Adsense

Sabtu, Oktober 27, 2018

Dua Puluh Lima Tahun

Aku menemukan tulisan ini di draf blogku. Aku ingin delete, tapi sayang ah. Makanya aku terbitkan sajalah sekarang. Selamat membaca, kawan.

Di bulan Mei tahun 2011 ini, aku berumur setengah abad kurang setahun. Hmm… sebuah usia yang patut disyukuri. Berarti sudah 49 tahun aku menikmati hidup di dunia yang fana ini. Sudah banyak kurasakan asam garamnya kehidupan. Plus manis pahitnya kehidupan pun sudah kureguk.

Pengalaman yang manis dan tak terlupakan seakan ingin kuulangi lagi, tapi itu tak mungkin. Misalnya; ketika setiap hari Jum’at aku dan adikku menumpang vespa bersama ayahku (kami biasa memanggilnya ;bapak), pergi bersama ke suatu masjid di Pontianak dulu; atau ketika kami pergi sekeluarga makan soto Madura di warung favorit ayah, pada hari minggu. Kami pergi dengan Jeep willys kebanggaan ayah. Bapak yang nyetir.

Atau makan opor ayam plus ketupat bikinan ibunda tercinta di setiap lebaran tiba. Makan ayam di jaman dulu, adalah suatu kemewahan. Dan seingatku hanya bisa dinikmati di hari Raya saja. Hmm, nikmatnya bukan main.

Aku ingat di hari ulang tahunku entah yang keberapa, dulu waktu SD, ayah membelikan sekotak pinsil warna. Hatiku girang bukan kepalang. Aku jadi semangat menggambar.

Pengalaman pahit yang membuat hati ini terguncang tak sudi aku mengingatnya, namun kadang sesekali muncul dalam benak pikiranku.
Rasanya ingin kupatahkan tangan dan kuludahi muka pemuda berkacamata yang pernah menampar keras pipi kiriku. Peristiwa itu terjadi di Magelang. Ketika itu aku masih SMP kelas tiga. Suatu siang, aku naik sepeda mini melaju kencang di atas trotoar.
Tiba-tiba pemuda itu, mengeluarkan vespanya. Walau sudah berusaha keras aku mengerem, tetap saja sepedaku menabrak bodi vespanya. “…Brakk!” Namun tak ada lecet yang kulihat. Kemudian dia memarkirkan vespanya, lalu menghampiriku. Tanpa babibu, “PraAK!” pipiku ditamparkannya. Sakit sekali rasanya. Pedih! Tapi aku tak menangis. Jijik aku melihat matanya. Matanya bak mata setan!

Kalau saja saat itu aku memegang senapan AK 47, niscaya sudah hilang nyawanya. Tapi tidak. Justru harga diriku yang nelangsa. Dendamku tak pernah sirna hingga hari ini. Namun aku berusaha keras untuk memaafkannya, namun hatiku memberontak!

***

Dua puluh lima tahun yang lampau…

Itu artinya aku berada di tahun 1986. Usiaku 24 tahun. Berada di semester tujuh Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Wajahku tampan (begitu kata cewek cantik yang menaksirku). Di tahun itu aku sibuk melaksanakan tugas KKN di wilayah Dukuh Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Aku hidup sebagai anak kost. Senangnya menyendiri. Tidak mudah akrab kepada orang yang baru kukenal, bila hatiku memberi sinyal tak mengenakkan. Kurang suka berorganisasi. Aku pernah ingin masuk HMI, tapi ayahku melarang.
Kemudian aku lulus tahun 1987, dan diwisuda tahun 1988. Ijazah sarjana hanya sebentar kubanggakan. Karena kubaru tahu. Yang penting kemampuan diri, bukan selembar ijazah.
Ayahku menawarkan untuk melamar di Dep. Pendidikan. Dia punya kenalan baik di sana. Jadi PNS? Aku tak berminat, karena dulu gajinya kecil. Sarjana S1 yang baru masuk kerja digaji Rp 175.000,-/bulan. Di swasta bisa berkali lipat.

