Adsense

Minggu, Agustus 10, 2014

Aje Gile, Lebaran Hari Kedua Nyawaku Terancam

Wajahnya memancarkan air muka keras,bagai preman. Gaya bicaranya seperti orang setengah mabuk. Matanya sedikit memerah. Profesinya sebagai supir taksi. Usianya mungkin seusiaku, 50 tahunan. Namanya sebut saja Fulan (bukan nama sebenarnya).

Setiap acara buka puasa bersama (bukber) di selasar masjid Darul Muttaqin tak pernah dilewatkannya. Kalau kebetulan aku ngasih kultum, terlihat dia menyimaknya.

Berikut ini kisah nyatanya.

Sebelum azan Dhuhur berkumandang di Lebaran hari kedua, Selasa, 29 Juli 2014, aku sudah beranjak dari kursi di depan komputerku. Komputer aku sleep mode. Lalu aku melangkahkan kakiku ke masjid. Niatnya sih ingin azan.

Masuk ke dalam masjid suasana masih sepi. Hanya ada, Fulan, lalu ada pak Matsani mantan tukang bakso gerobak. Ada pak Slamet, mantan irjen depag. Lalu ada tiga orang lagi tak kuingat siapa.

Jam LED penunjuk waktu shalat lima waktu, yang menempel di belakang mimbar, menunjukkan angka 11.55. Berarti masih ada enam menit lagi masuk waktu Dhuhur. Kulihat si Fulan sibuk sendiri, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pak Yahya, sang muadzin tidak hadir, makanya dia leluasa bertingkah.

Mula-mula dihidupkannya saklar di tembok yang berhubungan langsung dengan perangkat sound system. Mulailah dia test suara mic-nya. Bukan dengan suara, tetapi dengan cara mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke muka mike. Mulai dari mic buat adzan, sampai mic buat kutbah di atas mimbar, tak luput diketuknya.

Aku tegur dia dengan suara pelan, agar tidak melakukan hal itu. Karena mengetuk-ngetuk mic bisa merusak mic. Pak Matsani, bilang ke aku, "ah, orang dia budeg mana denger!". Lantas suaraku aku tinggikan volumenya, "Heh pak, itu mic jangan diketuk2! bisa rusak".

Mendengar suaraku meninggi, dia rupanya tak terima. Dibalasnya dengan kata-kata lebih keras, "Heh, ini masjid ada pengurusnya, ada biayanya kalau rusak. Itu bukan urusan lu!". Langsung aku jawab, "bukan begitu, itu mic bisa rusak kalau diketuk-ketuk seperti itu"

"Diam lu!"... hardiknya seraya matanya melotot kearahku. Tetap menyerocos terus dia, sambil duduk lima meter di depanku. Masih terus nyerocos, padahal mulutku sudah berhenti. Aku tak ingin bertempur dengannya. Aku kemukakan lagi alasan mengapa jangan diketuk mic-nya. Lebih keras dia menghardikku, kata-katanya masih serupa, "Diam lu!"

Masya Allah, aku sudah diam. Dia masih terus bicara ngalor-ngidul. Akhirnya aku ambil tindakan pamungkas yang kupikir bisa menyumpal mulutnya itu. Aku ambil akting bagai pesilat sedang pasang kuda-kuda buat menyerang musuh. Tapi tetap posisiku dalam keadaan duduk.

Tangan kiri aku angkat agak kebelakang lima jariku terkepal mantap seakan ingin menonjok mukanya, lalu tangan kanan aku sorongkan ke depan dengan posisi mengepal tapi satu jari telunjuk aku arahkan ke atas langit masjid, sambil kugoyang-goyangkan sedikit, seolah-olah mengajaknya untuk maju ke arahku. Dan mataku menatap tajam kearah matanya. Setengah melotot. Agar terlihat seram. Mulutku tak bersuara. Tapi mengisyaratkan kata-kata, "jangan ngoceh terus lu, ayo kalau mau tanding!" (hahaha... serius amat bacanya... sok jagoan bener ya...?)

Reaksinya melihat aku bersikap seperti itu. Dia seperti kucing kecebur got. Diam seribu bahasa. Pucat pasi wajahnya. Matanya yang tadi garang jadi kuyu. Dia mulai melemah. Melihat aksiku bak jagoan dari cimande. Aku berpikir, jangan-jangan dia berpikir nih ustadz punya ilmu tenaga dalam apa yaa?

Melihat keadaanya seperti itu, aku kembalikan posisi tubuhku seperti semula, duduk santai bersila bersender di tiang masjid. Eh, tak kusangka dia berulah lagi. Berdiri tegak, maju selangkah lalu diam disitu sambil mulutnya menyalak lantang "Ayo, kalau lu berani ayo kita keluar sekarang juga, gua tunggu!".

Aku tak meladeni tantangannya. Dan berusaha bersikap tenang sambil berkata, "ngapain kita begini (maksudku ada mulut, mau saling duel), kan kemarin kita baru saling maap-maapan?". Dia terdiam lalu ngloyor pergi menghampiri pak Amsari yang baru masuk masjid dan duduk enam meter dariku. Dia ngobrol berdua, entah ngomongin apa?

Bunyi "beep" tanda masuk waktu dhuhur berbunyi. Aku tak bersemangat untuk adzan. Dan ketika shalat, aku jadi nggak khusuk mikirin tantangannya. Repot nih, habis shalat masak ada pertandingan duel di depan masjid. Apa kata dunia? Lebaran-lebaran bukan saling maap-maapan eh malah duel-duelan.

Selesa shalat, lalu do'a lalu mataku menyapu jamaah satu persatu, weh mana nih si Fulan? Ah, jangan-jangan dia ambil belati ke rumah, lalu buat menusukkan dalam duel nanti. Gawat! nyawaku terancam. Betulan ini, pikiran jadi berprasangka buruk terhadapnya.

Untuk mengusir penasaranku atas tantangannya itu, aku ajak salah satu jamaah masjid buat ngobrol sembari menunggu siapa tahu dia datang lagi ke masjid. Kutunggu hampir setengah jam tidak muncul-muncul dia.

Dua hari berlalu aku tak berjumpa dia di masjid. Aku merasa berdosa, jika gara-gara pertengkaran tempo hari ada satu jamaah masjid yang tidak lagi shalat lima waktu di masjid, seperti biasanya. Aku juga terus berpikir, betapa buruknya perangaiku baru aja jadi setengah ustadz kok sudah sok jagoan. Menyesal aku atas tindakanku berkata keras kepadanya.

Sampai pada suatu dhuhur, entah hari keberapa setelah terjadinya peristiwa itu, ketika aku masuk masjid, dari jendela kaca masjid, aku lihat dia sedang duduk di dalamnya. Nah, ini dia saatnya yang kutunggu-tunggu. Untuk apa? Duel lagi? No, no,no...  Aku ingin meminta maaf kepadanya.

Eh, tanpa kusangka-sangka, malah dia yang beranjak dari duduknya, segera menyongsongku ke depan pintu masjid. Lalu dia berkata sambil menyorongkan tangannya untuk berjabat tangan,"pak, maafin saya kemarin ya pak! Aku pun juga bilang "ah, saya yang harus minta maaf"...Sambil aku peluk dia.

Happy Ending Story rupanya. Alhamdulillah, sekarang nyawaku sudah tak terancam lagi olehnya.

Ternyata menjaga emosi itu penting.

Wassalam,
SangPenging@T!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar