negeri gratis, bisa makan-makan bareng Menteri, dan Presiden. Setiap ada acara penting kenegaraan diundang. Ke Istana Negara, ke Gedung DPR/MPR, ke rumah menteri. Tanda tangan pejabat ada nilainya. Misalnya menandatangani ijazah sarjana."
"Oh, gitu toh pak," kataku.
"Dan jadi pejabat itu nggak gampang. Semakin tinggi posisi, semakin kencang "angin" menerpa." ujarnya lagi.
Yang pasti "bekerja adalah bagian dari ibadah". Hasil kerja sebagai ekspresi diri. Kerja dapat duit. Duit bisa digunakan untuk beramal shaleh. Mungkinkah kita beramal shaleh tanpa duit?
Dan aku menulis ini pun bagian dari kerja bukan? Semoga bermanfaat tulisan-tulisan yang aku tampilkan di blogspot-ku ini, kawan.
Wassalam,
SangPenging@T!
Adsense
Kamis, Maret 21, 2013
Selasa, Maret 12, 2013
Bukuku Korban Banjir
Aku masih sukar mengusir rasa sedih ini setiap kali menatap buku-buku Agama Islam, Manajemen, Pengembangan Pribadi, Graphic Design, dan Advertising yang rusak akibat terendam air dengan tiba-tiba. Banjir telah menghancurkan beberapa buku koleksi kesayanganku yang lupa aku selamatkan. Banjir datang tanpa diundang di pertengahan bulan Februari 2013
Paling tidak ada dua buku yang kulempar ke bak sampah. Tidak bisa kubaca lagi. Harganya seratus ribu lebih. Mungkin kalau sekarang harga buku sejenis itu bisa mencapai sekitar tiga ratus ribu.
Buku-buku korban banjir yang masih bisa diselamatkan, kertasnya sudah tak sempurna. Ada sekitar tiga puluhan buku dari berbagai disiplin ilmu yang babak belur akibat terendam air banjir.
Ya sudahlah tak perlu disesali, toh bencana ini sudah kehendak Tuhan. Atau bisa pula akibat ulah manusia yang semakin kurang ajar, menggunduli hutan di kawasan Puncak untuk dibangun villa. Dan ulah manusia yang sukanya mengurug lahan di tengah kota. Ketimbang menggunakan lahannya sebagai situ, untuk menadah air.
Para pengusaha tak sudi menjadikan tanahnya sebagai danau. Jelaslah, mereka lebih suka tanahnya diurug dan dijadikan bangunan pertokoan atau pergudangan, yang punya nilai ekonomi yang tinggi.
Kembali ke nasib bukuku. Oh bukuku, bagaimana ini? Wheh disesali lagi. Katanya sudah tidak ingin disesali lagi. Memang sih tidak ingin disesali. Tapi hati ini kok rasanya nyesek, gelo. Menyesal kenapa tidak sempat menyelematkan buku-buku itu.
Ngomong-ngomong soal buku aku punya cerita perihal koleksi bukuku. Istriku paling benci kalau aku sering beli buku. Ketimbang beli beras, hehehe. Sehingga jika aku beli buku suka diam-diam. Sebab kalau sampai dia tahu, bisa repot.
Buku lagi, buku lagi. Bisa apa sih buku-buku itu ketika kita nggak punya uang? Itulah kalimat yang sering disemprotkannya pada diriku. Memang ini salahku, yang belum juga menerbitkan buku. Belum memanfaatkan semaksimal mungkin buku-buku yang sudah kubeli.
Dilihatnya seperti mubazir. Kenapa sih kok nggak beli emas saja? katanya lagi. Tapi tekadku tak surut, keyakinanku tinggi suatu saat nanti buku-buku itu akan "berbicara" bagi nasib hidup keluarga kita, sayangku.
Tapi yang kusuka dari istriku kini dia sudah semakin sadar betapa pentingnya buku, untuk memperkaya pengetahuan di dalam dirinya. Sudah kutemukan kiatnya supaya dia tidak marah ketika aku tiba-tiba membawa buku baru ke rumah. Yaitu dengan membawanya ke toko buku. Dan aku membeli buku baru di depan matanya. Beres!
Berulang kali kukatakan. Buku adalah "guru" yang tak pernah marah. Buku yang bermanfaat adalah guru yang senantiasa membimbing kita, kapan pun kita butuhkan. Mau jam 2 malam sekalipun, jika kita butuh informasi penting, tinggal buka buku yang kita punya.
Dan buku favoritku adalah Kitab Suci Al Qur'an. Tak terbantahkan, Quran menunjukkan jalan yang lurus. Al Qur'an bagaikan "peta" kehidupan. Tanpa "peta" kita akan tersesat dalam menempuh jalan kehidupan ini, kawan.
Di era internet sebetulnya tanpa buku kita tak usah mati kutu. Asal punya komputer yang terhubung dengan internet. Gampang, tinggal cari informasi di Google. Qur'an online pun dapat dengan mudah kita akses. Jadi tak ada alasan lagi untuk tidak membaca Qur'an setiap hari. Walau sekedar satu ayat.
Buku bukan untuk gengsi-gengsian. Membeli buku mahal, sayang jika hanya untuk dipajang di rak buku. Atau untuk pamer bahwa kita mampu membeli buku berharga ratusan ribu. Tidak-tidak aku tidak ingin pamer dengan buku-buku itu.
Aku membeli buku karena aku ingin pintar, ingin serba tahu, ingin sih aku seperti kamus, atau ensiklopedi "berjalan". Ck, ck, ck Sehingga ketika bicara di depan umum, bisa "cas cis cus" alias tidak gagap pengetahuan.
Kawan, baca buku tambah ilmu. Yuuk, bangun perpustakaan pribadi di rumah kita masing-masing.
Wassalam,
SangPenging@T!
Paling tidak ada dua buku yang kulempar ke bak sampah. Tidak bisa kubaca lagi. Harganya seratus ribu lebih. Mungkin kalau sekarang harga buku sejenis itu bisa mencapai sekitar tiga ratus ribu.
Buku-buku korban banjir yang masih bisa diselamatkan, kertasnya sudah tak sempurna. Ada sekitar tiga puluhan buku dari berbagai disiplin ilmu yang babak belur akibat terendam air banjir.
Ya sudahlah tak perlu disesali, toh bencana ini sudah kehendak Tuhan. Atau bisa pula akibat ulah manusia yang semakin kurang ajar, menggunduli hutan di kawasan Puncak untuk dibangun villa. Dan ulah manusia yang sukanya mengurug lahan di tengah kota. Ketimbang menggunakan lahannya sebagai situ, untuk menadah air.
Para pengusaha tak sudi menjadikan tanahnya sebagai danau. Jelaslah, mereka lebih suka tanahnya diurug dan dijadikan bangunan pertokoan atau pergudangan, yang punya nilai ekonomi yang tinggi.
Kembali ke nasib bukuku. Oh bukuku, bagaimana ini? Wheh disesali lagi. Katanya sudah tidak ingin disesali lagi. Memang sih tidak ingin disesali. Tapi hati ini kok rasanya nyesek, gelo. Menyesal kenapa tidak sempat menyelematkan buku-buku itu.
Ngomong-ngomong soal buku aku punya cerita perihal koleksi bukuku. Istriku paling benci kalau aku sering beli buku. Ketimbang beli beras, hehehe. Sehingga jika aku beli buku suka diam-diam. Sebab kalau sampai dia tahu, bisa repot.
Buku lagi, buku lagi. Bisa apa sih buku-buku itu ketika kita nggak punya uang? Itulah kalimat yang sering disemprotkannya pada diriku. Memang ini salahku, yang belum juga menerbitkan buku. Belum memanfaatkan semaksimal mungkin buku-buku yang sudah kubeli.
Dilihatnya seperti mubazir. Kenapa sih kok nggak beli emas saja? katanya lagi. Tapi tekadku tak surut, keyakinanku tinggi suatu saat nanti buku-buku itu akan "berbicara" bagi nasib hidup keluarga kita, sayangku.
Tapi yang kusuka dari istriku kini dia sudah semakin sadar betapa pentingnya buku, untuk memperkaya pengetahuan di dalam dirinya. Sudah kutemukan kiatnya supaya dia tidak marah ketika aku tiba-tiba membawa buku baru ke rumah. Yaitu dengan membawanya ke toko buku. Dan aku membeli buku baru di depan matanya. Beres!
Berulang kali kukatakan. Buku adalah "guru" yang tak pernah marah. Buku yang bermanfaat adalah guru yang senantiasa membimbing kita, kapan pun kita butuhkan. Mau jam 2 malam sekalipun, jika kita butuh informasi penting, tinggal buka buku yang kita punya.
Dan buku favoritku adalah Kitab Suci Al Qur'an. Tak terbantahkan, Quran menunjukkan jalan yang lurus. Al Qur'an bagaikan "peta" kehidupan. Tanpa "peta" kita akan tersesat dalam menempuh jalan kehidupan ini, kawan.
Di era internet sebetulnya tanpa buku kita tak usah mati kutu. Asal punya komputer yang terhubung dengan internet. Gampang, tinggal cari informasi di Google. Qur'an online pun dapat dengan mudah kita akses. Jadi tak ada alasan lagi untuk tidak membaca Qur'an setiap hari. Walau sekedar satu ayat.
Buku bukan untuk gengsi-gengsian. Membeli buku mahal, sayang jika hanya untuk dipajang di rak buku. Atau untuk pamer bahwa kita mampu membeli buku berharga ratusan ribu. Tidak-tidak aku tidak ingin pamer dengan buku-buku itu.
Aku membeli buku karena aku ingin pintar, ingin serba tahu, ingin sih aku seperti kamus, atau ensiklopedi "berjalan". Ck, ck, ck Sehingga ketika bicara di depan umum, bisa "cas cis cus" alias tidak gagap pengetahuan.
Kawan, baca buku tambah ilmu. Yuuk, bangun perpustakaan pribadi di rumah kita masing-masing.
Wassalam,
SangPenging@T!
Senin, Maret 11, 2013
Minuman Keras
Ah, terus terang pikiranku jadi ikut kacau. Membaca artikel di koran online Poskota perihal "manusia setan" yang memutilasi pasangan kumpul kebonya. Namanya malas kusebutkan disini. Sebut saja si Bejat!
Disiksa dahulu baru dipotong-potong. Gila! Menurut pengakuan si Bejat, sebelum kejadian dia bersama korban minum minuman Tuak. Nah, akibatnya kalau setan sudah merasuk ke dalam jiwa orang yang sedang mabuk, bisa fatal. Terjadilah peristiwa biadab itu! Menjijikkan. Potongan mayat wanita itu lalu dibuang di pinggir jalan tol Cikampek.
Manusia ternyata bisa berubah jadi monster yang kejam, jika dalam pengaruh minuman keras. Bejat konon dibantu pacarnya dalam melakukan aksinya. Mereka sepertinya terlibat cinta segitiga. Mereka mengentengkan perzinahan. Ck, ck, ck.
Itulah mengapa Allah melarang manusia meminum minuman keras. Karena minuman keras biang keroknya kriminalitas. Dibawah pengaruh minuman keras, orang jadi setengah gila. Perbuatan asusila, dianggap perbuatan biasa. Jadi tak peduli dengan etika.
Packaging minuman keras dirancang dengan desain yang elegan. Botolnya dibikin unik. Pokoknya dibuat sedemikian rupa agar orang jadi suka melihatnya. Kemudian tertarik untuk memegangnya. Lalu? meminumnya.
Setan terus membisiki "minumlah, toh kalau sedikit boleh... dosanya nggak usah dipikirin, paling sedikit".
Mula-mula sesendok, lalu seseloki, lalu sebotol, jika uang masih ada tambah lagi sebotol. Bila tubuh belum sempoyongan, rasanya enggan untuk berhenti menenggaknya. Busyet, dasar setan! Memangnya dosa lu yang memutuskan! Dosa atau tidak, Tuhan yang punya aturan.
Set (tan), lu tu ye! sukanya mengecil-ngecilkan dosa. Mengenteng-entengkan siksa api neraka. Menyusah-nyusahkan (orang untuk menjalankan) ibadah, beramal shaleh dan sedekah.
Ternyata, kebiasan baik awalnya berat. Tetapi itu akan membawa "kenikmatan abadi" di akhirat. Dan kebiasaan buruk itu terasa ringan dilakukan. Namun akan mengakibatkan "siksa tiada akhir" di kemudian hari.
Yaa Rabb, berikan hamba kekuatan untuk melawan bisikan dari setan dan manusia bejat.
Wassalam,
SangPenging@T!
Disiksa dahulu baru dipotong-potong. Gila! Menurut pengakuan si Bejat, sebelum kejadian dia bersama korban minum minuman Tuak. Nah, akibatnya kalau setan sudah merasuk ke dalam jiwa orang yang sedang mabuk, bisa fatal. Terjadilah peristiwa biadab itu! Menjijikkan. Potongan mayat wanita itu lalu dibuang di pinggir jalan tol Cikampek.
Manusia ternyata bisa berubah jadi monster yang kejam, jika dalam pengaruh minuman keras. Bejat konon dibantu pacarnya dalam melakukan aksinya. Mereka sepertinya terlibat cinta segitiga. Mereka mengentengkan perzinahan. Ck, ck, ck.
Itulah mengapa Allah melarang manusia meminum minuman keras. Karena minuman keras biang keroknya kriminalitas. Dibawah pengaruh minuman keras, orang jadi setengah gila. Perbuatan asusila, dianggap perbuatan biasa. Jadi tak peduli dengan etika.
