11 Juni 1983, ada gerhana matahari total. Melewati kawasan candi Borobudur. Wow! Turis-turis dari luar negeri berbondong-bondong ke sana. Tetapi masyarakat yang tinggal di kawasan itu justru masuk rumah dan menutup pintu dan jendela. Ah! ada yang bilang ini pembodohan rakyat.
Waktu itu eranya pemerintahan Soeharto. Perintahnya warga jangan ada yang melihat gerhana. Berbahaya nanti bisa buta. Akhirnya sebagian besar warga patuh. Padahal untuk tempat yang sama baru akan dilewati lagi gerhana sekitar 350 tahun kemudian. Lama betul.
Saat itu aku sedang kuliah di semester 2 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ini kesempatan emas. Tapi aku bingung harus lihat gerhana itu di Borobudur atau di Magelang? Aku putuskan pulang ke rumah eyang Rispandi di Magelang. Sehari sebelum gerhana aku pergi ke Magelang. Aku tinggalkan Yogyakarta, sebab tidak ada kuliah.
Nah tibalah saatnya menyaksikan gerhana. Aku lihat siaran langsungnya di TVRI. Rasa penasaranku, aku keluar rumah. Aku sempat melihat proses gerhana lewat air yang kutaruh di dalam baskom. Begitu alam menjadi gelap, seperti gelapnya waktu magrib. Ayam terdengar berkokok saling bersahutan.
Akhirnya aku iseng aku menengok ke atas dengan mata telanjang. Wow! matahari memancarkan cahayanya berwarna putih cemerlang sama seperti aku sedang menatap sinar lampu Blitz kamera. Pas aku lihat bertepatan bulan sedang beringsut dari matahari. Seperti layaknya mata cincin dari berlian, tampak berkilauan.
Sekarang 9 Maret 2016. Gerhana Matahari Total terjadi kembali dan aku punya kesempatan untuk menyaksikannya di Jakarta. Walaupun tidak total betul, alias 88% saja.
Alhamdulillah, aku bisa menyaksikan GMT walau lewat sepotong stiker kuning. Sangat menakjubkan. Aku shalat gerhana matahari bersama jamaah masjid Daarul Muttaqin. Imamnya ustadz Abdurrahman. Guru ngajiku. Dua rakaat, dua ruku masing rakaatnya. bacaannya surah An Naba, An Naziiat dan rakaat kedua membaca surah al Lail dan al Ghasyiyah. Mantap. bacaan ruku dan sujudnya juga lama yang biasanya membaca Subhana robbiyal adzhim wa bihamdih cukup tiga kali, dalam shalat sunnah gerhana dibaca 30 kali pada ruku pertama. Lalu jumlahnya berkurang di ruku yang kedua, ketiga dan keempat. Yakni jadi 25, 20 dan 15 kali.
Sungguh berkesan shalat gerhana yang tadi pagi jam 6.30 aku laksanakan (dirikan). Sebab mungkin saja ini yang terakhir (?). Karena gerhana matahari yang melewati Indonesia akan terjadi lagi nanti 20 April 2023, masih tanda tanya apakah aku masih bisa menyaksikannya (mengalaminya).
Hari ini kebetulan libur, bersamaan dengan libur hari raya Nyepi. Habis lihat gerhana, hmm... kesempatan untuk merevisi MyBook lagi. Semakin cantik saja myBook!
Mudah-mudahan minggu depan sudah bisa diantar ke distributor untuk dicek isinya.
Di bawah ini adalah photo saat aku melihat GMT sepuas-puasnya dan photo gerhana yang sudah ku-edit. Kalau tidak di-edit gambarnya jelek. Maklum photo dari kamera HP. Ini semacam aksi balas dendam karena pada tahun 1983 aku tidak bisa menyaksikan GMT dengan leluasa. Hehehe...
Wassalam,
SangPenging@T!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar