Adsense

Kamis, Maret 17, 2011

Kiriman Uang Untuk Ibu

ADA rasa jengkel dan menyesal, ketika melihat isi celengan yang barusan aku hempaskan ke lantai. Rasa bangga akan punya uang banyak sirna seketika.

Beberapa hari sebelumnya, celengan kakak sepupuku pecah berkeping-keping jatuh ke lantai. Tangan simbok tak sengaja menyenggolnya. Wow! Berlimpah-ruah uangnya. Campur baur antara uang kertas dan uang logam.

Akibat kejadian itu, aku jadi tak sabar ingin segera melihat isi celenganku juga. Kepada Ibu aku merengek agar dibolehkan untuk memecahkan celenganku.Celengan kami terbuat dari tembikar berbentuk macan. Sedangkan punya Wawan, kakak sepupuku, berbentuk ayam. 

Mendengar rengekanku, Ibu memberi syarat tegas: “Boleh dipecah jika isi celengan sudah penuh!” Tetapi aku tak mengindahkannya. Aku terus merengek sampai bosan Ibu mendengarnya. Hingga akhirnya diluluskan juga permintaanku. Sip!

Dengan sigap aku ambil celenganku. Tak lama kemudian terdengar bunyi celengan terhempas, membelah keheningan pagi. Suaranya keras seperti suara ledakan mercon! Mengagetkan Ibu dan seisi rumah.
Isinya? Meleset jauh dari perkiraanku. Tidak ada setengahnya dibandingkan punya Wawan. Peristiwa itu terjadi sewaktu aku belum sekolah di kota Secang dekat Magelang.

Ibu sudah mengenalkan pentingnya menabung sejak aku kecil. Tapi sifat borosku pun tumbuh sejak aku mengenal uang. Suka jajan, malas menabung! Dulu di tahun 70-an bank pemerintah mengeluarkan Tabanas (Tabungan Nasional) dan Taska (Tabungan Asuransi Berjangka). Dan aku pernah punya Tabanas tapi jumlahnya lambat naiknya.

*****

LULUS dari Sekolah Dasar, Ayahku pindah tugas, menjadi dosen tamu di Mahidol University di Bangkok. Sekeluarga boyongan ikut Ayah tinggal di Ibukota Thailand, Bangkok selama dua tahun.

Aku dan tiga adikku bersekolah di Sekolah Indonesia Bangkok. Aku SMP, adikku SD. Karena penghasilan Ayah tidak berlebihan, maka kami hidup musti hemat. Ibu pandai menyiasati agar kami cukup makan, bayar sekolah. Serta rekreasi sesekali.

Di kota Bangkok aku sering melihat stiker dengan tulisan “we accept here!” dan di bawahnya ada logo kartu kredit, ditempel di depan hampir semua toko cenderamata atau mal dan supermarket. Dulu aku belum tahu apa manfaatnya kartu kredit itu. Pikirku itu mungkin hanya buat orang kaya. Sebab Ayahku tidak pernah punya.

Gaji Ayah ditransfer oleh ford foundation lewat bank. Sebab kalau kebetulan sedang liburan sekolah, kadangkala Ayah mengajakku untuk menemaninya mengambil gajinya di sebuah bank. Itulah pertama kalinya aku mengenal kata transfer.

*****

DUA puluh dua tahun kemudian setelah dari Bangkok, aku berada di samping Ayah yang terbaring lemah di ruang ICU, RS Dr. Kariadi Semarang. Ayah tiba-tiba terserang stroke tatkala tidur di suatu malam. Empat hari Ayah koma, lalu sadar meski tetap lemah.

Setelah pensiun Ayah lebih senang menetap di Semarang, ditemani Ibu dan adikku yang bungsu Achie. Aku dan tiga adikku yang lain tetap tinggal di Jakarta, tempat Ayah bertugas sepulang dari Bangkok. Meski dipisahkan jarak kami tetap saling berkomunikasi lewat telepon.