***

Hari ini…

Ayahku bukan tipe otoriter. Aku diberi kebebasan memilih kuliah dan bekerja. Dia sekedar mengarahkan. Aku ingat dulu, dia ingin aku jadi seorang diplomat. Makanya sebelum di ISI aku sempat kuliah di Unas, Jurusan Hubungan Internasional.
Sesungguhnya tidak ada orangtua yang ingin melihat anaknya hidup sengsara. Mereka mau anak-anaknya berhasil dalam hidupnya. Diberikan fasilitas yang mampu diberikannya.
Dan hari ini, jadi PNS adalah keberuntungan. Di era SBY, paling rendah gajinya PNS di atas satu juta rupiah! Ternyata jadi karyawan swasta punya resiko tinggi di PHK. Jadi PNS, kecil resiko dipecat, kecuali anda punya kesalahan besar di mata hukum.
Penyesalanku hari ini, aku tidak jadi PNS. Mungkin dari jauh ayahku berkata, “Rasakan! Pilihan karirmu…” Ah.. itu mungkin perasaan jelekku sendiri saja.
Keberuntunganku hari ini aku masih hidup sebagai manusia yang beragama Islam, beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. “Yaa Rabb, jangan cabut nikmat iman dan taqwa ini, semoga aku bisa mati dalam keadaan khusnul khatimah… amiin”
Dan kini aku masih bisa berkarya menyalurkan kebisaanku dalam bidang desain grafis di Trikasa Digital Printing. Plus diberi karunia oleh Allah, mampu menulis dan melukis. Aku harus memaksimalkan kemampuan dan kesempatan yang ada! Dua hal ini harus bisa mengisi pundi-pundiku agar aku tidak jadi kere! Tapi jadi manusia kaya yang bermanfaat bagi banyak orang. Semakin rajin bersedekah dan tidak kikir!
Keberuntungan yang besar, istriku mau menjadi abdi negara. Istri yang sholehah. Tidak banyak tuntutan. Dan dua anak-anakku tumbuh sehat. Ibadahnya lumayan rajin. Semoga kelak menjadi manusia sholeh dan sholehah. Tapi yang menjadi kekhawatiranku adalah pilihan perguruan tinggi, anak sulungku. Aku berdoa semoga dia tidak salah pilih…

***

Dua puluh lima tahun yang akan datang …

Itu artinya aku berada di tahun 2036. Jika masih hidup, usiaku 74 tahun. Berada di kota mana tak tahu aku. Wajahku sudah tak tampan lagi. Mungkin rambut sudah seperti seputih kapas. Tenaga sudah loyo. Kulit pun sudah keriput.
Selera mungkin sudah mulai berkurang. Yang jelas aku ingin semakin terus mendekatkan diri kepada Allah saja. Menjalankan segala perintahNya dan meninggalkan segala laranganNya. Dan kuingin semakin getol mengumpulkan bekal buat pulang ke kampung akhirat.
Itu kalau masih hidup di dunia. Nah jika sudah meninggalkan dunia ini, bagaimana?
Penyesalan ketika sudah di kubur. Tak ada artinya lagi. Sejuta pertanyaan berhamburan menyergap orang-orang yang dicemplungkan ke dalam neraka; “Mengapa bekalku dulu tak banyak? Mengapa dulu jarang shalat? Mengapa dulu jarang sedekah, zakat dan berinfak? Mengapa dulu sering ke tempat maksiat? Mengapa dulu jarang mendengarkan nasehat ulama, ustadz, kyai? Mengapa dulu jadi orang kafir?”…
Dan tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar memekakkan telinga para calon penghuni neraka;
“Mengapa dulu kalian tak pernah membaca Al Qur’an! Hah, dasar manusia idiot!!” bentak malaikat penjaga neraka dengan geramnya.
“Kalian pikir Allah pura-pura dengan ancaman neraka jahanam ini! Hah!”
“Apa kalian belum tahu, bahwa Tuhan manusia itu hanyalah Allah Swt.. bukan tuhan-tuhan yang lain yang menurut persangkaan kalian saja! Hah!”
“Kalian makan enak, berpesta pora… sementara fakir miskin, yatim piatu kalian biarkan kelaparan!”
“Apa kalian belum pernah dengar, perintah Allah untuk memberi makan mereka? Hah!”
“Dasar manusia tuli, budeg!”
“Sana Masuk NerakAA!”
“Hari ini tiada guna, kalian minta keringanan hukuman!”
Tiba-tiba adzan dhuhur berkumandang masuk ke gendang telingaku. Aku gemetar. Aku tersadar, mumpung masih hidup aku harus jadi orang yang menempuh jalan yang benar. Agar tidak tersesat menempuh jalan ke NERAKA JAHANAM!
Aku ingin meniti jalan ke SURGA.

Jakarta, 21 Mei 2011
m.fajar irianto, ssn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar