Aku ingin menulis novel. Tersulut semangatku gara-gara keranjingan membaca novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Gila! Edan! Luar biasa! sebuah novel yang mengaduk-aduk perasaanku. Pandai nian dikau, Bung Andrea. Kau olah kata-kata jadi suatu kalimat yang indah, yang mampu menggugah dan mengguncang dunia sastra Indonesia.
Kini sudah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa di muka bumi ini. Ck ck ck... dua jempol kuacungi buat kau! Dan diam-diam aku memendam rasa ingin juga seperti kau. Tapi macam mana pula caranya, kawan?
Diam-diam pula aku mulai merangkai kata-kata. Plot cerita sudah jadi. Tinggal mewujudkannya menjadi sebuah novel. Mimpiku sih bisa jadi novel trilogi. Hmmm... mantap! satu saja belum jadi, sudah hendak bikin tiga. Mimpi kau, fajar? Yes, I'm dreaming about that, bro!
Membaca dan menulis. Membaca karya sastra yang kuanggap baik, dan menulis apa yang terlintas di benakku. Sebuah aktivitas yang membangkitkan passion-ku. Menulis novel pertamaku sudah kumulai sejak tanggal 11 Agustus 2014, hari Senin, minggu lalu.
Aku patut bersyukur kepada Ilahi Robbi. Atas karunia yang telah diberikan kepadaku. Apakah ini bakatku? Yang sudah lama kusia-siakan, akibat kemalasanku memulainya. Atau memang karena belum ada pemicunya. Nah, kupikir novel Laskar Pelangi itulah pemicunya. Yang meledakkan semangatku untuk menuangkan apa yang ada dalam benakku ada dalam perasaan hatiku. Yeah! nulis lagi, lagi dan lagi.....
Oh ternyata menulis itu nikmat....
Wassalam,
SangPenging@T!
Adsense
Minggu, Agustus 24, 2014
Rabu, Agustus 13, 2014
Robbin William Tewas Mengenaskan
Artis Hollywood Robbin William ditemukan bunuh diri di kamarnya. Siang, 11 Agustus 2014. Dia tenar. Dia hebat. Dia luar biasa aktingnya. Tapi dia dilanda depresi. Rupanya hidup di dalam film beda jauh dengan kehidupan nyata. Dia mengakhiri hidupnya di usia 63 tahun
Dia bukan aktor yang pertama melakukan bunuh diri. Jadi aktor ataupun aktris tidak bisa dijadikan panutan mutlak. Beda dia di film dengan di kehidupan nyata.
Memang betul bahwa sebagai muslim idola terbaik kita adalah Nabi Muhammad Saw.
Artikel tulisan ini begitu singkat. Yeah seperti kehidupan ini, bukankah juga teramat singkat, Sobat?
Wassalam,
SangPenging@T!
Dia bukan aktor yang pertama melakukan bunuh diri. Jadi aktor ataupun aktris tidak bisa dijadikan panutan mutlak. Beda dia di film dengan di kehidupan nyata.
Memang betul bahwa sebagai muslim idola terbaik kita adalah Nabi Muhammad Saw.
Artikel tulisan ini begitu singkat. Yeah seperti kehidupan ini, bukankah juga teramat singkat, Sobat?
Wassalam,
SangPenging@T!
Bingung
Aku ingin berteriak pada dunia. Dunia yang mana kutak tahu pasti. Tapi sebenarnya kupasti tahu. Ah, membingungkan. Kalimatku rancu, sesuai pikiranku yang kacau ketika menuliskan artikel ini.
Suka-suka aku mau nulis apa. Dan suka-suka kau mau baca atau melewatkannya. Dunia memang sulit dimengerti oleh yang papa. Papa ilmu, papa rasa, paparozi. Ah, membingungkan lagi.
Sudah jelas, baik pakai jilbab. Tapi mengapa dikau lepas jilbab, Marshanda? Dan masih ada beberapa artis lagi yang lepas jilbab. Jangankan artis, tetangga aku aja ada yang buka jilbab. Padahal sudah beberapa bulan yang lalu dia terlihat cantik pakai jilbab. Eh, sekarang kemana-kemana umbar aurat rambut.
Memang manusia sukar dimengerti. Makanya aku ingin berteriak kepada dunia. Tapi dunia mana yang musti aku teriaki.
Memang dunia satu. Tapi dunia itu terbagi ke dalam bagian yang manusia suka-suka membaginya. Ada dunia ilmu pengetahuan, ada dunia musik, ada dunia hitam ada dunia putih, ada dunia iklan ada dunia the haves (orang kaya), ada dunia kaum jelata ada dunia wanita. Oh ternyata ada 1001 macam dunia. Aku tetap masih bingung mau teriak di dunia yang mana.
Ah nggak usah bingung-bingung. Teriak saja di blogspotmu ini. Oh iya yaa...
Oke aku akan teriak sekarang. Tapi bingung aku harus teriak apa?
Wassalam,
SangPenging@T
Suka-suka aku mau nulis apa. Dan suka-suka kau mau baca atau melewatkannya. Dunia memang sulit dimengerti oleh yang papa. Papa ilmu, papa rasa, paparozi. Ah, membingungkan lagi.
Sudah jelas, baik pakai jilbab. Tapi mengapa dikau lepas jilbab, Marshanda? Dan masih ada beberapa artis lagi yang lepas jilbab. Jangankan artis, tetangga aku aja ada yang buka jilbab. Padahal sudah beberapa bulan yang lalu dia terlihat cantik pakai jilbab. Eh, sekarang kemana-kemana umbar aurat rambut.
Memang manusia sukar dimengerti. Makanya aku ingin berteriak kepada dunia. Tapi dunia mana yang musti aku teriaki.
Memang dunia satu. Tapi dunia itu terbagi ke dalam bagian yang manusia suka-suka membaginya. Ada dunia ilmu pengetahuan, ada dunia musik, ada dunia hitam ada dunia putih, ada dunia iklan ada dunia the haves (orang kaya), ada dunia kaum jelata ada dunia wanita. Oh ternyata ada 1001 macam dunia. Aku tetap masih bingung mau teriak di dunia yang mana.
Ah nggak usah bingung-bingung. Teriak saja di blogspotmu ini. Oh iya yaa...
Oke aku akan teriak sekarang. Tapi bingung aku harus teriak apa?
Wassalam,
SangPenging@T
Selasa, Agustus 12, 2014
Mengirim Naskah Bukuku
Kemarin siang aku pergi ke penerbit Lentera Hati. Membawa Dummy buku tulisanku. Harapannya sih, semoga Lentera Hati berminat menerbitkan bukuku itu.
Selepas Dhuhur aku dalam kebimbangan. Mengirimkan naskah itu sekarang atau esok harinya. Kuputuskan sekarang saja. Aku bosan menunda!
Esok paginya kukirim surel (email) lewat website lentera hati. Kutulis bahwa aku kemarin telah mengirim naskah buku ke penerbit Lentera Hati di jalan Kertamukti, di daerah Ciputat. Diterima oleh seorang wanita di bagian recepsionist.
Terus terang ini kiriman naskah ke penerbit berbeda, untuk yang kedua kali. Naskahku ditolak oleh penerbit yang pertama. Mereka bilang, bukunya ke-gede-an formatnya. Waktu itu aku bikin ukuran A4. Judulnya, membingungkan orang awam, katanya. Kalau buat orang iklan sih, mungkin pasti jelas judul itu, walau tanpa penjelasan yang detil.
Dan setelah kukecilkan formatnya jadi setengahnya, lalu judulnya aku ubah, kini aku kirimkan ke penerbit yang lain (Lentera Hati). Nggak tahu nih hasilnya, ditolak lagi atau diterima? Positive thinking aja, Bro!
Pulang dari sana. Hujan deras mengguyur. Untung di bagasi motor ada jas hujan. Lewat lebak bulus, ada bisikan buat mampir ke carrefour. Ah, tidak. Bikin repot saja. Hujan-hujan begini, sempet-sempetnya cuci mata.
Masuk toko, jika dompet tipis. Bikin kheki. Mau beli ini, itu, nggak bisa. Akhirnya cuma bisa berkata dalam hati, "Ntar lo, kapan-kapan gue beli ini barang!". Paling bisanya hanya membatin.
Ternyata nggak punya duit itu, nggak nyaman. Kelebihan duit juga bisa menggelincirkan. Buku laris bikin isi dompet jadi tebal. Itu jelas harapan setiap penulis.
Ah, sudahlah nggak usah berpikir terlalu jauh. Sekarang pikiranku lagi terfokus kepada "menunggu jawaban positif dari penerbit Lentera Hati milik pak Quraish Shihab".
Semoga dapat kabar baik dari sana. Aku yakin kalau Allah meridhoi, pasti dimudahkan jalannya. Aamiin..
Wassalam,
SangPenging@T!