Pentingnya menabung baru terasa kalau ada keperluan mendadak, seperti saat aku tiba-tiba harus menghadapi Ayah yang sedang dirawat di rumah sakit. Apalagi kini di setiap rumah sakit besar, mudah ditemukan gerai ATM beberapa bank. Sehingga jika perlu uang untuk menebus obat tinggal ambil di ATM.
Jangan bawa uang tunai banyak-banyak di rumah sakit. Rawan!, begitulah nasehat seseorang yang kujumpa tatkala menunggui Ayah.

Pada hari keenam sewaktu Ayah dirawat di rumah sakit, aku dan adikku mohon pamit kepada Ibu dan Ayah, untuk berangkat ke Jakarta. Kami sudah harus masuk kerja.
“Semoga Ayah lekas sembuh ya… aku mohon maaf kalau banyak salah sama Ayah. Insya Allah minggu depan aku ke Semarang lagi” bisikku di telinga Ayah.
“Ayah… minta maaf juga,” ucap Ayah dengan suara lirih terbata-bata nyaris tak terdengar.
“Hati-hati di jalan,” ucap Ibu menahan tangis menatap kepulangan kami ke Jakarta.

*****

KERETA Api Senja Utama Bisnis, tiba terlambat di Stasiun Gambir, sehingga aku putuskan untuk langsung saja ke kantorku. Sedangkan adikku turun di Stasiun Jatinegara.

Sebelum sempat kaki melangkah memasuki pintu utama kantor, aku berpapasan dengan temanku di halaman kantor.
“Lho… belum dengar kabar?” katanya dengan wajah keheranan melihat aku masuk kantor hari itu.

“Kabar apa?” tanyaku penasaran dan jantung tiba-tiba berdegup kencang.

“Ayahmu… telah meninggal! Jam sebelas tadi malam,” katanya dengan hati-hati.

“Apa? Meninggal?” kataku seakan tak percaya.

“Iya, betul! Tadi pagi aku yang menerima kabar interlokal dari Semarang,” jawabnya tegas agar lebih meyakinku.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun…”

Lunglai badanku seketika! Mendengar berita duka itu. Kemudian segera aku pulang ke rumah. Setelah beres semua, cepat kucegat taksi. Bergegas aku ke bandara Sukarno-Hatta.

Sesampai di bandara, aku segera berlari menuju mesin ATM. “Hah!!?” terbelalak mataku melihat selembar kertas putih bertuliskan “Mohon maaf, mesin ATM sedang ada gangguan” terpampang menutupi layar monitornya. Terbayang aku tak bisa hadir pada saat pemakaman Ayah. Gawat!

Kulirik arlojiku, jam keberangkatan pesawat tinggal dalam hitungan menit. Aku lemparkan pandangan melihat sekeliling kerumunan orang, adikku dan sanak famili sudah tidak ada di bandara. Mereka semua sudah berangkat ke Semarang.

Di tengah kepanikan di depan loket penjualan tiket, aku buka dompetku dan kulihat terselip kartu kredit di dalam dompet. Kartu kredit itu baru beberapa minggu aku miliki.

“Mbak, boleh pakai ini bayar tiketnya?” kataku setengah ragu, sambil menyorongkan kartu kreditku. Sebab ini untuk pertama kalinya aku membeli tiket pesawat dengan kartu kredit. Lagi pula jarang sekali aku bepergian naik pesawat.

“Boleh mas...” jawabnya dengan kenes.

Alhamdulillah. Lega perasaanku! Aku bisa terbang ke Semarang tepat waktu. Terasa betul manfaatnya kartu kredit di saat genting seperti ini.

Akhirnya aku bisa ikut Ibu dan adik-adikku serta sanak keluarga dan tetangga, bersama-sama mengantarkan Ayah ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Bergota, Semarang. Semoga Ayah khusnul khotimah.