Packaging minuman keras dirancang dengan desain yang elegan. Botolnya dibikin unik. Pokoknya dibuat sedemikian rupa agar orang jadi suka melihatnya. Kemudian tertarik untuk memegangnya. Lalu? meminumnya.
Setan terus membisiki "minumlah, toh kalau sedikit boleh... dosanya nggak usah dipikirin, paling sedikit".
Mula-mula sesendok, lalu seseloki, lalu sebotol, jika uang masih ada tambah lagi sebotol. Bila tubuh belum sempoyongan, rasanya enggan untuk berhenti menenggaknya. Busyet, dasar setan! Memangnya dosa lu yang memutuskan! Dosa atau tidak, Tuhan yang punya aturan.
Set (tan), lu tu ye! sukanya mengecil-ngecilkan dosa. Mengenteng-entengkan siksa api neraka. Menyusah-nyusahkan (orang untuk menjalankan) ibadah, beramal shaleh dan sedekah.
Ternyata, kebiasan baik awalnya berat. Tetapi itu akan membawa "kenikmatan abadi" di akhirat. Dan kebiasaan buruk itu terasa ringan dilakukan. Namun akan mengakibatkan "siksa tiada akhir" di kemudian hari.
Yaa Rabb, berikan hamba kekuatan untuk melawan bisikan dari setan dan manusia bejat.
Wassalam,
SangPenging@T!
Jumat, Maret 08, 2013
Sokle
Apakah ada yang tahu apa itu "Sokle"? Salah tulis kali tuh, kalau sule tahulah. Pelawak top masa kini Pesaing berat Tukul Arwana. Tajir banget mereka. Bukan-bukan sule yang kumaksud, tapi ini "Sokle".
Ya betul! yang sudah tahu sokle. Sokle adalah lampu sorot. Yang menyorot ke langit. Adanya lampu sokle, biasanya ketika ada Pekan Raya Jakarta. Atau dikenal dengan nama Jakarta Fair. Jika di kota lain, mungkin dikenal sebagai Pasar Malam.
Sorotan lampunya jauh seakan menembus langit. Anak-anak kecil suka memperhatikannya. Dulu waktu kecil aku pun suka. Pikiranku waktu itu berkata "wow, ajaib!", ada lampu senter raksasa yang bisa terang benderang sampai ke langit.
Nah tadi pagi (Jumat, 8 Maret 2013), ketika aku klik SMSTauhidTV(sebuah website) live streaming televisi kepunyaannya Pesantren Daarut Tauhid, pimpinan Aa Gym. Ada acara yang menarik. Yakni tausyiah dari Syeikh Ali Jaber, seorang ulama belia dari Madinah. Orang Arab tapi fasih berbahasa Indonesia. Amat menarik mendengar tausyiahnya. Inspiratif. Imanku serasa diasah jadi semakin tajam. Apa yang dibicarakannya?
Katanya, kalau ingin Allah "berbicara" kepada kita, maka bacalah Al Qur'an. Karena Al Qur'an adalah untaian kalimat dari Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui perantaraan malaikat Jibril. Dan isinya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Memang betul, yang aku rasakan pun demikian. Jika kita membaca Qur'an, hendaknya kita baca pula artinya (terjemahannya). Bila kita mampu meresapi arti dan maknanya, seolah-olah Allah "bicara" langsung kepada diri kita sendiri. Cobalah, rasakan itu kawan.
Dan jika kita ingin ber-"komunikasi" dengan Allah, maka shalatlah. Melalui shalat kita "bicara" (memohon, berharap dan meminta) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas nasib dan takdir kita.
Kepada Allah kita harus gigih meminta. Kegigihannya, dicontohkan oleh Ustadz Ali, seperti anak kecil yang minta coklat kepada Ibunya. Seorang anak akan merengek-rengek. Menangis yang keras. Hanya untuk sebatang coklat yang membangkitkan seleranya.
Sepanjang itu permintaaan yang wajar, ibu mana yang tega melihat anaknya menangis menjerit hanya untuk sebatang coklat. Dan apa yang terjadi ketika ibunya mengabulkan permintaan anaknya? Anak itu gembira bukan kepalang. Wajahnya ceria kembali. Senyumannya mengembang. Duh, hati orangtua mana yang tak bahagia melihat anaknya bersuka cita.
Jika kita berdoa kepada Allah, sampai berlinang airmata. Itu bagai anak kecil yang merengek sampai bercucuran airmatanya. Teruslah berdoa, sampai doa kita terkabul. Jangan pernah bosan. Yakinlah Allah akan mengabulkan doa kita. Jangan berburuk sangka (su'udzon) kepada Allah.
Menurutnya, jika kita shalat tahajud lalu ditutup dengan shalat witir. Lalu setelah itu kita berdoa yang tulus. Di langit seakan ada lampu sokle yang memancar dari sajadah tempat kita shalat dan berdoa. Terang benderang menembus langit, hingga para malaikat menyaksikan. Wow! menakjubkan. Dan malaikat akan mencatatnya sebagai amal shaleh kita. Salah satu amal shaleh yang paling disukai Allah Swt.
Tentu cerita Ustadz Ali itu sekedar sebuah ilustrasi. Sebab kejadian alam gaib tak bisa diketahui manusia awam. Hanya orang yang tercerahkan kalbunya bisa punya inspirasi cerita semacam itu. Dan tentang alam gaib hanya Allah Yang Maha Tahu.
Yuuk shalat malam yuuk...
Wassalam,
SangPenging@T!
Ya betul! yang sudah tahu sokle. Sokle adalah lampu sorot. Yang menyorot ke langit. Adanya lampu sokle, biasanya ketika ada Pekan Raya Jakarta. Atau dikenal dengan nama Jakarta Fair. Jika di kota lain, mungkin dikenal sebagai Pasar Malam.
Sorotan lampunya jauh seakan menembus langit. Anak-anak kecil suka memperhatikannya. Dulu waktu kecil aku pun suka. Pikiranku waktu itu berkata "wow, ajaib!", ada lampu senter raksasa yang bisa terang benderang sampai ke langit.
Nah tadi pagi (Jumat, 8 Maret 2013), ketika aku klik SMSTauhidTV(sebuah website) live streaming televisi kepunyaannya Pesantren Daarut Tauhid, pimpinan Aa Gym. Ada acara yang menarik. Yakni tausyiah dari Syeikh Ali Jaber, seorang ulama belia dari Madinah. Orang Arab tapi fasih berbahasa Indonesia. Amat menarik mendengar tausyiahnya. Inspiratif. Imanku serasa diasah jadi semakin tajam. Apa yang dibicarakannya?
Katanya, kalau ingin Allah "berbicara" kepada kita, maka bacalah Al Qur'an. Karena Al Qur'an adalah untaian kalimat dari Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui perantaraan malaikat Jibril. Dan isinya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Memang betul, yang aku rasakan pun demikian. Jika kita membaca Qur'an, hendaknya kita baca pula artinya (terjemahannya). Bila kita mampu meresapi arti dan maknanya, seolah-olah Allah "bicara" langsung kepada diri kita sendiri. Cobalah, rasakan itu kawan.