Selepas Dhuhur aku dalam kebimbangan. Mengirimkan naskah itu sekarang atau esok harinya. Kuputuskan sekarang saja. Aku bosan menunda!
Esok paginya kukirim surel (email) lewat website lentera hati. Kutulis bahwa aku kemarin telah mengirim naskah buku ke penerbit Lentera Hati di jalan Kertamukti, di daerah Ciputat. Diterima oleh seorang wanita di bagian recepsionist.
Terus terang ini kiriman naskah ke penerbit berbeda, untuk yang kedua kali. Naskahku ditolak oleh penerbit yang pertama. Mereka bilang, bukunya ke-gede-an formatnya. Waktu itu aku bikin ukuran A4. Judulnya, membingungkan orang awam, katanya. Kalau buat orang iklan sih, mungkin pasti jelas judul itu, walau tanpa penjelasan yang detil.
Dan setelah kukecilkan formatnya jadi setengahnya, lalu judulnya aku ubah, kini aku kirimkan ke penerbit yang lain (Lentera Hati). Nggak tahu nih hasilnya, ditolak lagi atau diterima? Positive thinking aja, Bro!
Pulang dari sana. Hujan deras mengguyur. Untung di bagasi motor ada jas hujan. Lewat lebak bulus, ada bisikan buat mampir ke carrefour. Ah, tidak. Bikin repot saja. Hujan-hujan begini, sempet-sempetnya cuci mata.
Masuk toko, jika dompet tipis. Bikin kheki. Mau beli ini, itu, nggak bisa. Akhirnya cuma bisa berkata dalam hati, "Ntar lo, kapan-kapan gue beli ini barang!". Paling bisanya hanya membatin.
Ternyata nggak punya duit itu, nggak nyaman. Kelebihan duit juga bisa menggelincirkan. Buku laris bikin isi dompet jadi tebal. Itu jelas harapan setiap penulis.
Ah, sudahlah nggak usah berpikir terlalu jauh. Sekarang pikiranku lagi terfokus kepada "menunggu jawaban positif dari penerbit Lentera Hati milik pak Quraish Shihab".
Semoga dapat kabar baik dari sana. Aku yakin kalau Allah meridhoi, pasti dimudahkan jalannya. Aamiin..
Wassalam,
SangPenging@T!
Minggu, Agustus 10, 2014
Aje Gile, Lebaran Hari Kedua Nyawaku Terancam
Wajahnya memancarkan air muka keras,bagai preman. Gaya bicaranya seperti orang setengah mabuk. Matanya sedikit memerah. Profesinya sebagai supir taksi. Usianya mungkin seusiaku, 50 tahunan. Namanya sebut saja Fulan (bukan nama sebenarnya).
Setiap acara buka puasa bersama (bukber) di selasar masjid Darul Muttaqin tak pernah dilewatkannya. Kalau kebetulan aku ngasih kultum, terlihat dia menyimaknya.
Berikut ini kisah nyatanya.
Sebelum azan Dhuhur berkumandang di Lebaran hari kedua, Selasa, 29 Juli 2014, aku sudah beranjak dari kursi di depan komputerku. Komputer aku sleep mode. Lalu aku melangkahkan kakiku ke masjid. Niatnya sih ingin azan.
Masuk ke dalam masjid suasana masih sepi. Hanya ada, Fulan, lalu ada pak Matsani mantan tukang bakso gerobak. Ada pak Slamet, mantan irjen depag. Lalu ada tiga orang lagi tak kuingat siapa.
Jam LED penunjuk waktu shalat lima waktu, yang menempel di belakang mimbar, menunjukkan angka 11.55. Berarti masih ada enam menit lagi masuk waktu Dhuhur. Kulihat si Fulan sibuk sendiri, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pak Yahya, sang muadzin tidak hadir, makanya dia leluasa bertingkah.
Mula-mula dihidupkannya saklar di tembok yang berhubungan langsung dengan perangkat sound system. Mulailah dia test suara mic-nya. Bukan dengan suara, tetapi dengan cara mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke muka mike. Mulai dari mic buat adzan, sampai mic buat kutbah di atas mimbar, tak luput diketuknya.
Aku tegur dia dengan suara pelan, agar tidak melakukan hal itu. Karena mengetuk-ngetuk mic bisa merusak mic. Pak Matsani, bilang ke aku, "ah, orang dia budeg mana denger!". Lantas suaraku aku tinggikan volumenya, "Heh pak, itu mic jangan diketuk2! bisa rusak".