*****

INDONESIA didera krisis moneter, setahun setelah ayah meninggal, tahun 1998. Ekonomi keluargaku pun ikut morat marit. Aku terkena imbas pengurangan karyawan. Di PHK! Pahit rasanya. Istriku mulai ikut menopang keuangan keluarga. Dia bekerja sebagai guru honorer. Dan aku bekerja serabutan.

Tak jarang Ibu mengirimi uang sekadarnya untuk menambah kebutuhan keuangan keluargaku. Aku terharu atas kebaikan Ibu yang senantiasa hadir di saat aku membutuhkan.
Kartu kredit aku tutup. Aku tidak ingin terjerat hutang bergulung-gulung.

Tiga tahun sesudah Ayah meninggal, Ibuku divonis oleh dokter menderita gagal ginjal. Tidak ada jalan lain, harus cuci darah! Sudah kronis kondisi ginjalnya.

Ibu menjalani cuci darah setiap hari Senin dan Kamis. Sudah berjalan selama lima bulan. Hingga suatu hari aku mendapat interlokal dari adikku Achie, yang mengabarkan Ibu tidak sadarkan diri sejak dini hari. Dan aku katakan padanya secepatnya aku akan ke Semarang.

SUDAH sebulan ini aku jadi “orang kantoran” setelah lebih dari satu tahun menganggur. Aku diterima kerja di sebuah biro iklan di kawasan segitiga emas, Jakarta.
Dan hari ini hatiku merasa bahagia, karena aku gajian lagi setelah sekian tahun tidak mendapatkannya secara tetap dan tak pernah memberi Ibu uang. Aku bersyukur kepada Allah.

Dalam hati aku berjanji, mulai sekarang aku akan rutin mengirimi Ibu setiap bulan. Apalagi kini Ibu hidup hanya mengandalkan uang pesiun almarhum Ayah dan harus menjalani cuci darah pula.
Begitu menerima amplop gaji pertama dari bagian keuangan. Segera aku memacu motorku, tancap gas ke bank terdekat. Aku ingin secepatnya mentransfer ke rekening Ibu.

Di tengah perjalanan menuju ke bank, handphone-ku berdering berkali-kali. Segera kupinggirkan motorku. Aku ambil handphone-ku dari sarungnya yang menempel di ikat pinggangku. Ternyata ada telpon dari adikku. “Mas, Ibu meninggal… ” ucap adiku terbata-bata.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, ucapkan spontan mendengar kabar ibu meninggal.

Lemas tubuhku mendengar berita itu. Dunia serasa berhenti berputar. Sejuta bayangan kebaikan ibu berkelebatan di depan mata. Petuahnya terngiang di telingaku: ”Kau hiduplah yang rukun, hemat dan rajin beribadah!”.
 
Rasa sesalku bertumpuk-tumpuk. Aku lihat amplop gaji yang tersembul di saku baju, seakan tak punya arti lagi untuk membalas kasih sayang Ibu. Tiba-tiba saja ada jarak yang jauh sekali memisahkan aku dan Ibu. Dan terbentang fatamorgana di kejauhan itu.

Tanpa terasa airmataku menetes di pipi. Bergema firmanNya dikalbuku: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS 63:11).
Dengan khusyuk kupanjatkan doa,” Ya Rabb… terimalah segala amal ibadah ibu, ampunilah segala dosanya, semoga ibu ditempatkan disisiMu yang terbaik.”