Dan jika kita ingin ber-"komunikasi" dengan Allah, maka shalatlah. Melalui shalat kita "bicara" (memohon, berharap dan meminta) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas nasib dan takdir kita.
Kepada Allah kita harus gigih meminta. Kegigihannya, dicontohkan oleh Ustadz Ali, seperti anak kecil yang minta coklat kepada Ibunya. Seorang anak akan merengek-rengek. Menangis yang keras. Hanya untuk sebatang coklat yang membangkitkan seleranya.
Sepanjang itu permintaaan yang wajar, ibu mana yang tega melihat anaknya menangis menjerit hanya untuk sebatang coklat. Dan apa yang terjadi ketika ibunya mengabulkan permintaan anaknya? Anak itu gembira bukan kepalang. Wajahnya ceria kembali. Senyumannya mengembang. Duh, hati orangtua mana yang tak bahagia melihat anaknya bersuka cita.
Jika kita berdoa kepada Allah, sampai berlinang airmata. Itu bagai anak kecil yang merengek sampai bercucuran airmatanya. Teruslah berdoa, sampai doa kita terkabul. Jangan pernah bosan. Yakinlah Allah akan mengabulkan doa kita. Jangan berburuk sangka (su'udzon) kepada Allah.
Menurutnya, jika kita shalat tahajud lalu ditutup dengan shalat witir. Lalu setelah itu kita berdoa yang tulus. Di langit seakan ada lampu sokle yang memancar dari sajadah tempat kita shalat dan berdoa. Terang benderang menembus langit, hingga para malaikat menyaksikan. Wow! menakjubkan. Dan malaikat akan mencatatnya sebagai amal shaleh kita. Salah satu amal shaleh yang paling disukai Allah Swt.
Tentu cerita Ustadz Ali itu sekedar sebuah ilustrasi. Sebab kejadian alam gaib tak bisa diketahui manusia awam. Hanya orang yang tercerahkan kalbunya bisa punya inspirasi cerita semacam itu. Dan tentang alam gaib hanya Allah Yang Maha Tahu.
Yuuk shalat malam yuuk...
Wassalam,
SangPenging@T!
Rabu, Maret 06, 2013
Waiting List
Gila! benar-benar gila. Itulah komentarku dalam hati selepas mengalami antrian beli karcis kereta api ke Semarang di stasiun KA Senen, hari Selasa, 5 Maret 2013. Aku serasa dihempaskan ke tanah, tatkala mendengar info dari mbak manis penjaga pesanan karcis KA di salah satu barisan loket pemesanan tiket KA. Apa sih yang dikatakannya?
Pak, harap semua kolom diisi nomor identitas KTP-nya, kalau yang anak-anak cukup diisi tanggal lahirnya, katanya tanpa senyum. Hah, musti diisi semua? Toh itu mereka yang tiga orang itu bukan siapa-siapa. Mereka istri dan anak-anak saya. Apa tidak cukup nomor KTP saya saja, kataku. Tetap harus diisi semua, pak, katanya lagi sedikit ketus masih tanpa senyum. Maklum mungkin sudah sejak pagi tadi dia bertugas melayani para pengantri tiket yang semakin banyak. Sehingga bibirnya sudah malas diajak untuk tersenyum. Capek bro!
Setiap calon penumpang KA yang ingin memesan tiket harus mengisi secarik kertas "Pesanan Tiket KA" yang berukuran seperempat ukuran kertas Folio. Barisan kalimatnya kulihat bagai garis abu-abu berbaris-baris. Hurufnya kecil-kecil. Huhf! Mana lupa bawa kacamata lagi. Tertatih tatih aku mengisi kolom-kolom itu. Kolom nomor KTP aku kosongkan, sebab aku tak hafal nomor KTP istri dan anakku. Dan ternyata itu harus diisi. Ah, menyebalkan! Boleh jadi ini salah satu cara untuk memberantas per-calo-an tiket KA.
Mau minta tolong dibacakan barisan kalimat itu oleh mas-mas di depan antrianku. Gengsi. Takut ngrepotin, plus takut dibilang dasar kakek-kakek! Padahal diri ini ya memang sudah tua, hehehe...
Aturan baru ini, baru kutahu. Membuatku terkaget-kaget. Dari bibirnya yang tipis bergincu merah membara keluar kalimat, pak tanggal yang bapak pesan sudah penuh. Tiket sudah terjual habis. Padahal aku akan berangkat tiga minggu lagi.
Untung rencana kepergianku sekeluarga ke Semarang bukan untuk urusan bisnis yang tak bisa ditunda. Tetapi sekedar menengok adik yang baru punya momongan baru plus ziarah ke makam kedua orangtua. Toh bisa kapan saja. Tetapi memang sih lebih nyaman rasanya tanggal itu (kamis, 28 Maret). Karena Jumatnya libur. Sabtu dan Minggu juga.
Rupanya libur yang tiga hari itu, dimanfaatkan oleh ribuan orang untuk mudik barangkali. Sehingga KA penuh. Padahal itu kelas ekonomi. Yang bisnis apalagi. Yang eksekutif, tak tahu aku. Karena aku memang tak ingin tahu, sebab tak sesuai dengan isi kantongku. Terlalu memaksakan.
Tanpa pikir panjang segera aku mengeloyor pergi dari loket itu. Aku batalkan kepergianku ke Semarang. Ditunda, entah sampai kapan. Segera ku-sms adikku, mengabarkan pembatalan itu. Bayangan makan tahu petis dan bandeng presto (makanan khas kota Semarang) ikut sirna dari benakku.
Sambil jalan ke parkiran motor, aku membayangkan daftar tunggu (waiting list) calon haji yang sampai empat, lima tahun ke depan. Ck, ck ck luar biasa. Ternyata penduduk dunia mulai meledak. Semakin banyak. Rasanya semakin sesak hidup di dunia. Buktinya kemacetan hampir di semua sudut jalan protokol, ketika jam sibuk berangkat dan pulang kerja. Wow!
Semua harus antri. Dan harus sabar menunggu antrian. Apalagi jika ingin makan di restoran laris manis, mau tak mau kita harus bersedia dimasukkan dalam daftar antrian. Tak peduli perut sudah menjerit.
Mau buang hajat di toilet umum jika sedang banyak peminatnya pun harus antri. Harus masuk dalam waiting list, meskipun penjaga wc tak pegang catatan.
Untunglah kita untuk shalat lima waktu di masjid, tidak harus masuk waiting list. Karena apa? peminatnya sedikit? Kutak tahu pasti jawabnya. Silahkan Anda jawab sendiri-sendirilah.
Padahal ketika kita malas shalat. Malaikat sudah pasti mencatat diri kita, masuk dalam "waiting list" penduduk Neraka. Wallahu alam bissawab.
Wassalam,
SangPenging@T!
Pak, harap semua kolom diisi nomor identitas KTP-nya, kalau yang anak-anak cukup diisi tanggal lahirnya, katanya tanpa senyum. Hah, musti diisi semua? Toh itu mereka yang tiga orang itu bukan siapa-siapa. Mereka istri dan anak-anak saya. Apa tidak cukup nomor KTP saya saja, kataku. Tetap harus diisi semua, pak, katanya lagi sedikit ketus masih tanpa senyum. Maklum mungkin sudah sejak pagi tadi dia bertugas melayani para pengantri tiket yang semakin banyak. Sehingga bibirnya sudah malas diajak untuk tersenyum. Capek bro!
Setiap calon penumpang KA yang ingin memesan tiket harus mengisi secarik kertas "Pesanan Tiket KA" yang berukuran seperempat ukuran kertas Folio. Barisan kalimatnya kulihat bagai garis abu-abu berbaris-baris. Hurufnya kecil-kecil. Huhf! Mana lupa bawa kacamata lagi. Tertatih tatih aku mengisi kolom-kolom itu. Kolom nomor KTP aku kosongkan, sebab aku tak hafal nomor KTP istri dan anakku. Dan ternyata itu harus diisi. Ah, menyebalkan! Boleh jadi ini salah satu cara untuk memberantas per-calo-an tiket KA.
Mau minta tolong dibacakan barisan kalimat itu oleh mas-mas di depan antrianku. Gengsi. Takut ngrepotin, plus takut dibilang dasar kakek-kakek! Padahal diri ini ya memang sudah tua, hehehe...
Aturan baru ini, baru kutahu. Membuatku terkaget-kaget. Dari bibirnya yang tipis bergincu merah membara keluar kalimat, pak tanggal yang bapak pesan sudah penuh. Tiket sudah terjual habis. Padahal aku akan berangkat tiga minggu lagi.
Untung rencana kepergianku sekeluarga ke Semarang bukan untuk urusan bisnis yang tak bisa ditunda. Tetapi sekedar menengok adik yang baru punya momongan baru plus ziarah ke makam kedua orangtua. Toh bisa kapan saja. Tetapi memang sih lebih nyaman rasanya tanggal itu (kamis, 28 Maret). Karena Jumatnya libur. Sabtu dan Minggu juga.
Rupanya libur yang tiga hari itu, dimanfaatkan oleh ribuan orang untuk mudik barangkali. Sehingga KA penuh. Padahal itu kelas ekonomi. Yang bisnis apalagi. Yang eksekutif, tak tahu aku. Karena aku memang tak ingin tahu, sebab tak sesuai dengan isi kantongku. Terlalu memaksakan.
Tanpa pikir panjang segera aku mengeloyor pergi dari loket itu. Aku batalkan kepergianku ke Semarang. Ditunda, entah sampai kapan. Segera ku-sms adikku, mengabarkan pembatalan itu. Bayangan makan tahu petis dan bandeng presto (makanan khas kota Semarang) ikut sirna dari benakku.
Sambil jalan ke parkiran motor, aku membayangkan daftar tunggu (waiting list) calon haji yang sampai empat, lima tahun ke depan. Ck, ck ck luar biasa. Ternyata penduduk dunia mulai meledak. Semakin banyak. Rasanya semakin sesak hidup di dunia. Buktinya kemacetan hampir di semua sudut jalan protokol, ketika jam sibuk berangkat dan pulang kerja. Wow!
Semua harus antri. Dan harus sabar menunggu antrian. Apalagi jika ingin makan di restoran laris manis, mau tak mau kita harus bersedia dimasukkan dalam daftar antrian. Tak peduli perut sudah menjerit.
Mau buang hajat di toilet umum jika sedang banyak peminatnya pun harus antri. Harus masuk dalam waiting list, meskipun penjaga wc tak pegang catatan.
Untunglah kita untuk shalat lima waktu di masjid, tidak harus masuk waiting list. Karena apa? peminatnya sedikit? Kutak tahu pasti jawabnya. Silahkan Anda jawab sendiri-sendirilah.
Padahal ketika kita malas shalat. Malaikat sudah pasti mencatat diri kita, masuk dalam "waiting list" penduduk Neraka. Wallahu alam bissawab.
Wassalam,
SangPenging@T!
Senin, Maret 04, 2013
Ekspresi Wajah
Aku paling suka melihat adegan slow motion. Karena aku bisa dengan jelas melihat beragam ekspresi wajah. Entah itu di layar tv, layar bioskop atau di layar datar monitor komputer ( misalnya, di Youtobe). Ada yang memancarkan ekspresi kesenangan, kebahagian, amarah dan kekesalan.
Terutama ketika melihat pemain sepakbola sehabis menendang bola ke gawang lawan. Ada semburat gembira dan senyum lebar serta teriakan puas di wajah Messi, ketika tendangannya telak merobek gawang lawan sampai membuat kiper tersungkur nyaris kepalanya membentur gawang. Atau wajah kecewa Christian Ronaldo, sambil mengumpat dan meludah ketika tendangannya melesat cepat tapi meleset setengah cm dari tiang gawang lawan.
Dan dengan slow motion aku juga bisa mengamati dengan cermat, bagaimana gerakan gesit kaki dan tangan seorang aktor pesilat (karateka) saat sedang beraksi, yang kalau dalam gerakan cepat kita penasaran dengan tendangan kilatnya yang mampu merobohkan lawan. Sungguh menakjubkan. Misalnya, saat tendangan kaki Bruce Lee mampir di dada lawan. Atau bogem mentah petinju Rocky (Sylvester Stallone) menghantam pipi lawan.
Slow motion (gerak lambat) tidak hanya bisa dilihat difilm. Dalam kehidupan nyata, pada umumnya gerak lambat dilakoni oleh para pesakitan (contoh penderita asam urat, misalnya saat asam uratku kambuh wow sulit betul bergerak cepat) dan orang-orang jompo.
Orang yang tak punya semangat hidup juga kerap mempertontonkan gerak lambat. Mulai dari berpikir yang lambat, istilahnya "lemot". Juga sorot matanya layu. Jika diperintah, geraknya lamban. Diberi minuman berenergi juga nggak nge-fek (tidak berpengaruh). Tidak nge-Joss, begitu kata bahasa iklan.
Jika hidup mau sukses, kata orang sukses, jangan suka menunda-nunda. Harus gerak cepat! siapa yang lambat bakal ketinggalan. Orang lain sudah punya rumah, mobil dan motor. Sementara orang yang "slow motion" masih tetap ngontrak, dan naik angkot.
Mulai dari sekarang yuk kita tampilkan wajah kita dalam ekspresi orang sukses. Seperti apa? ya tampilkan wajah kita, dengan ekspresi yang penuh percaya diri. Sorot mata yang tidak kuyu, layu. Tapi sorot mata yang tegas. Mulut mengembangkan senyum, bukannya manyun. Jauhkan tampilan wajah cemburut.