Mendengar suaraku meninggi, dia rupanya tak terima. Dibalasnya dengan kata-kata lebih keras, "Heh, ini masjid ada pengurusnya, ada biayanya kalau rusak. Itu bukan urusan lu!". Langsung aku jawab, "bukan begitu, itu mic bisa rusak kalau diketuk-ketuk seperti itu"
"Diam lu!"... hardiknya seraya matanya melotot kearahku. Tetap menyerocos terus dia, sambil duduk lima meter di depanku. Masih terus nyerocos, padahal mulutku sudah berhenti. Aku tak ingin bertempur dengannya. Aku kemukakan lagi alasan mengapa jangan diketuk mic-nya. Lebih keras dia menghardikku, kata-katanya masih serupa, "Diam lu!"
Masya Allah, aku sudah diam. Dia masih terus bicara ngalor-ngidul. Akhirnya aku ambil tindakan pamungkas yang kupikir bisa menyumpal mulutnya itu. Aku ambil akting bagai pesilat sedang pasang kuda-kuda buat menyerang musuh. Tapi tetap posisiku dalam keadaan duduk.
Tangan kiri aku angkat agak kebelakang lima jariku terkepal mantap seakan ingin menonjok mukanya, lalu tangan kanan aku sorongkan ke depan dengan posisi mengepal tapi satu jari telunjuk aku arahkan ke atas langit masjid, sambil kugoyang-goyangkan sedikit, seolah-olah mengajaknya untuk maju ke arahku. Dan mataku menatap tajam kearah matanya. Setengah melotot. Agar terlihat seram. Mulutku tak bersuara. Tapi mengisyaratkan kata-kata, "jangan ngoceh terus lu, ayo kalau mau tanding!" (hahaha... serius amat bacanya... sok jagoan bener ya...?)
Reaksinya melihat aku bersikap seperti itu. Dia seperti kucing kecebur got. Diam seribu bahasa. Pucat pasi wajahnya. Matanya yang tadi garang jadi kuyu. Dia mulai melemah. Melihat aksiku bak jagoan dari cimande. Aku berpikir, jangan-jangan dia berpikir nih ustadz punya ilmu tenaga dalam apa yaa?
Melihat keadaanya seperti itu, aku kembalikan posisi tubuhku seperti semula, duduk santai bersila bersender di tiang masjid. Eh, tak kusangka dia berulah lagi. Berdiri tegak, maju selangkah lalu diam disitu sambil mulutnya menyalak lantang "Ayo, kalau lu berani ayo kita keluar sekarang juga, gua tunggu!".
Aku tak meladeni tantangannya. Dan berusaha bersikap tenang sambil berkata, "ngapain kita begini (maksudku ada mulut, mau saling duel), kan kemarin kita baru saling maap-maapan?". Dia terdiam lalu ngloyor pergi menghampiri pak Amsari yang baru masuk masjid dan duduk enam meter dariku. Dia ngobrol berdua, entah ngomongin apa?
Bunyi "beep" tanda masuk waktu dhuhur berbunyi. Aku tak bersemangat untuk adzan. Dan ketika shalat, aku jadi nggak khusuk mikirin tantangannya. Repot nih, habis shalat masak ada pertandingan duel di depan masjid. Apa kata dunia? Lebaran-lebaran bukan saling maap-maapan eh malah duel-duelan.
Selesa shalat, lalu do'a lalu mataku menyapu jamaah satu persatu, weh mana nih si Fulan? Ah, jangan-jangan dia ambil belati ke rumah, lalu buat menusukkan dalam duel nanti. Gawat! nyawaku terancam. Betulan ini, pikiran jadi berprasangka buruk terhadapnya.
Untuk mengusir penasaranku atas tantangannya itu, aku ajak salah satu jamaah masjid buat ngobrol sembari menunggu siapa tahu dia datang lagi ke masjid. Kutunggu hampir setengah jam tidak muncul-muncul dia.
Dua hari berlalu aku tak berjumpa dia di masjid. Aku merasa berdosa, jika gara-gara pertengkaran tempo hari ada satu jamaah masjid yang tidak lagi shalat lima waktu di masjid, seperti biasanya. Aku juga terus berpikir, betapa buruknya perangaiku baru aja jadi setengah ustadz kok sudah sok jagoan. Menyesal aku atas tindakanku berkata keras kepadanya.
Sampai pada suatu dhuhur, entah hari keberapa setelah terjadinya peristiwa itu, ketika aku masuk masjid, dari jendela kaca masjid, aku lihat dia sedang duduk di dalamnya. Nah, ini dia saatnya yang kutunggu-tunggu. Untuk apa? Duel lagi? No, no,no... Aku ingin meminta maaf kepadanya.