Sebuah cerpen dari SangPenging@T

Selasa, Maret 08, 2011

Aku Dan Buku

Buku pengetahuan bisa menambah kepandaian kita. Itu jelas. Tentu kalau buku tersebut kita baca dan pahami isinya, lalu dipraktekkan.
Kemudian jika ada sesuatu yang bermanfaat maka kita jadikan itu sebagai acuan/kiat untuk menjalani hidup ini. Apa pun profesi kita, umumnya ada buku yang bisa kita baca untuk menunjang keahlian kita. Dengan buku kita jadi tahu lebih banyak.
Seribu tantangan yang menghadang bisa kita hadapi dengan membaca dan mempraktekkan apa kata buku. Buku banyak ragamnya. Mulai dari pengetahuan umum sampai pengetahuan yang khusus.
Tanpa buku manusia tetap bisa hidup. Itu tak dimungkiri. Sebab untuk hidup, jasmani kita membutuhkan makan bukan sekedar baca buku. Makan itu penting, baca buku tak boleh diabaikan.
Orang yang membaca buku dan tidak, akan terlihat bedanya ketika menghadapi ujian kehidupan. Apalagi ujian sekolah!
Kesukaanku dengan buku sejak di bangku SD dulu. Hobiku adalah melihat cover-nya buku lalu gambar-gambar di dalamnya. Membacanya? Malas. Mungkin karena aku tak lancar membacanya. Seingatku aku baru bisa membaca ketika kelas dua. Luar biasa bodohnya? Boleh jadi.
Di pontianak dulu, aku merengek minta langganan majalah Bobo. Akhirnya dipenuhi oleh orangtuaku. Ketika datang edisi yang baru, aku hanya melihat gambarnya. Membacanya tidak telaten.
Buku bahasa Inggris yang kubeli sewaktu SD adalah Conversation in English. Hanya untuk dibeli dan dimiliki. Namun malas untuk dipelajari.
Ketika SMA, setali tiga uang. Alias sami mawon, membeli buku hanya untuk memenuhi perintah guru. Membacanya ogah-ogahan. Paling-paling kata pengantar, daftar isi lalu membaca isinya jika disuruh bapak dan ibu guru.
Setelah kutahu diterima di STSRI Asri (kini ISI Yogyakarta), maka tatkala aku mengunjungi pameran buku sekitar tahun 1982 aku membeli textbook judulnya “Advertising Theory and Practice” penulisnya Sandage dkk. Kuciumi buku itu, kulirik isinya dan jarang kubaca.
Baru terasa manfaatnya buku itu ketika aku menulis skripsi. Dengan susah payah kucerna isinya. Mataku melotot antara buku itu dan kamus. Pikiranku berusaha keras menangkap makna kalimat yang tertuang di buku itu. Sulit memang tapi tak bisa kuhindari. Aku tak ingin mengecewakan ayah, yang sudah bersusah payah membiayaiku kuliah dijurusan yang paling kusukai.
Aku suka dunia iklan, graphic design dan lukisan. Aku cinta dunia Islam. Dan aku senang sesuatu yang berkaitan dengan motivasi. Oleh karena itu koleksi bukuku ya seputar dunia itu.
Ayahku tatkala meninggal dunia, mewarisiku banyak buku agama. Ini memacuku untuk memperdalam Islam. Aku bermimpi bisa mewariskan buku tulisanku dalam bidang yang kucintai itu.
Bagiku buku yang istimewa sudah pasti adalah Kitab Suci Al Qur’an. Al Qur’an adalah pedoman dan tuntunan hidup manusia muslim yang bertaqwa.
Aku melazimkan membaca Al Qur’an setiap hari. Aku mengerjakannya seperti yang biasa orangtuaku lakukan sehabis shalat subuh. Tiada hari tanpa membacanya. Serasa ada yang kurang jika tak membacanya. Aku biasakan pula membaca terjemahannya. Ini dapat mengokohkan keimananku.
Untuk Anda yang belum biasa membaca Al Qur’an setiap hari. Yuk mulai hari ini kita latihan! Insya Allah, kalau sudah terbiasa nanti akan nyaman dan terasa nikmatnya membaca Al Qur’an. Jangan jadikan Al Qur’an hanya menjadi pajangan belaka. Sayang…bukan?
Tatkala membaca buku “Mukjijat Al Qur’an” tulisan M. Quraish Shihab, hatiku tersentuh ketika dia menuliskan pesan orangtuanya yang disampaikan sambil berbisik, “Bacalah Al Qur’an, seakan-akan ia turun kepadamu.”