Saat shalat jangan slow motion tapi jangan juga terburu-buru. Yang pas sajalah. Yang wajar-wajar saja. Ketika berwudhu juga begitu, jangan tergesa-gesa. Nikmati setiap tetesan air yang membasahi wajah kita. Niscaya dengan wudhu baik, kita bisa menampilkan ekspresi wajah yang mempesona. Ck, ck ck kayak bahasa iklan nih.
Ya gitu deh, maklum kadang-kadang aku masih merasa sebagai orang iklan (lulusan DiskomVis ISI Yogyakarta gitu loh, hehehe...).
Tetapi kini, aku ingin lebih fokus menjadi orang iklan yang bicara soal agama Islam. Tidak melulu memperhatikan produk dan jasa yang berseliweran di depan mataku. Seleraku lebih bersemangat jika bicara soal akhirat. Wow!
Wassalam,
SangPenging@T!
Terutama ketika melihat pemain sepakbola sehabis menendang bola ke gawang lawan. Ada semburat gembira dan senyum lebar serta teriakan puas di wajah Messi, ketika tendangannya telak merobek gawang lawan sampai membuat kiper tersungkur nyaris kepalanya membentur gawang. Atau wajah kecewa Christian Ronaldo, sambil mengumpat dan meludah ketika tendangannya melesat cepat tapi meleset setengah cm dari tiang gawang lawan.
Dan dengan slow motion aku juga bisa mengamati dengan cermat, bagaimana gerakan gesit kaki dan tangan seorang aktor pesilat (karateka) saat sedang beraksi, yang kalau dalam gerakan cepat kita penasaran dengan tendangan kilatnya yang mampu merobohkan lawan. Sungguh menakjubkan. Misalnya, saat tendangan kaki Bruce Lee mampir di dada lawan. Atau bogem mentah petinju Rocky (Sylvester Stallone) menghantam pipi lawan.
Slow motion (gerak lambat) tidak hanya bisa dilihat difilm. Dalam kehidupan nyata, pada umumnya gerak lambat dilakoni oleh para pesakitan (contoh penderita asam urat, misalnya saat asam uratku kambuh wow sulit betul bergerak cepat) dan orang-orang jompo.
Orang yang tak punya semangat hidup juga kerap mempertontonkan gerak lambat. Mulai dari berpikir yang lambat, istilahnya "lemot". Juga sorot matanya layu. Jika diperintah, geraknya lamban. Diberi minuman berenergi juga nggak nge-fek (tidak berpengaruh). Tidak nge-Joss, begitu kata bahasa iklan.
Jika hidup mau sukses, kata orang sukses, jangan suka menunda-nunda. Harus gerak cepat! siapa yang lambat bakal ketinggalan. Orang lain sudah punya rumah, mobil dan motor. Sementara orang yang "slow motion" masih tetap ngontrak, dan naik angkot.
Mulai dari sekarang yuk kita tampilkan wajah kita dalam ekspresi orang sukses. Seperti apa? ya tampilkan wajah kita, dengan ekspresi yang penuh percaya diri. Sorot mata yang tidak kuyu, layu. Tapi sorot mata yang tegas. Mulut mengembangkan senyum, bukannya manyun. Jauhkan tampilan wajah cemburut.
Saat shalat jangan slow motion tapi jangan juga terburu-buru. Yang pas sajalah. Yang wajar-wajar saja. Ketika berwudhu juga begitu, jangan tergesa-gesa. Nikmati setiap tetesan air yang membasahi wajah kita. Niscaya dengan wudhu baik, kita bisa menampilkan ekspresi wajah yang mempesona. Ck, ck ck kayak bahasa iklan nih.
Ya gitu deh, maklum kadang-kadang aku masih merasa sebagai orang iklan (lulusan DiskomVis ISI Yogyakarta gitu loh, hehehe...).
Tetapi kini, aku ingin lebih fokus menjadi orang iklan yang bicara soal agama Islam. Tidak melulu memperhatikan produk dan jasa yang berseliweran di depan mataku. Seleraku lebih bersemangat jika bicara soal akhirat. Wow!
Wassalam,
SangPenging@T!
Minggu, Maret 03, 2013
Supir Taxi
Ternyata supir taksi punya segudang kisah. Kisah-kisah dari sejumlah penumpangnya. Ada kisah sedih yang memilukan. Ada kisah yang bikin hati gemas. Ada kisah menyenangkan. Ada pula kisah yang bikin jantung berdebar kencang. Entah itu ketika leher ditempeli sebilah pisau tajam. Atau rayuan jablay (wanita malam) yang mau memberi layanan gratis buat ongkos taksinya.
Ya ya ya... begitulah ternyata kehidupan. Bangku taksi jika bisa bercerita, boleh jadi seperti tak ada habis-habisnya. Berapa banyak bokong yang sudah menempel di jok sebuah taksi yang laris manis. Mulai dari bokong pejabat sampai pantatnya penjahat. Juga pantat sexy kupu-kupu malam.
Mas, godaan jadi supir taksi beratnya minta ampun. Apalagi jika sedang dinas malam. Wanita-wanita malam itu dandanannya amat minim, parfumnya bikin nafsu. Ternyata banyak juga ya wanita asing yang menjual diri di ibukota ini. Begitulah ujar seorang teman yang jadi supir taksi eksekutif. Warna taksinya hitam.
Taksinya suka dibooking oleh wanita-wanita sexy dari vietnam, uzbekistan, thailand, dan china. Wow!! Jalur antarannya adalah dari sebuah apartemen mewah sampai ke nightclub, tempatnya mereka menawarkan surga dunia.
Kalau iman tidak kuat, dunia taksi bisa mengantarkan ke neraka. Ah, terlalu bombastis kata-kata ini. Tetapi begitulah faktanya. Tetapi apapun profesinya, kuncinya adalah iman yang terjaga. Insya Allah selamat dunia dan akhirat. Meskipun, profesinya pemulung sekalipun bisa tergelicir masuk Jahannam. Jika dia malas shalat, suka main perempuan malam kelas ekonomi (pinggir jalan).
Hmmm... mata lelaki maunya diajak maksiat! Hati-hati.
Berat nian menempuh jalan yang lurus.
Wassalam,
SangPenging@T
Ya ya ya... begitulah ternyata kehidupan. Bangku taksi jika bisa bercerita, boleh jadi seperti tak ada habis-habisnya. Berapa banyak bokong yang sudah menempel di jok sebuah taksi yang laris manis. Mulai dari bokong pejabat sampai pantatnya penjahat. Juga pantat sexy kupu-kupu malam.
Mas, godaan jadi supir taksi beratnya minta ampun. Apalagi jika sedang dinas malam. Wanita-wanita malam itu dandanannya amat minim, parfumnya bikin nafsu. Ternyata banyak juga ya wanita asing yang menjual diri di ibukota ini. Begitulah ujar seorang teman yang jadi supir taksi eksekutif. Warna taksinya hitam.