Eh, tanpa kusangka-sangka, malah dia yang beranjak dari duduknya, segera menyongsongku ke depan pintu masjid. Lalu dia berkata sambil menyorongkan tangannya untuk berjabat tangan,"pak, maafin saya kemarin ya pak! Aku pun juga bilang "ah, saya yang harus minta maaf"...Sambil aku peluk dia.
Happy Ending Story rupanya. Alhamdulillah, sekarang nyawaku sudah tak terancam lagi olehnya.
Ternyata menjaga emosi itu penting.
Wassalam,
SangPenging@T!
Setiap acara buka puasa bersama (bukber) di selasar masjid Darul Muttaqin tak pernah dilewatkannya. Kalau kebetulan aku ngasih kultum, terlihat dia menyimaknya.
Berikut ini kisah nyatanya.
Sebelum azan Dhuhur berkumandang di Lebaran hari kedua, Selasa, 29 Juli 2014, aku sudah beranjak dari kursi di depan komputerku. Komputer aku sleep mode. Lalu aku melangkahkan kakiku ke masjid. Niatnya sih ingin azan.
Masuk ke dalam masjid suasana masih sepi. Hanya ada, Fulan, lalu ada pak Matsani mantan tukang bakso gerobak. Ada pak Slamet, mantan irjen depag. Lalu ada tiga orang lagi tak kuingat siapa.
Jam LED penunjuk waktu shalat lima waktu, yang menempel di belakang mimbar, menunjukkan angka 11.55. Berarti masih ada enam menit lagi masuk waktu Dhuhur. Kulihat si Fulan sibuk sendiri, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pak Yahya, sang muadzin tidak hadir, makanya dia leluasa bertingkah.
Mula-mula dihidupkannya saklar di tembok yang berhubungan langsung dengan perangkat sound system. Mulailah dia test suara mic-nya. Bukan dengan suara, tetapi dengan cara mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke muka mike. Mulai dari mic buat adzan, sampai mic buat kutbah di atas mimbar, tak luput diketuknya.
Aku tegur dia dengan suara pelan, agar tidak melakukan hal itu. Karena mengetuk-ngetuk mic bisa merusak mic. Pak Matsani, bilang ke aku, "ah, orang dia budeg mana denger!". Lantas suaraku aku tinggikan volumenya, "Heh pak, itu mic jangan diketuk2! bisa rusak".
Mendengar suaraku meninggi, dia rupanya tak terima. Dibalasnya dengan kata-kata lebih keras, "Heh, ini masjid ada pengurusnya, ada biayanya kalau rusak. Itu bukan urusan lu!". Langsung aku jawab, "bukan begitu, itu mic bisa rusak kalau diketuk-ketuk seperti itu"
"Diam lu!"... hardiknya seraya matanya melotot kearahku. Tetap menyerocos terus dia, sambil duduk lima meter di depanku. Masih terus nyerocos, padahal mulutku sudah berhenti. Aku tak ingin bertempur dengannya. Aku kemukakan lagi alasan mengapa jangan diketuk mic-nya. Lebih keras dia menghardikku, kata-katanya masih serupa, "Diam lu!"
Masya Allah, aku sudah diam. Dia masih terus bicara ngalor-ngidul. Akhirnya aku ambil tindakan pamungkas yang kupikir bisa menyumpal mulutnya itu. Aku ambil akting bagai pesilat sedang pasang kuda-kuda buat menyerang musuh. Tapi tetap posisiku dalam keadaan duduk.
Tangan kiri aku angkat agak kebelakang lima jariku terkepal mantap seakan ingin menonjok mukanya, lalu tangan kanan aku sorongkan ke depan dengan posisi mengepal tapi satu jari telunjuk aku arahkan ke atas langit masjid, sambil kugoyang-goyangkan sedikit, seolah-olah mengajaknya untuk maju ke arahku. Dan mataku menatap tajam kearah matanya. Setengah melotot. Agar terlihat seram. Mulutku tak bersuara. Tapi mengisyaratkan kata-kata, "jangan ngoceh terus lu, ayo kalau mau tanding!" (hahaha... serius amat bacanya... sok jagoan bener ya...?)