Taksinya suka dibooking oleh wanita-wanita sexy dari vietnam, uzbekistan, thailand, dan china. Wow!! Jalur antarannya adalah dari sebuah apartemen mewah sampai ke nightclub, tempatnya mereka menawarkan surga dunia.
Kalau iman tidak kuat, dunia taksi bisa mengantarkan ke neraka. Ah, terlalu bombastis kata-kata ini. Tetapi begitulah faktanya. Tetapi apapun profesinya, kuncinya adalah iman yang terjaga. Insya Allah selamat dunia dan akhirat. Meskipun, profesinya pemulung sekalipun bisa tergelicir masuk Jahannam. Jika dia malas shalat, suka main perempuan malam kelas ekonomi (pinggir jalan).
Hmmm... mata lelaki maunya diajak maksiat! Hati-hati.
Berat nian menempuh jalan yang lurus.
Wassalam,
SangPenging@T
Jumat, Maret 01, 2013
Kultum
Seperti biasanya setiap malam Jumat ada pengajian surah Yaasin di Masjid Darul Muttaqin. Dan seperti biasanya pula aku "pura-pura" tidak bersedia memberi kultum. Padahal mau tapi malu. Karena aku menyadari ilmu agamaku masih cetek.
Sehingga ketika berangkat ke masjid dekat rumah itu, aku hampir selalu tanpa persiapan walau sekedar secarik kertas. Tetapi biasanya aku sambil jalan ke masjid, senantiasa berdoa kepada Tuhan semoga diberi ide materi kultum yang bagus.
Niatku di malam Jumat, ingin mengaji Yaasiin berjamaah. Kadangkala ditambah surah Al Kahfi, atau Al Waaqiah, atau Ar Rahmaan. Sehingga tersisa tinggal beberapa menit saja menjelang shalat Isya. Jadinya tak ada ruang untuk kultum. Nah, dengan begitu aku bisa merasa lega karena aku tak perlu memberikan kultum.
Kenapa "pura-pura"? Sebab kalau dinyatakan tegas bahwa aku tak bersedia, tapi kok dalam hati pengin banget ngasih kultum. Oleh karena kuanggap "kultum" itu sebagai media latihan bagiku untuk berani bicara di depan umum.
Dan "kultum" itu pun dulu aku yang menyarankan. Sebagai sarana berbagi ilmu agama di antara para jamaah. Sekaligus sebagai siraman rohani. Walaupun hanya setetes ilmu, paling tidak adalah manfaatnya. Disamping untuk mengisi waktu luang menjelang shalat Isya, barang sekitar lima belas menit. Jadi malam Jumat tidak hanya sekedar mengaji surah Yaasiin saja. Tapi sayang tawaran itu tak bersambut. Alias tidak ada yang mau memanfaatkan media "kultum" sebagai sarana "sharing" ilmu agama. Akibatnya yang mengisi kultum kalau tidak pak Ustadz Juremi, ya akulah.
Namun ketika ditunjuk dan diberi waktu untuk menyampaiakan "kultum" oleh pak Ustadz Juremi, aku kerap berbasa-basi memberikan kesempatan itu kepadanya. Tapi beliaunya lebih sering menolak. Akibatnya "4L" deh. Apa itu? Lu Lagi, Lu Lagi. Hehehe....
Untuk menghindari kejenuhan jamaah, kadangkala ya itu tadi sehabis membaca Yaasiin langsung ditambah surah-surah yang lain. Lebih tepatnya, jika pak Juremi dan aku sedang tidak mood memberi kultum.
Tapi jika ada kultumnya maka cukup membaca surah Yaasiin saja. Nah kalau sudah ada isyarat aku harus ngasih kultum mulai deh aku memutar otak, cari-cari materi kultum dalam htungan detik sebelum atau sesudah surah Yaasiin dibaca oleh para jamaah.
Kadangkala saat mulutku sedang membaca Yaasiin, pikiranku melayang menggapai-gapai ide yang pas untuk kujadikan materi kultum. Di antara kumandang bacaan Yaasiin, suka ada ide bagus yang mampir di kepalaku. Yang kadang aku suka terkagum-kagum sendiri. Padahal nggak tahu deh jamaah kagum atau tidak. Boleh jadi mereka malah saling berbisik, "ah, biasa saja tuh materinya. Kuno! Itu lagi, itu lagi mbosenin tahu!"
Contohnya ide bagus yang kumaksud itu. Seperti yang kusampaikan dalam kultum tadi malam Jumat (28 Februari 2013). Materi pembicaraannya bab "Pahala atau Duit?".
Para motivator senantiasa berbicara dan menulis tentang sukses dunia. Itu artinya sukses dalam mengumpulkan kekayaan dan bisa hidup bahagia. Fokusnya adalah kemasyhuran. Tujuan utamanya bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Setiap gerak langkah kita, ukurannya duit, duit, duit. Titik.
Memang sih nggak ada yang salah jika fokusnya "duit". Boleh saja, asal cara mencarinya kudu sesuai kaidah hukum dan agama. Dan menggunakannya pun terukur tidak jor-joran alias boros. Mana yang jatahnya yatim harus disisihkan, jangan juga dimakan.
Nah, aku tawarkan bagaimana kalau kita sekarang fokusnya dalam setiap gerak langkah kita adalah "PAHALA"? What? begitu kata Anda, begitu juga kata jamaah sambil wajahnya memancarkan keingintahuannya yang mendalam.
Artinya begini. Alangkah baiknya sebelum kita bertindak, kita ajukan pertanyaan dalam hati semacam ini; "Perbuatanku ini mendatangkan pahala atau tidak ya?" terlebih dulu. Kalau tidak? Tinggalkan saja!
Bukannya, pertanyaan yang seperti biasanya, seperti ini misalnya "Perbuatanku ini duitnya ada nggak ya?" Setuju?
Dan kalau fokusnya "pahala", melatih kita untuk tidak pamrih kepada manusia tetapi pamrihnya kepada yang menciptakan manusia, yaitu Allah Swt.
Contohnya. Ada mobil mogok di pinggir jalan. Sopirnya sendirian saja, tak ada kawannya. Dia butuh pertolongan orang untuk mendorong mobilnya. Lalu ada empat orang pemuda datang mendorong mobil itu. Setelah didorong, mobil pun bisa hidup lagi. Bruuummm.....bruuummm, sopirnya bilang "makasih mas!" langsung tancap gas. Daaagggg....
Bagaimana reaksi keempat pemuda itu? Yang fokusnya "duit", jelas kecewa. Memaki, so pasti. Yang fokusnya "pahala"? Merasa puas karena bisa menolong orang yang kesusahan, walau hanya mendapat ucapan "terima kasih" dari si sopir. Pertanyaannya, bagaimana sikap Anda?