Reaksinya melihat aku bersikap seperti itu. Dia seperti kucing kecebur got. Diam seribu bahasa. Pucat pasi wajahnya. Matanya yang tadi garang jadi kuyu. Dia mulai melemah. Melihat aksiku bak jagoan dari cimande. Aku berpikir, jangan-jangan dia berpikir nih ustadz punya ilmu tenaga dalam apa yaa?
Melihat keadaanya seperti itu, aku kembalikan posisi tubuhku seperti semula, duduk santai bersila bersender di tiang masjid. Eh, tak kusangka dia berulah lagi. Berdiri tegak, maju selangkah lalu diam disitu sambil mulutnya menyalak lantang "Ayo, kalau lu berani ayo kita keluar sekarang juga, gua tunggu!".
Aku tak meladeni tantangannya. Dan berusaha bersikap tenang sambil berkata, "ngapain kita begini (maksudku ada mulut, mau saling duel), kan kemarin kita baru saling maap-maapan?". Dia terdiam lalu ngloyor pergi menghampiri pak Amsari yang baru masuk masjid dan duduk enam meter dariku. Dia ngobrol berdua, entah ngomongin apa?
Bunyi "beep" tanda masuk waktu dhuhur berbunyi. Aku tak bersemangat untuk adzan. Dan ketika shalat, aku jadi nggak khusuk mikirin tantangannya. Repot nih, habis shalat masak ada pertandingan duel di depan masjid. Apa kata dunia? Lebaran-lebaran bukan saling maap-maapan eh malah duel-duelan.
Selesa shalat, lalu do'a lalu mataku menyapu jamaah satu persatu, weh mana nih si Fulan? Ah, jangan-jangan dia ambil belati ke rumah, lalu buat menusukkan dalam duel nanti. Gawat! nyawaku terancam. Betulan ini, pikiran jadi berprasangka buruk terhadapnya.
Untuk mengusir penasaranku atas tantangannya itu, aku ajak salah satu jamaah masjid buat ngobrol sembari menunggu siapa tahu dia datang lagi ke masjid. Kutunggu hampir setengah jam tidak muncul-muncul dia.
Dua hari berlalu aku tak berjumpa dia di masjid. Aku merasa berdosa, jika gara-gara pertengkaran tempo hari ada satu jamaah masjid yang tidak lagi shalat lima waktu di masjid, seperti biasanya. Aku juga terus berpikir, betapa buruknya perangaiku baru aja jadi setengah ustadz kok sudah sok jagoan. Menyesal aku atas tindakanku berkata keras kepadanya.
Sampai pada suatu dhuhur, entah hari keberapa setelah terjadinya peristiwa itu, ketika aku masuk masjid, dari jendela kaca masjid, aku lihat dia sedang duduk di dalamnya. Nah, ini dia saatnya yang kutunggu-tunggu. Untuk apa? Duel lagi? No, no,no... Aku ingin meminta maaf kepadanya.
Eh, tanpa kusangka-sangka, malah dia yang beranjak dari duduknya, segera menyongsongku ke depan pintu masjid. Lalu dia berkata sambil menyorongkan tangannya untuk berjabat tangan,"pak, maafin saya kemarin ya pak! Aku pun juga bilang "ah, saya yang harus minta maaf"...Sambil aku peluk dia.
Happy Ending Story rupanya. Alhamdulillah, sekarang nyawaku sudah tak terancam lagi olehnya.
Ternyata menjaga emosi itu penting.
Wassalam,
SangPenging@T!
Jumat, Agustus 08, 2014
Resah
Aku resah...
aku gelisah...
aku cemas
aku ngeri
memikirkan siapakah ISIS itu sesungguhnya?
mereka membantai dan menebas leher para ulama
di bumi IRAK dan SURIAH
di tahun 2014 di bulan juli-agustus ini
beritanya kuikuti di dunia maya
dan dengan bangganya
mereka berpotret di depan kepala-kepala tanpa badan
begitukah manusia muslim?
begitukah yang diajarkan para Nabi?
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun
aku meneteskan airmata, untuk siapa?
wassalam,
SangPenging@T!
aku gelisah...
aku cemas
aku ngeri
memikirkan siapakah ISIS itu sesungguhnya?
mereka membantai dan menebas leher para ulama
di bumi IRAK dan SURIAH
di tahun 2014 di bulan juli-agustus ini
beritanya kuikuti di dunia maya
dan dengan bangganya
mereka berpotret di depan kepala-kepala tanpa badan
begitukah manusia muslim?
begitukah yang diajarkan para Nabi?
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun
aku meneteskan airmata, untuk siapa?
wassalam,
SangPenging@T!
Langganan:
Postingan (Atom)