Duit atau pahala? Sebuah pilihan yang sulit memang. Maunya sih dua-duanya pahala dan duit. Oh itu mah jelas, aku juga mau. Yang pasti, keduanya harus ditempatkan pada tempat yang pas.
Namun kutegaskan lagi, kalau fokus kita "pahala" rasa-rasanya gak bakal rugi deh. Masak sih Allah, menelatarkan kita yang senantiasa gigih mengumpulkan pahala, dengan mencari ridho-Nya. Dengan cara beramal shaleh dan beribadah yang tulus. Ingat! "PAHALA" adalah tiket untuk masuk surga. Wallahu alam bissawab.
Wassalam,
SangPenging@T!
Sehingga ketika berangkat ke masjid dekat rumah itu, aku hampir selalu tanpa persiapan walau sekedar secarik kertas. Tetapi biasanya aku sambil jalan ke masjid, senantiasa berdoa kepada Tuhan semoga diberi ide materi kultum yang bagus.
Niatku di malam Jumat, ingin mengaji Yaasiin berjamaah. Kadangkala ditambah surah Al Kahfi, atau Al Waaqiah, atau Ar Rahmaan. Sehingga tersisa tinggal beberapa menit saja menjelang shalat Isya. Jadinya tak ada ruang untuk kultum. Nah, dengan begitu aku bisa merasa lega karena aku tak perlu memberikan kultum.
Kenapa "pura-pura"? Sebab kalau dinyatakan tegas bahwa aku tak bersedia, tapi kok dalam hati pengin banget ngasih kultum. Oleh karena kuanggap "kultum" itu sebagai media latihan bagiku untuk berani bicara di depan umum.
Dan "kultum" itu pun dulu aku yang menyarankan. Sebagai sarana berbagi ilmu agama di antara para jamaah. Sekaligus sebagai siraman rohani. Walaupun hanya setetes ilmu, paling tidak adalah manfaatnya. Disamping untuk mengisi waktu luang menjelang shalat Isya, barang sekitar lima belas menit. Jadi malam Jumat tidak hanya sekedar mengaji surah Yaasiin saja. Tapi sayang tawaran itu tak bersambut. Alias tidak ada yang mau memanfaatkan media "kultum" sebagai sarana "sharing" ilmu agama. Akibatnya yang mengisi kultum kalau tidak pak Ustadz Juremi, ya akulah.
Namun ketika ditunjuk dan diberi waktu untuk menyampaiakan "kultum" oleh pak Ustadz Juremi, aku kerap berbasa-basi memberikan kesempatan itu kepadanya. Tapi beliaunya lebih sering menolak. Akibatnya "4L" deh. Apa itu? Lu Lagi, Lu Lagi. Hehehe....
Untuk menghindari kejenuhan jamaah, kadangkala ya itu tadi sehabis membaca Yaasiin langsung ditambah surah-surah yang lain. Lebih tepatnya, jika pak Juremi dan aku sedang tidak mood memberi kultum.
Tapi jika ada kultumnya maka cukup membaca surah Yaasiin saja. Nah kalau sudah ada isyarat aku harus ngasih kultum mulai deh aku memutar otak, cari-cari materi kultum dalam htungan detik sebelum atau sesudah surah Yaasiin dibaca oleh para jamaah.
Kadangkala saat mulutku sedang membaca Yaasiin, pikiranku melayang menggapai-gapai ide yang pas untuk kujadikan materi kultum. Di antara kumandang bacaan Yaasiin, suka ada ide bagus yang mampir di kepalaku. Yang kadang aku suka terkagum-kagum sendiri. Padahal nggak tahu deh jamaah kagum atau tidak. Boleh jadi mereka malah saling berbisik, "ah, biasa saja tuh materinya. Kuno! Itu lagi, itu lagi mbosenin tahu!"
Contohnya ide bagus yang kumaksud itu. Seperti yang kusampaikan dalam kultum tadi malam Jumat (28 Februari 2013). Materi pembicaraannya bab "Pahala atau Duit?".
Para motivator senantiasa berbicara dan menulis tentang sukses dunia. Itu artinya sukses dalam mengumpulkan kekayaan dan bisa hidup bahagia. Fokusnya adalah kemasyhuran. Tujuan utamanya bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Setiap gerak langkah kita, ukurannya duit, duit, duit. Titik.
Memang sih nggak ada yang salah jika fokusnya "duit". Boleh saja, asal cara mencarinya kudu sesuai kaidah hukum dan agama. Dan menggunakannya pun terukur tidak jor-joran alias boros. Mana yang jatahnya yatim harus disisihkan, jangan juga dimakan.
Nah, aku tawarkan bagaimana kalau kita sekarang fokusnya dalam setiap gerak langkah kita adalah "PAHALA"? What? begitu kata Anda, begitu juga kata jamaah sambil wajahnya memancarkan keingintahuannya yang mendalam.
Artinya begini. Alangkah baiknya sebelum kita bertindak, kita ajukan pertanyaan dalam hati semacam ini; "Perbuatanku ini mendatangkan pahala atau tidak ya?" terlebih dulu. Kalau tidak? Tinggalkan saja!
Bukannya, pertanyaan yang seperti biasanya, seperti ini misalnya "Perbuatanku ini duitnya ada nggak ya?" Setuju?
Dan kalau fokusnya "pahala", melatih kita untuk tidak pamrih kepada manusia tetapi pamrihnya kepada yang menciptakan manusia, yaitu Allah Swt.
Contohnya. Ada mobil mogok di pinggir jalan. Sopirnya sendirian saja, tak ada kawannya. Dia butuh pertolongan orang untuk mendorong mobilnya. Lalu ada empat orang pemuda datang mendorong mobil itu. Setelah didorong, mobil pun bisa hidup lagi. Bruuummm.....bruuummm, sopirnya bilang "makasih mas!" langsung tancap gas. Daaagggg....
Bagaimana reaksi keempat pemuda itu? Yang fokusnya "duit", jelas kecewa. Memaki, so pasti. Yang fokusnya "pahala"? Merasa puas karena bisa menolong orang yang kesusahan, walau hanya mendapat ucapan "terima kasih" dari si sopir. Pertanyaannya, bagaimana sikap Anda?
Duit atau pahala? Sebuah pilihan yang sulit memang. Maunya sih dua-duanya pahala dan duit. Oh itu mah jelas, aku juga mau. Yang pasti, keduanya harus ditempatkan pada tempat yang pas.
Namun kutegaskan lagi, kalau fokus kita "pahala" rasa-rasanya gak bakal rugi deh. Masak sih Allah, menelatarkan kita yang senantiasa gigih mengumpulkan pahala, dengan mencari ridho-Nya. Dengan cara beramal shaleh dan beribadah yang tulus. Ingat! "PAHALA" adalah tiket untuk masuk surga. Wallahu alam bissawab.
Wassalam,
SangPenging@T!
Langganan:
Postingan (Atom)